medcom.id: Brasil tetap Brasil. Tim "Samba" selalu menjadi legenda lapangan hijau. Tak soal, penampilan kurang meyakinkan di dua Piala Dunia terakhir, pesona "Selecao" masih membuat lawan segan. Tahun ini, pasukan Samba paling dinanti sentuhan magisnya.
Memang sejak generasi Rivaldo, Ronaldo, Gilberto Silva, Cafu, Roberto Carlos sukses mengangkat trofi di Piala Dunia Korea-Jepang pada 2002, skuat jersey kuning seperti gampang kehabisan bensin. Penampilan di piala dunia edisi berikutnya di Jerman dan Afrika Selatan kurang mengesankan.
Pada Piala Dunia 2006, Dida dkk lolos dari babak grup dengan predikat juara, setelah menyapu tiga laga dengan kemenangan. Tapi persoalannya, lawan yang mereka hadapi "hanya" Australia, Jepang dan Kroasia. Pada babak 16 besar, ujian juga relatif tidak terlalu berat. Ghana disingkirkan dengan skor 3-0.
Brasil baru terbentur batu karang, ketika di perempat final lawan yang mereka hadapi adalah Perancis. Gol Thierry Henry cukup untuk membuat Brasil angkat koper.
Gelaran berikut, Brasil bukan hanya gagal tetapi terlihat kaku. Permainan cantik yang biasa menjadi ciri khas "Selecao", seolah tercabut dari akar. Brasil menjadi lebih pragmatis. Toh, Robinho cs tetap tersungkur di babak perempat final, lantaran dibekap Belanda 1-2. Di Afrika Selatan, Brasil kehilangan dua hal. Keindahan sepakbola, dan ritual mengangkat trofi di akhir turnamen sepakbola.
Masyarakat Brasil begitu percaya sepakbola seperti dilahirkan untuk mereka. Kepercayaan diri yang terpupuk karena sepakbola menjadi ritual kehidupan yang membawa suka cita dan harga diri.
Dari pinggir-pinggir pantai hingga favela, pemukiman padat Brasil, olahraga populer itu membawa kegairahan di tengah kepungan kemiskinan warganya. Sepakbola juga menyelamatkan muka Brasil dari cibiran warga internasional. Dunia lebih tertarik mengaitkan Brasil dengan kehebatan sepakbola ketimbang membicarakan kemiskinan dan kriminalitasnya yang tinggi.
Beban mengerek kembali harga diri bangsa itu yang kini menumpuk di beban Neymar cs. Brasil akan beraksi di hadapan publiknya sendiri, yang terkenal mendewakan sepakbola.
Meski Neymar mengaku tak punya beban menghadapi Piala Dunia, tentu para pemain Brasil tidak ingin bernasib seperti Moacyr Barbosa Nascimento -- dikambinghitamkan atas kesalahan yang wajar dilakukan pemain. Sikap rakyat Brasil yang mendewakan sepakbola membuatnya jadi lebih dramatis.
Saat laga penentuan juara Piala Dunia 1950, Barbosa gagal menghadang gerakan pemain Uruguay, Alcides Ghiggia, sehingga Brasil kalah 1-2 sampai pertandingan berakhir. Suporter Brasil yang memadati Stadion Maracana menangis.
Insiden itu membuat Barbosa Nascimento menelan cercaan publik Brasil hingga akhir hayatnya. Dalam satu waktu, mungkin ia menyesali kehadirannya di Stadion Maracana.
Setelah 54 tahun berlalu, dan Barbosa sudah meninggal dunia karena serangan jantung pada 7 April 2000, Brasil kembali menjadi tuan rumah Piala Dunia. Kesempatan yang bagi Neymar merupakan keistimewaan besar, sebagai pesepakbola Brasil -- membela negara di depan publik sendiri.
Perjuangan "Selecao" berawal dari Grup A. Kroasia, Meksiko dan Kamerun sudah menanti -- tiga lawan yang tidak bisa dianggap enteng. Brasil wajib pasang kewaspadaan tinggi. Pasukan Luiz Felipe Scolari harus ingat, Brasil adalah legenda sepakbola, tim manapun tertantang untuk menaklukkan Brasil.
Para pemain Meksiko, Kamerun dan Kroasia diprediksi akan tampil lebih spartan untuk merobohkan Brasil. Dalam konteks itu, status Brasil sebagai tim favorit jelas merugikan.
Para pemain Brasil harus bersiap menjadi "dewa" yang dipuja bak nabi oleh rakyat di Brasil bila sukses sampai tujuan mengangkat trofi Piala Dunia. Tetapi, "tragedi" Barbosa Nascimento juga sebaiknya jangan dilupakan. Generasi Selecao 2014 harus menyiapkan mental baja, bila gagal memenuhi ekspektasi publik Brasil -- apalagi bila sampai tersingkir di babak grup -- Itu akan menjadi aib yang mungkin tidak bisa dimaafkan bangsanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(FIT)