Pangsa pasar tersendiri. Bioskop Grand dan Mulia Agung di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Bioskop Grand dan Mulia Agung yang berada dalam satu atap dan manajemen itu kerap menampilkan film-film lawas. MI/Ramdani
Pangsa pasar tersendiri. Bioskop Grand dan Mulia Agung di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Bioskop Grand dan Mulia Agung yang berada dalam satu atap dan manajemen itu kerap menampilkan film-film lawas. MI/Ramdani

Riwayat Jatuh Bangun Bioskop

Medcom Files
Hardiat Dani Satria, Mohammad Adam • 30 April 2015 15:10
medcom.id, Jakarta: Mungkin ada yang penasaran dan ingin tahu tentang apa yang melatarbelakangi suatu kawasan di sepanjang Jalan KH Hasyim Ashari, Kelurahan Cideng, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat bisa dikenal sebagai daerah Roxy.
 
Memang di wilayah ini terdapat pusat perdagangan ponsel terbesar di ibu kota, bahkan di Indonesia. Adalah ITC Roxy Mas yang berada di Jalan KH Hasyim Ashari itu tersohor sebagai pasar ponsel yang volume penjualannya ditengarai hingga ribuan unit dalam sehari. Maka, tak heran jika tempat ini menjadi salah satu magnet bisnis dengan perputaran uang yang luar biasa.
 
Namun, bukan mal itu yang membuat kawasan ini disebut Roxy. Budayawan Betawi, Alwi Shahab, menyatakan bahwa kawasan ini dulunya merupakan pusat rekreasi masyarakat, bukan sentra bisnis seperti sekarang.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Menurut dia, beberapa nama kawasan di Jakarta terkait dengan sejarah tempat hiburan. Salah satunya adalah Roxy. Ia menjelaskan, pada era penjajahan Belanda awal abad ke-19 film dan bioskop merupakan hiburan baru yang langsung digandrungi oleh masyarakat. Pengusaha di ibu kota pemerintahan saat itu pun seolah tak mau ketinggalan momentum ledakan budaya ini, sehingga didirikanlah bioskop-bioskop di Batavia. Salah satunya adalah bioskop Roxy.
 
"Mulai berdatangan film-film. Saat itu film merupakan hiburan yang paling digemari, maka banyaklah Belanda-Belanda yang mendirikan bioskop begitu. Nah, di antara banyak bioskop yang namanya masih terkenal sampai sekarang adalah Roxy. Jadi, nama Roxy itu berasal dari nama bioskop Roxy," ujar Alwi saat berbincang dengan medcom.id beberapa waktu lalu di Jakarta.
 
Menurut Alwi, fenomena laris manisnya tiket bioskop yang memutar film-film impor dari Amerika sudah terjadi sejak zaman dulu. "Seperti film-film koboi begitu, itu dulu merupakan hiburan paling digemari di Jakarta. Bahkan, orang Belanda kalau datang ke bioskop biasanya ramai-ramai," kata Alwi.
 
Namun, meski bioskop Roxy Theatre kemudian ditutup pada kisaran tahun 2000 dan gedungnya digusur, kawasan itu tetap dikenal sebagai Roxy.
 
"Sekarang nama Roxy itu masih melekat meskipun bioskopnya sudah enggak ada," kata Alwi.
 
Riwayat Jatuh Bangun Bioskop
(ITC Roxy Mas, pusat perdagangan ponsel terbesar di Jakarta. Foto: MI/Safir Makki)
 
Roxy hanya salah satu kisah jatuh bangunnya bisnis bioskop. Masih banyak bioskop tua lain yang bernasib sama seperti Roxy. Pernah mengalami kejayaan berpuluh-puluh tahun hingga ditinggalkan, bangkrut, dan akhirnya tutup.
 
Sebut saja bioskop Rivoli yang didirikan tahun 1952 di Jalan Kramat Raya, Jakarta. Bioskop berkapasitas 800 penonton ini khususmemutar film-film India dan selalu ramai dikunjungi orang, penonton selalu membludak tiap akhir pekan. Namunseiring perkembangan zaman,popularitas bioskop sebagai tempathiburan semakin memudar dan selalu sepi penonton. Sampai akhirnya bioskop Rivoli dibongkar pada tahun 2009.
 
Mencermati lika-liku bisnis bioskop, ternyata menemukan persaingan usaha yang tidak imbang. Setidaknya, masalah seperti indikasi monopoli peredaran film serta perhatian pemerintah yang kurang dalam penegakan aturan masih menjadi sorotan sampai saat ini.
 
Dominasi Grup 21 Cineplex dalam persaingan usaha bioskop masih terasa hingga sekarang. PT Nusantara Sejahtera Raya selaku induk perusahaan Grup 21 Cineplex telah membangun imperium bisnisnya sejak 1986. Perusahaan inilah yang menguasai bioskop-bioskop bertitel Bioskop 21, Cinema XXI, dan The Premiere. Selain itu, PT Nusantara Sejahtera Raya berafiliasi dengan PT Omega Film, perusahaan pemegang hak distribusi dan pemutaran film impor dari Motion Picture Association of America (MPAA).
 
Grup Blitzmegaplex menjadi pemain baru yang muncul dalam kurun hampir 15 tahun belakangan ini untuk menyaingi kekuatan penguasa lama tersebut. PT Graha Layar Prima Tbk sebagai pemilik brand bioskop Blitzmegaplex didirikan sejak 2006.
 
Pada tahun 2009, Grup Blitzmegaplex mengadukan Grup 21 Cineplex kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) atas dugaan praktik monopoli distribusi film. Pihak Blitzmegaplex menuduh Grup 21 Cineplex menghambat penyaluran film yang dikuasai afiliasinya kepada bioskop-bioskop di luar jaringannya.
 
Dalam hal ini, pihak 21 diduga telah melanggar beberapa pasal dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Blitz menduga 21 melanggar Pasal 25, 26 dan 27 tentang posisi dominan. Dan, Pasal 17, 18 dan 19 tentang monopoli, monopsoni, dan penguasaan pasar. Selanjutnya, Pasal 15 yang mengatur tentang perjanjian tertutup.
 
Namun, KPPU memutuskan untuk tidak melanjutkan kasus ini ke tahap pemeriksaan. Alasannya, laporan yang diajukan Blitzmegaplex tidak disertai kelengkapan syarat dan bukti. Artinya, kasus ini berhenti pada tahap klarifikasi, karena setelah meminta keterangan para saksi KPPU menilai tidak ada pihak yang dirugikan dalam kasus tersebut.
 
Wakil Ketua KPPU Saidah Sakwan menjelaskan, meski kasus ini tidak diproses lebih lanjut karena tidak ditemukan bukti pelanggaran yang dilakukan oleh Grup 21 Cineplex, namun pihaknya tetap terus memonitor kegiatan usaha pihak terlapor tersebut.
 
“Memang Blitzmegaplex pernah melaporkan Grup 21 ke KPPU pada tahun 2009 karena ada perilaku-perilaku yang abuse itu. Tapi, waktu itu telah diputuskan bahwa dalam kasus itu ia tidak melanggar,” ujar Saidah kepada medcom.id di kantornya, Rabu (22/4/2015).
 
Menurut Saidah, hingga kini Grup 21 Cineplex memang masih menjadi penguasa bisnis bioskop. Namun, KPPU belum melihat adanya perilaku monopolistik yang dilakukan Grup 21 Cineplex. Hal-hal yang menjadi pokok pantauan KPPU antara lain terletak pada penentuan harga tiket dan perilaku terhadap kompetitor dalam distribusi film.
 
Berdasarkan data yang dimiliki KPPU, sampai tahun 2014 ini 21 Cineplex sudah mempunyai 740 layar bioskop. Sedangkan Blitzmegaplex hanya memiliki 86 layar. Meskipun ketimpangan layar di antara keduanya terlihat begitu mencolok, tetapi iklim persaingan masih tergolong sehat.
 
“Kalau menurut KPPU, dalam posisi Grup 21 yang dominan seperti ini, maka yang akan dimonitor oleh KPPU adalah perilaku atau conduct-nya. Apakah kemudian itu perilakunya abuse? Jadi begini, orang boleh dalam monopoli, tetapi dia tidak boleh monopolistik,” imbuh Saidah.
 
Saidah mencontohkan, sebuah perusahaan bioskop boleh saja menjadi dominan dan memonopoli sirkulasi bisnis. Pasalnya, kondisi perusahaan yang melakukan monopoli akan tercipta secara alamiah. Sehingga, perusahaan bioskop yang memonopoli tersebut memiliki daya tawar yang kuat terhadap industri perfilman.
 
Akan tetapi, di balik dominasi dan kekuatan monopolinya, perusahaan bioskop tersebut tetap dilarang untuk memblokir suatu film untuk tidak ditayangkan di bioskop lain. Artinya, kesempatan distribusi film dalam bisnis bioskop haruslah merata. KPPU pun akan terus mamantau perilaku semacam ini dalam persaingan bisnis bioskop. KPPU belum menerima pengaduan kasus serupa lagi setelah pelaporan dari Blitzmegaplex di tahun 2009.
 
Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI) Kemala Atmodjo, menyatakan bahwa keputusan KPPU mencerminkan bahwa kompetisi bisnis bioskop sebenarnya tidak ada permasalahan. Oleh karena itu, isu atau anggapan tentang monopoli pelaku bisnis itu tidak perlu lagi dibesar-besarkan.
 
Menurut Kemala, pada zaman dulu era tahun 80 an hingga 90 an, Grup 21 Cineplex memang punya kasus monopoli dan sudah menjadi pemain tunggal dalam bisnis bioskop di tanah air. Namun, saat ini situasi persaingan sudah berubah, perilaku monopoli itu sudah tidak terjadi lagi. Karena pemain bisnis layar lebar sudah bukan Grup 21 Cineplex saja.
 
Diketahui selain Grup Blitzmegaplex, masih ada pemain baru yang muncul meramaikan dan menyehatkan persaingan. Antara lain seperti Grup Lippo yang memiliki jaringan bioskop Cinemax, bahkan rumah produksi Multi Vision Plus besutan Raam Punjabi pun turut menyemarakkan pertumbuhan tempat menonton dengan meluncurkan bioskop Cineplex dan Platinum.
 
Jadi, menurut Kemala, dilihat dari aspek legalnya sudah jelas bahwa tidak ada masalah dalam persaingan bisnis bioskop. “Kalau ada yang masalah, pasti orang pada protes dong. Buktinya, contoh konkretnya itu kan Cinemax (bioskop grup Lippo) baru bikin, enggak ada tuh yang melarang,” kata Kemala kepada medcom.id di Kantornya, Jakarta, Rabu (22/4/2015).
 
Riwayat Jatuh Bangun Bioskop
(Suasana ruang tunggu di Bioskop Mulia Agung di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Senin (20/4/2015). Bioskop Grand dan Mulia Agung yang berada dalam satu atap dan manajemen itu kerap menampilkan film-film lawas dan agak vulgar. Dengan harga tiket Rp5000, salah satu bioskop tertua di Jakarta ini masih mempunyai pangsa pasarnya sendiri. Foto: MI/Ramdani)
 
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GBPSI) Djonny Sjafruddin. Menurut Djonny, persaingan bisnis relatif lebih bagus saat ini karena Indonesia justru butuh lebih banyak bioskop untuk memajukan industri film nasional. Ia bahkan menekankan masih ada tujuh provinsi di Indonesia yang belum dibangun bioskop.
Djonny menjelaskan, perkembangan teknologi memang mematikan pertumbuhan bioskop. Ia mencatat, masa-masa memasuki tahun 2000 atau akhir abad ke-20 menjadi penanda runtuhnya kejayaan bisnis bioskop yang memutar film berbentuk pita seluloid. Sepuluh tahun menjelang masuk abad ke-21 Indonesia sudah memiliki jaringan 3.800 bioskop yang tersebar di seluruh pelosok daerah, geliatnya menjangkau kabupaten dan kota. Namun, kini jumlah bioskop di Indonesia menyusut drastis hingga sekitar 280 bioskop atau kurang dari 10 persennya.
 
Penyebabnya, menurut Djonny, bukan karena dominasi Grup 21 atau monopoli sebagaimana yang diasumsikan selama ini. Ia menegaskan, ada anggapan keliru bahwa dominasi Grup 21 telah membuat usaha bioskop-bioskop tua yang sudah mapan sebelumnya alias bioskop non grup terpaksa gulung tikar. Sebab, pertumbuhan bisnis bioskop non-grup terhenti bukan karena monopoli atau dominasi Grup 21 itu.
 
Kegagapan pengusaha menghadapi aksi pembajakan dan perkembangan teknologi, terutama era digitalisasi, diakui sebagai penyebab utama kemunduran bioskop. Djonny menjelaskan, era tahun 90 an banyak bermunculan televisi swasta yang masing-masing begitu jor-joran menayangkan film-film bagus. Kemudian muncul film dalam bentuk keping, lalu diperparah lagi dengan kehadiran film bajakan yang masuk sampai kampung-kampung dan disewakan begitu murah hingga Rp10.000 bisa dapat tiga keping.
 
“Nah, itu film (bajakan) isinya sama dengan yang diputar di bioskop. Orang kan jadi berpikirnya ngapain harus ke bioskop yang harus jauh-jauh untuk menonton kalau bisa dapat film yang sama dengan harga murah untuk ditonton di rumah, misalnya. Itu yang membunuh bioskop-bioskop, terutama yang di daerah-daerah,” kata Djonny.
 
Tapi, ia melanjutkan, bagi masyarakat yang mengerti bahwa menikmati film bukanlah sekadar untuk mengetahui cerita yang ditayangkan, bioskop tetap punya posisi penting. Karena ada hal lain untuk dinikmati dari sebuah film yang hanya bisa didapatkan dengan menontonnya di bioskop. Antara lain seperti menyaksikan kecanggihan teknologi efek visual, kualitas akustik sound system, atmosfer, suasana teater, dan lain-lain. Masalahnya, masyarakat yang sadar dan mengerti tentang hal ini hanya sebagian kecil saja. Biasanya mereka kalangan menengah ke atas atau warga kota besar.
 
Kemala menjelaskan bahwa masyarakat saat ini sudah dapat mengakses film bajakan dengan mudahnya. Bahkan, saluran tayangan di televisi dan internet membuat masyarakat menjadi tidak harus datang ke bioskop untuk dapat memenuhi rasa penasarannya. Menurut Kemala, hal inilah yang menjadi tantangan para investor untuk berinvestasi di gedung bioskop.
 
Tantangan itu jelas tidak gampang, karena tidak bisa sembarangan dalam membangun bioskop. Jika salah perhitungan untuk mendirikan bioskop mewah di lokasi yang penduduknya sedikit dan tingkat pendapatannya masih kecil, jelas ujungnya pengusaha bioskop itu bakal bangkrut.
 
“Kita punya problem itu tadi, dibandingkan dengan jumlah penduduk layar terasa kurang. Tapi jangan salah, jumlah layar tidak otomatis meningkatkan jumlah penonton, karena itu tadi ada soal kualitas, selera, dan juga soal ekonomi masyarakat,” kata Kemala.
 
Jika sebelumnya, sejak zaman Hindia-Belanda sampai akhir tahun 80 an, masyarakat dapat menikmati pertunjukan film hanya dari gedung-gedung bisokop. Tapi, setelah bisnis bioskop menyesuaikan diri dengan kapitalisasi modern, semuanya menjadi berubah. Saat ini sebagian besar bioskop telah menyatu dengan pusat-pusat perbelanjaan seperti mal. Jadi, hal inilah yang membuat pengusaha-pengusaha gedung bioskop yang dulu pernah berjaya menjadi gulung tikar.
 
Kemala menjelaskan, tumbuhnya bioskop-bioskop di suatu daerah tergantung dari kondisi ekonomi masyarakat setempat. Hal ini dikarenakan, menonton film di bioskop masih tergolong sebagai kemewahan alias kebutuhan tersier. Jadi, hanya masyarakat yang memiliki penghasilan lebih dapat menikmati tayangan film di bioskop. Apalagi masyarakat di daerah luar ibu kota, yang pastinya akan lebih mengalokasikan finansialnya untuk membeli kebutuhan dasar ketimbang menonton di bioskop.
 
Faktor itu yang juga telah membuat layar bioskop di Indonesia masih sangat sedikit jumlahnya. Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk, layar bioskop di Indonesia masih di bawah standar. Imbasnya, akan berpengaruh kepada geliat dalam memproduksi film nasional. Sebab, jumlah layar yang terbatas akan membuat potensi pemasaran film nasional yang juga kurang luas. Tidak hanya film nasional, film yang diimpor pun juga begitu.
 
Selain itu, nantinya keuntungan dari penayangan film di bioskop ini juga akan berpengaruh kepada gaji yang akan diterima oleh artis atau pemain film. Gaji artis ini akan diberikan oleh produser sesuai keuntungan dari penayangan di bioskop. Dalam hal ini, produser lah yang paling banyak menerima imbasnya. Apabila filmnya laku dan penontonnya banyak, produser akan untung besar. Begitupun sebaliknya.
 
“Tidak serta merta nambahnya layar itu membuat jumlah penonton juga membeludak. Itu tidak otomatis, tetapi penambahan jumlah layar itu menimbulkan potensi penonton itu iya,” imbuh Kemala.
 
Kemala juga menjelaskan, kuantitas produksi film nasional sangatlah fluktuatif. Namun, dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini, telah mengalami kenaikan kuantitas. Sayangnya, jumlah produksi film nasional ini berbanding terbalik dengan penurunan jumlah penonton. Masalahnya lagi-lagi mengenai kualitas film nasional. Maka dari itu, untuk membangkitkan kembali kejayaan film nasional, selain peningkatan jumlah bioskop juga diperlukan perbaikan produksi film nasionalnya.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
TERKAIT
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan