Kecukupan pangan juga menjadi salah satu indikator utama kesejahteraan masyarakat. Akses dan kemampuan daya beli masyarakat untuk memenuhi angka kecukupan kalori dan protein minimal menjadi bukti tingkat kemiskinan riil di lapangan.
Berdasarkan data Orgnisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Indonesia masih berada di bawah angka kecukupan gizi. Hal ini dibuktikan oleh Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2015 yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statitistik.
Hasil Susenas Maret 2015 memperlihatkan rata-rata konsumsi kalori per kapita sehari sebesar 1.992,69 kkal dan konsumsi protein per kapita sehari sebesar 55,11 gram. Berdasarkan batas standar kecukupan konsumsi kalori dan protein per kapita sehari, rata-rata konsumsi kalori dan protein penduduk Indonesia masih berada di bawah angka kecukupan konsumsi kalori dan protein.
Rata-rata konsumsi kalori di perkotaan di angka 1.982,41 kkal dan pedesaan sebesar 2.003,15 kkal belum memenuhi standar kecukupan konsumsi kalori. Sama halnya dengan konsumsi kalori, secara nasional konsumsi protein juga belum memenuhi standar kecukupan konsumsi protein per kapita sehari. Di perkotaan, konsumsi protein per kapita sehari sudah memenuhi standar kecukupan (57,36 gram), sedangkan di pedesaan belum memenuhi standar kecukupan (52,82 gram).
Walau tingkat penghasilan rata-rata masyarakat kota lebih tinggi ketimbang masyarakat desa, tidak menjamin bahwa setiap penduduk dapat menemukan akses ke pangan yang terjangkau. Hal ini juga dapat terpengaruh oleh ketersediaan pangan yang pada masa-masa tertentu yang mengalami kelangkaan.
Menjamin pangan terjangkau secara akses, ketersediaan dan harga harus menjadi perhatian pemerintah. Selain pangan menjadi salah satu kebutuhan pokok manusia, pangan juga menjadi sangat berpengaruh terhadap tingkat perekonomian masyarakat mengingat sebagian besar pengeluaran masyarakat justru untuk kebutuhan pangan.
Data BPS tersebut menyajikan pengeluaran per kapita rata-rata dalam sebulan. Pengeluaran untuk pangan masih menjadi sebagian besar pengeluaran utama. Berdasarkan hasil Susenas BPS pada Maret 2015, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan sebesar 254,9 juta jiwa dan pengeluaran rata-rata per kapita sebulan sebesar Rp868.823 dimana sebesar Rp412.462 (sekitar 47,47 %) digunakan untuk konsumsi makanan dan sebesar Rp456.361 (52,53 %) digunakan untuk konsumsi bukan makanan.
Pengeluaran penduduk di perkotaan cenderung digunakan untuk kebutuhan sekunder atau tersier (bukan makanan), dimana persentase pengeluaran untuk makanan hanya sebesar 42,55 %. Pengeluaran untuk non-pangan masyarakat perkotaan ini menjadi lebih besar karena biaya sandang dan papan serta kebutuhan pendukung lainnya jauh lebih besar dibanding masyarakat pedesaan. Sementara itu, di pedesaan persentase pengeluaran makanan terhadap total pengeluaran masih sebesar 55,63 %. Masih sebagian besar dari pengeluaran tiap bulan karena biaya kebutuhan non pangan masih tidak terlalu tinggi.
Pangan dan laju pertumbuhan penduduk
Kebutuhan pangan dan biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat ini pun terus meningkat setiap tahun. Pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan produksi pangan dan pembukaan lahan baru untuk pertanian akan menyebabkan kerawanan pangan, terutama di rawan pangan prioritas 1 yang terjadi di 14 kabupaten dan rawan pangan prioritas 2 yang terjadi di 44 kabupaten, dapat semakin parah.
Laju pertumbuhan penduduk Indonesia pada tahun 2015 mencapai 1,49 persen. Angka tersebut setara dengan setidaknya 3,7 juta penduduk baru untuk diberi makan.
Angka tersebut sangat mengkhawatirkan karena pertumbuhan sektor pertanian Indonesia saat ini cenderung tidak stabil dan tidak bertumbuh seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Buktinya pemerintah Indonesia terpaksa memutar otak untuk memenuhi kebutuhan pangan untuk masyarakat.
Beras sebagai pangan pokok Indonesia saja misalnya. Pertumbuhan luas area panen padi pada 2015 hanya tumbuh sekitar 2,76 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2014, bahkan area panen justru sempat berkurang 0.27 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Kondisi ini memang terjadi karena berbagagai faktor, seperti bencana dan gagal panen. Namun tidak dapat pula dipungkiri alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman dan industri menjadi penyebab.
Dari segi produksi padi sebagai makanan pokok utama, Indonesia juga tidak dapat mencukupi kebutuhan domestik walau mengalami pertumbuhan. Akhirnya beberapa kali Indonesia bergantung kepada impor dari produsen beras dari seberang lautan.
Pada tahun 2015, Indonesia sudah melakukan impor volume 861,6 ribu ton dengan nilai US$ 351,602 juta. Beras tersebut didatangkan dari Vietnam, Thailand, Pakistan, India, Myanmar, dan beberapa negara lainnya.
Beberapa pangan lain pun terpaksa diimpor Indonesia untuk memenuhi kebutuhan domestik selain beras. Di antaranya: jagung 3,26 juta ton senilai US$ 696,65 juta; kedelai sebanyak 2,25 juta ton senilai US$1,03 miliar; Biji gandum dan meslin sebanyak 7,41 juta ton senilai US$2,08 miliar; Gula tebu sebesar 3,3 juta ton senilai US$1,23 miliar; sapi dan daging sapi sebesar 248,29 ribu ton senilai US$796,18 juta; serta beberapa komoditas lain.
Impor ini terpaksa dilakukan karena Indonesia tidak bisa memenuhi kebutuhan domestik. Baik untuk konsumsi maupun produksi. Walau demikian, Badan Ketahanan Pangan mencatat Indonesia mengalami pertumbuhan yang signifikan di beberapa jenis pangan.
Harga dan stabilisasi
Produksi yang surplus di beberapa daerah untuk jenis pangan tertentu namun tidak merata secara distribusi, menyebabkan harga komoditas pangan di beberapa daerah melonjak. Pemerintah sebenarnya telah memiliki beberapa perangkat yang tersedia untuk stabilisasi harga dan distribusi pangan.
Undang-Undang nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan telah diketok sejak November 2012. Aturan turunan berupa Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi serta Peraturan Presiden nomor 71 tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting telah dikeluarkan.
Dengan aturan ini sebenarnya pemerintah dapat meregulasi harga dan penyerapan barang kebutuhan pokok, terutama pangan. Dalam Perpres 71/2015 telah diatur 11 jenis Barang Kebutuhan Pokok dan 7 jenis Barang Penting.
Pada PP 17/2015 diatur juga tentang pangan pokok dan pangan pokok tertentu. Dengan perangkat aturan ini, pemerintah dapat campur tangan apabila ketersediaan dan harganya terganggu dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi dan menimbulkan gejolak sosial di masyarakat.
Walau demikian, pelaksanaan aturan belum dapat memberi andil yang besar karena jenis pangan pokok tertentu belum ditetapkan dan diatur oleh aturan yang lebih teknis. Selain itu belum ada badan khusus yang mengkoordinasi dan mengendalikan pangan secara utuh.
Saat ini, beberapa kementerian bertanggung jawab atas beberapa komoditas pangan tanpa ada yang bertanggungjawab mengkoordinasi. Dalam UU 18/2012, seharusnya pemerintah telah membentuk Badan Pangan Nasional untuk mengatur pangan nasional. Namun hingga kini badan tersebut tidak kunjung terbentuk.
Alhasil, stabilisasi harga pangan yang notabene menyangkut hajat hidup orang banyak tak kunjung terlaksana. Harga dari petani hingga konsumen cenderung sulit dikendalikan karena mekanisme pasar sudah kuat mengakar.
Padi dan beras contohnya. Harga padi selama 2015 terus naik tiap bulannya. Rata-rata harga gabah kering panen (GKP) di petani naik 3,38 persen menjadi Rp5.070,45 per kg dan di penggilingan naik 3,36 persen menjadi Rp5.151,45 per kg dibandingkan harga gabah kualitas yang sama pada bulan sebelumnya.
Sementara itu rata-rata harga gabah kering giling (GKG) di petani selama November 2015 naik 3,13 persen menjadi Rp5.523,57 per kg, sedangkan di penggilingan naik 3,15 persen menjadi Rp5.628,51 per kg dibandingkan harga gabah kualitas yang sama bulan lalu.
Demikian pula harga gabah kualitas rendah di petani dan penggilingan mengalami kenaikan masing-masing 1,28 persen menjadi Rp4.484,73 per kg dan 1,75 persen menjadi Rp4.596,52 per kg.
Dibandingkan dengan November 2014, rata-rata harga beras di tingkat penggilingan pada bulan November 2015 untuk kualitas premium naik 11,80 persen, kualitas medium naik 10,74 persen dan kualitas rendah naik 13,43 persen. Sementara itu, HPP yang ditetapkan oleh pemerintah hanya pada Rp3.700. Badan Urusan Logistik pun akhirnya tak bisa mengendalikan harga beras dengan maksimal. Akhirnya tingkat harga pangan pokok masyarakat Indonesia tersebut pada tahun lalu berada di atas angka 11 persen, jauh di atas angka inflasi yang hanya 4,89 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News