Petugas kebakaran memadamkan api yang membakar bangunan Lapas Klas II A Banceuy Bandung, Jawa Barat. (ANTARA FOTO/Agus Bebeng)
Petugas kebakaran memadamkan api yang membakar bangunan Lapas Klas II A Banceuy Bandung, Jawa Barat. (ANTARA FOTO/Agus Bebeng)

Pemicu Ricuh di Penjara

Medcom Files kerusuhan penjara
Surya Perkasa • 02 Mei 2016 17:59
medcom.id, Jakarta: Kondisi penghuni yang melebihi kapasitas daya tampungnya di Lembaga Pemasyarakatan (lapas) di Indonesia menjadi momok tersendiri bagi penegakan hukum. Terlepas dari masalah keterbatasan anggaran dan pengelolaan yang buruk, kenyataan penjara yang sesak ini telah menimbulkan keresahaan tentang kualitas penanganan narapidana dan tahanan.
 
Setidaknya ada enam peristiwa kerusuhan di penjara yang tercatat pemberitaan dalam kurun Maret hingga April 2016. Antara lain di Lapas Muara Bulian, Jambi (17 Maret), Lapas Rajabasa, Lampung (18 Maret), Rumah Tahanan Malabero, Bengkulu (25 Maret), Lapas Tewaan, Bitung (6 April), dan Lapas Kerobokan, Bali (22 April). Terakhir, kerusuhan terjadi di Lapas, Banceuy Jawa Barat pada Sabtu 24 April lalu.
 
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengamati sejumlah kericuhan penjara ini dilatarbelakangi oleh konflik yang kian meruncing antar penghuni lapas dan rutan. Terutama terkait pengetatan syarat remisi atau pengurangan masa hukuman sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP ini mengubah ketentuan mendapatkan remisi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan asimiliasi bagi pelaku tindak pidana nakotika, terorisme, dan kejahatan luar biasa lainnya menjadi amat tidak mudah.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Aturan ini, meurut Arsul, telah membuat narapidana kasus pidana tertentu semakin frustasi.
Apalagi, upaya pembenahan tata kelola hukum dan pembinaan masyarakat yang dilakukan rezim pemerintahan yang sedang berjalan kini ternyata “mengganggu” permainan oknum yang berkepentingan di lapas. Khususnya oknum petugas yang sudah lama bermain di zona nyaman. “Karena yang pertama kali ingin diberantas adalah kolusi, maka tokoh di lapas tertentu yang berada dalam zona nyaman itu merasa diutak-atik. Sehingga, mereka memprovokasi napi yang ada di dalam lapas tersebut,” ungkap Arsul kepada medcom.id, Jumat (29/4/2016).
 
Selama ini, ia menambahkan, pengolaan lapas dibiarkan berjalan tanpa diganggu gugat. Tapi ketenangan itu terusik dengan hadirnya upaya perubahan tata kelola.
 
Hal senada juga disampaikan Kriminolog Adrianus Meliala yang kini menjabat di Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
 
Adrianus menilai tata kelola lapas Indonesia selama ini bermasalah. Sudah banyak masalah, penanganan pun terkesan lambat. Ia menduga ini terjadi karena kepala lapas tidak takut kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham.
 
Ia mengibaratkan para kepala lapas itu sebagai tuan tanah yang berlindung di balik banyak tuan. “Dirjen PAS sebagai regulator, Sekretariat Jenderal yang mengatur penganggaran, dan Kantor Wilayah yang mengatur penempatan dan pengelolaan,” kata Adrianus saat berbincang dengan medcom.id, Minggu (1/5/2016).
 
Namun, hampir semua pihak mengakui bahwa permasalahan lapas ini bukanlah persoalan yang sederhana.
 
Kekurangan pengelola
 
Kelebihan penghuni lapas-lapas di Indonesia ini terbilang amat mengkhawatirkan. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kemenkumham menyatakan jumlah tahanan dan narapidana Indonesia saat ini mencapai 188.251 jiwa. Sekitar 58 persen di atas total kapasitas lapas Indonesia.
 
Beberapa lapas di daerah bahkan membina narapidana jauh melebihi kapasitas resmi. Salah satunya adalah Lapas Kelas I Cipinang Jakarta Timur yang kelebihan penghuni hingga 190 persen.
 
“Sebenarnya kapasitas di sini 1.084 orang, tapi sekarang jumlah penghuni di LP Cipinang mencapai 2.900 orang,” kata Kepala Lapas Cipinang Edi Kurniadi yang ditemui medcom.id, Kamis (28/4/2016).
 
Sangat miris karena perbandingan warga binaan dengan petugas jaga kalah sangat jauh. Rasionya 1 banding 123, sebab satu regu jaga hanya berisi 24 petugas. Jumlah regu jaga pun hanya ada empat di Lapas Cipinang.
 
Bila terjadi kerusuhan di LP Kelas I Cipinang, petugas akan sulit berbuat apa-apa.
 
Situasi serupa terjadi pada hampir seluruh lapas Indonesia. Jumlah petugas lapas di Indonesia hanya sekitar 11 ribu. Jika dibandingkan dengan jumlah narapidana, setiap petugas harus mampu mengelola sekitar 60 narapidana.
 
Keinginan penambahan jumlah petugas lapas pun terkendala sistem birokrasi. Arsul menyebut, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) sudah mengajukan gagasan penambahan petugas lapas ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). Namun, upaya itu sulit tercapai.
 
"Karena Kemenpan-RB menerapakan asas zero growth (pertumbuhan nol) dalam menambah pegawai negeri sipil. Penambahan petugas sesuai dengan jumlah petugas yang pensiun saja. Jadi jumlahnya sama saja," kata Arsul.
 
Rasio petugas lapas dan narapidana jauh dari kata ideal. Bahkan jika mengintip Amerika Serikat beberapa negara lain yang memiliki rasio 1:10, petugas lapas Indonesia tertinggal jauh.
 
Permainan
 
Masalah lapas yang kelebihan penghuni dan kerusuhan-kerusuhan penjara yang terjadi secara beruntun dalam rentang waktu berdekatan pun menimbulkan kecurigaan tentang permainan oknum lapas. Spekulasi ini berkembang menjadi buah bibir di tengah masyarakat.
 
Arsul memuji pembenahan sistem yang dilakukan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly. Menurut Arsul, Yasonna kini tengah berjibaku melawan penentangan dari narapidana berpengaruh dan oknum petugas lapas. Terutama dari kelompok yang berbagi kue keuntungan dari bisnis gelap di balik jeruji.
 
“Nah comfort zone oknum petugas dan napi-napi itulah yang dirusak Yasonna,” kata Arsul
 
Namun, menurut Arsul, karena kenyamanan para tokoh narapidana yang sudah berurat dan berakar di dalam lapas terganggu, maka mereka memanfaatkan penjara yang amat sesak. Mereka membakar emosi para napi yang frustasi lantaran sulit mendapat remisi untuk memusuhi petugas. Sehingga dalam situasi yang sudah amat panas konfliknya, kericuhan pun pecah dan sulit dibendung.
 
Populasi lapas yang padat dan diperkeruh dengan sebagian besar penghuni yang tertekan lantaran sulit mendapat remisi, tentu amat mudah memancing keributan di dalamnya. Isunya adalah ketidakadilan perlakuan bagi napi kasus narkotika atau kezaliman yang diderita napi terbanyak di penjara.
 
“Napi narkoba dan teroris berbuat baik seperti apapun, tidak dapat remisi. Nah, mereka kan akhirnya jadi berpikir untuk apa berkelakuan baik. Apalagi mereka lihat temannya yang terpidana karena jadi pembunuh, perampok, dan lainnya mendapat remisi dengan begitu mudahnya karena dia narapidana tindak pidana umum,” papar Arsul.
 
Di sisi lain, di beberapa lapas ada oknum petugas dan bandar narkoba yang jadi godfather saling berbagi rezeki. Petugas lapas seolah tutup mata terhadap kegiatan bisnis narapaidana dari dalam lapas. Maka, para gembong narkoba tadi memanfaatkan kondisi tersebut.
 
Adrianus juga menyebut kelebihan penghuni penjara ini bisa saja dimanfaatkan oleh oknum-oknum kepala lapas dan petinggi di Kantor Wilayah dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Pemanfaatan tersebut bisa dari pungutan liar hingga permainan di pengelolaan anggaran yang pasti membengkak karena banyaknya warga lapas.
 
Hal ini akan sulit diatasi bila hanya bergantung ke peran dan kebijakan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham karena oknum Kalapas akan berlindung di balik Setjen Kemenkumham dan Kanwil. “Akhirnya kan terjadi seperti di Lapas Banceuy. Kalau mau pengeloaan efektif dan cepat tanggap mengatasi masalah lapas, harus dibuat badan tersendiri. Karena sekarang kan terlalu banyak pecah kewenangan,” kata Adrianus.
 
Sementara itu, Kepala Lapas Kelas I Cipinang Edi Kurniadi sendiri mengaku lapas akan serba sulit di tengah keterbatasan. Dalam penanganan pengedaran narkoba misalnya. Jika ingin memberantas narkoba, petugas yang lapas miliki tidak akan cukup untuk mengawasi.
 
“Kalau misalnya mau di-sweeping, waktu petugas lagi di lantai satu, narkobanya mereka (napi) larikan ke lantai lain. Jadi, ketika petugas sampai, barang itu sudah tidak ada,” kata Edi.
 
Edi pun tak memungkiri peredaran nakoba yang marak di dalam penjara. Sebagian besar warga LP Cipinang didominasi oleh napi kasus narkotika, sulit membantah bahwa mereka permintaan barang haram tersebut amat tinggi. Apalagi napi yang sudah kecanduan, jelas membutuhkan pasokan yang lancar.
 
Semestinya, sebagian besar napi direhabilitasi. Namun, untuk memberikan rehabilitasi pun lagi-lagi terkendala masalah sumber daya manusia. LP Cipinang hanya memiliki empat dokter, dua perawat, dan tidak dilengkapi sumber daya untuk rehabilitasi.
 
Tata kelola
 
Kondisi lapas yang kelebihan penghuni dan rentan masalah ini sebenarnya hanya menjadi muara dari persoalan tata kelola hukum di Indonesia. Pakar hukum pidana UI Ganjar Laksmana Bonaprapta mengakui kondisi ini terjadi karena ada persoalan di balik proses hukum bagi pengguna kasus narkotika.
 
“Kondisinya itu sekarang, rata-rata penghuni lapas itu adalah terpidana kasus narkotika. Sebanyak 80 persen dari terpidana itu adalah pengguna yang seharusnya direhabilitasi,” kata Ganjar saat dihubungi medcom.id, Sabtu (30/4/2016).
 
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengamanatkan agar pengguna narkotika tetap direhabilitasi. Bukan dipidanakan.
 
Namun, ada silang pendapat penafsiran proses hukum. Apakah diproses secara hukum terlebih dahulu baru menjalani rehabilitasi, atau langsung direhabilitasi sebelum menjalani proses hukum.
 
Dewan sempat memunculkan wacana agar UU Narkotika direvisi karena pasal bagi pengguna masih dinilai mendua. Pada satu sisi, mengatur bahwa pengguna harus direhabilitasi. Tapi di sisi lain, aturan juga menyebut pengguna tetap dipenjara. Walau masa hukumannya tidak seberat penghasil, pengedar, dan bandar.
 
Memang pasal 127 UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika secara tegas menyebut hukuman penyalahguna narkoba. Pasal tersebut mengatakan pengguna narkotika Golongan I dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Kemudian, pengguna narkotika Golongan II dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun. Sedangkan pengguna narkotika Golongan III dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun.
 
Menurut Arsul, di antara para penegak hukum, terutama Polri dan Badan Narkotika Nasional, belum satu kata soal ini. Perbedaan ini terlihat saat BNN dipimpin Komjen Pol Anang Iskandar dan kemudian digantikan Komjen Pol Budi Waseso.
 
Ia menyebut, Anang saat menjadi Kepala BNN menganggap pengguna yang tertangkap langsung direhabilitasi tanpa proses hukum. Sedangkan Budi saat jadi Kabareskrim sampai kini menjabat sebagai Kepala BNN menyebut pengguna harus diproses hukum. “Tapi hukumannya berbentuk rehabilitasi,” kata Arsul.
 
Pendekatan yang sudah berbeda membuat masalah tersendiri dalam penangan pengguna di kasus narkotika. Belum lagi persoalan fasilitas rehabilitasi yang belum disiapkan oleh pemerintah secara masif. BNN sendiri masih belum meluaskan jaringannya ke seluruh kabupaten/kota. BNN-K sendiri saat ini baru berjumlah 100. Sedangkan jumlah kabupaten/kota di Indonesia sendiri mencapai 514.
 
Konsep rehabilitasi pun turut menjadi persoalan. Selama ini konsep rehabilitasi bagi pengguna kasus narkotika masih menuai kritikan.
 
Pengguna menjalani rehabilitasi dengan konsep rawat jalan. Namun, banyak yang menilai pengguna narkotika harus tinggal di panti rehabilitasi dan tak bisa bepergian tanpa izin dari jaksa.
 
Kritikan ini sebenarnya menyorot beberapa tokoh publik yang tertangkap menggunakan narkotika. Dengan gaya berobat, proses dan hasil dari rehabilitasi akan sulit terpantau “Datang ke RS Ketergantungan Obat seminggu dua kali satu dua jam. Di situ dia detoksifikasi, habis itu dia dirumahnya kan tidak kekontrol. Kalau dia pakai lagi bagaimana?,” kritik Arsul.
 
Konsep ini dinilai tidak memiliki shock-therapy untuk pengguna narkoba. Karena itu kelompok penegak hukum dan pemerintah harus duduk bersama untuk menyusun konsep. Setelah itu memikirkan jalan untuk mengakali keterbatasan institusi rehabilitasi yang dimiliki oleh negara. Bisa saja dengan melibatkan kelompok dan lembaga yang dimiliki oleh masyarakat seperti pesantren dan gereja.
 
Namun hal ini hanya untuk “menangkal” pengguna narkotika tidak semakin membuat penjara membludak. Bagi narapidana pengguna narkoba yang terlanjur menjalani hukuman, memerlukan gebrakan dari Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif negeri ini.
 
Dibutuhkan aturan peralihan dan kebijakan dari Mahkamah Agung agar pengguna narkoba menjalani rehabilitasi. Mereka diberi kesempatan untuk menjalani rehabilitasi dengan syarat-syarat agar pidana penjaranya kemudian dihapus.
 
Sementara itu Adrianus menilai hal ini akan sulit dilakukan karena banyak persoalan di dalam mengutak-atik aturan hukum. Apalagi bila sudah berbicara bagi pelaku kejahatan luar biasa seperti kasus narkotika, terorisme, dan korupsi. Belum lagi unsur politis yang berkutat disekitar kejahatan ini. “Untuk penghapusan PP 99/2012 saja sudah dua tahun diwacanakan dihapus karena aturan pengetatan remisi itu bermasalah, belum juga dilakukan. Ini sebenarnya jadi terkesan politis ya,” kata Adrianus.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan