medcom.id, Jakarta: Seorang wanita paruh baya tampak menjinjing tiga kantong kresek yang dipenuhi hasil belanjaannya. Langkahnya mantap menyusuri lorong Pasar Pal Meriam di Matraman, Jakarta Timur yang masih sibuk walau waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi.
Langkah Ela, nama perempuan tersebut, terhenti di depan salah satu kios cabai dan bawang dalam pasar. Wajahnya terlihat menimbang. Dahinya mengernyit saat mencuri dengar harga yang disepakati seorang pembeli dan sang penjual. “Sekilo rawit merah Rp80 ribu, kalau satu ons Rp8.000,” Ela mendengar.
Harga yang berbeda jauh dengan cabai di Pasar Pramuka, pasar kecil di Jakarta Pusat yang lokasinya tak jauh dari Pasar Pal Meriam. Tak jauh pula dari Kediaman Ela di sekitaran Utan Kayu, Matraman.
“Di Pasar Pramuka, harga rawit merah Rp120ribu. Cabe Keriting juga naik jadi Rp60ribu. Padahal di sini (Pasar Pal Meriam-red), harganya enggak berubah,” kata Ela kepada medcom.id, Selasa (11/1/2017).
Ela mengaku tak tahu apa penyebabnya. Namun, kabar kenaikan cabai yang banyak diberitakan media hanya bisa membuat Ela tersenyum miris. Apalagi dengan perbedaan harga antar pasar yang mencolok
“Pintar cari informasi aja. Untungnya juga, suami saya orang Sumatera. Enggak makan cabai rawit. Makannya cabai merah besar atau yang keriting. Lebih enak katanya,” pungkas dia dengan diiringi tawa.
Lain pula kondisi harga di Pasar Induk Kramat Jati. Sebagai pasar utama pemasokan pangan terutama sayuran ke Ibu Kota, harga Cabai memang sempat naik di akhir Desember 2016. Pedagang beralasan kenaikannya sudah biasa tiap jelang akhir tahun, lantaran permintaan meningkat berkenaan perayaan Natal. Harapannya, usai Tahun Baru harga kembali normal.
Salah seorang pedagang cabai dan bumbu dapur di Pasar Induk Kramat Jati, Ujang, menuturkan bahwa sepekan setelah Tahun Baru 2017 harga cabai memang masih tinggi. Tetapi, pekan berikutnya harga mulai berangsur turun.
“Yang tinggi naiknya cabai rawit merah. Rp99 ribu/Kg. Pasokan memang agak terganggu. Musim hujan kabarnya lagi parah, jadi cabai agak susah dipanen,” papar Ujang.
Petani, kata dia, memang bakal kesulitan. Karena cabai rawit yang dipanen saat hujan lebat akan mudah busuk karena kandungan airnya terlalu banyak. Pemasok pun kadang akan berpikir ulang karena masalah daya tahan.
“Karena biasanya untuk pengiriman dari petani ke pemasok sampai ke pasar bisa dua hari lebih. Kalau enggak segar agak susah juga jualnya,” ujar dia.
Soal harga cabai lain yang terkatrol di beberapa pasar kecil pun ia mengaku heran. Sebab berbeda dengan cabai rawit, cabai merah atau cabai keriting pasokannya normal. Ujang menduga kenaikan harga cabai jenis lain hanya soal pedagang yang cari untung sedikit lebih di saat kenaikan cabai banyak diberitakan.
Sebagai bumbu, cabai memang termasuk salah satu bahan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia. Wajar jika masyarakat kelimpungan kala harga cabai melonjak.
Direktur Utama PD Pasar Jaya Arief Nasrudin sampai mengaku cukup pening menghadapi isu kenaikan harga cabai sepekan terakhir. “Banyak diberitakan harga semua cabai naik sampai tembus Rp100 ribu. Padahal yang naik itu kan spesifik harga cabai rawit merah,” ujar Arief saat dihubungi medcom.id, Rabu (12/1/2017).
Harga cabai rawit merah per kilogram di kisaran Rp85 ribu sampai Rp90 ribu. Harga tertinggi di Pasar Kramat Jati berada di angka Rp100 ribu. Tapi, harga ini sudah mulai bergerak turun.
Harga jual di Pasar Induk Kramat Jati untuk tiga jenis cabai selain jenis rawit merah berada di posisi normal. Walau sempat naik, harganya tak pernah jauh di melebihi harga normal.
Harga tertinggi cabai merah keriting berada di angka Rp47 ribu/Kg dengan harga rata-rata Rp35 ribu/Kg, cabai merah besar Rp25 ribu/Kg (rata-rata Rp20 ribu/Kg), dan cabai rawit hijau Rp62 ribu/Kg (rata-rata Rp49 ribu/Kg).
Arief pun mengakui harga-harga cabai di pasar tradisional melebihi harga Pasar Induk Kramat Jati. Harga di pasar tradisional dan pasar kecil ini pula yang disebut Arief lonjakannya susah terkontrol. Padahal, tambah dia, stok cabai tidak langka.
“Ada pengaruh juga pemberitaan yang gencar ini. Akhirnya pedagang pasar-pasar kecil ikut menaikkan harga. Itu karena mekanisme pasar, kami tidak paksa untuk jual berapa, kan?” kata Arief.
PD Pasar Jaya terus akan memantau harga pasaran dan mengawasi stok agar tidak kurang. Warga pun dapat memantau perkembangan harga pangan di pasar-pasar secara daring di laman infopangan.jakarta.go.id/publik.
Faktor cuaca
Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian yang mengurusi cabai pun terbawa pusing. Sebab kenaikan harga cabai ini sempat disebut-sebut karena cabai tengah langka.
Direktur Jenderal Hortikultura Spudnik Sujono menyempatkan diri berdiskusi panjang lebar dengan medcom.id soal perkara harga rawit merah melambung dan produksi nasional cabai.
“Kita jadi juga enggak enak makan karena kepikiran cabai terus. Ini saya dan tim baru turun ke lapangan. Benar tidak cabai kita langka,” ucap Spudnik yang tampak mengenakan batik coklat saat berbincang di tempat kerjanya, Jakarta, Jumat (13/1/2016).
Hasil pantauannya bersama tim di lapangan selama dua pekan belakangan tak menemukan kelangkaan atau gagal panen seperti yang kekhawatiran publik. Perdu-perdu cabai lahan cabai di daerah sentra cabai nasional dan beberapa daerah lainnya tampak sehat dan menunggu hasil panen.
Namun dia mengakui, cabai rawit proses pematangannya agak terlambat di beberapa daerah. Kalaupun siap panen, kandungan air dalam cabai terlalu tinggi. Harga jual pun menjadi tinggi. Misalnya di Temanggung yang harga petaninya saja sampai Rp80 ribu/Kg.
Beberapa penyebab melambatnya panen ini karena faktor cuaca yang tidak bisa dikendalikan manusia yang terjadi beberapa pekan belakangan.
“Kita terkena dampak La Nina. Musim hujan dengan curah tinggi turun di beberapa kawasan perkebunan cabai. Akhirnya produksi cabai untuk bulan ini yang ditanam tiga bulan lalu agak tertekan,”terang dia.
Dengan wajah sedih, Spudnik mengakui beberapa daerah dengan curah hujan tinggi ini menyebabkan intesitas panen cabai rawit merah turun. Panen yang seharusnya bisa dilakukan dua kali seminggu berubah menjadi satu kali seminggu.
“Tapi bukan berarti panen tidak terjadi. Waktunya saja yang bergeser. Tunggu seminggu atau dua minggu lagi, panen akan meningkat dan kembali normal,” tegas Spudnik.
Sebenarnya ini bisa diakali dengan menggunakan beberapa varietas tahan curah hujan tinggi yang dikembangkan badan penilitian dan pengembangan Kementan, seperti varietas Kencana misalnya. Beberapa jenis cabai lokal pun sebenarnya dapat ditanam karena diakui secara ilmiah lebih tahan terhadap cuaca.
Sayangnya petani lokal lebih memilih varietas yang lebih cepat panen dan tidak mampu beradaptasi dengan cuaca ekstrim. Kementerian Pertanian atau dinas terkait pun tidak bisa memaksa karena dilarang Undang-Undang nomor 12 tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman.
“Kita cuma bisa sampai tahap rekomendasi petani tanam apa. Soal musim hujan ini kita juga sudah rekomendasikan ke petani untuk tanam jeni cabai yang tahan air. Tapi, keputusan memilih jenis yang ditanam itu ada di tangan petani,” ucapnya sembari menggeleng-gelengkan kepala.
Produksi dan harga
Spudnik dengan gamblang menjelaskan, produksi cabai nasional sebenarnya secara statistik sudah mencukupi. Baik dari segi lahan, total produksi, hingga ke hitung-hitungan kebutuhan. Terutama jenis cabai rawit yang kini banyak disorot.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Nasional, produksi jenis cabai rawit tahun 2015 naik 8,6% menjadi 869,9 ribu ton dari 800,4 ribu ton. Sedangkan Ditjen Hortikultura menghitung produksi cabai rawit masa panen untuk Desember 2016 hingga Februari juga telah mencukupi untuk kebutuhan.
“Untuk jenis rawit kebutuhannya sekitar 50-60 ribu ton per bulan, produksi sekitar 60-70 ribu ton. Cabai besar kebutuhannya 70-90 ribu. Produksinya biasa surplus,” paparnya.
Tiap tahunnya Kementerian Pertanian harus memastikan luas lahan cabai yang dipanen untuk memenuhi kebutuhan nasional berkisar 135 ribu hektare untuk cabai rawit dan 120 ribu hektare untuk cabai besar. Secara lahan yang dipanen tiap tahunnya pun sudah berada di atas angka kebutuhan.
Pasokan memang akan berkurang jika ada bencana dan gagal panen. Pada saat itu biasanya harga akan melonjak. Untuk mengakali ini, Spudnik mendorong masyarakat untuk menanam cabai yang toh tak sulit dibudidayakan.
“Tinggal ditebar di halaman juga seharusnya bisa tumbuh. Karena cabai itu tanamannya tidak terlalu rewel dan sulit dirawat. Bisa panen sepanjang tahun,” kata Spudnik.
Tapi adalah harga yang menjadi soal. Spudnik pun mengaku heran dengan harga yang kadang melonjak tinggi walau stok aman. Pada kasus sepekan belakangan juga sangat aneh. Terutama jenis di luar cabai rawit merah.
Stok varietas cabai besar, keriting, dan rawit hijau di daerah tak terganggu. Harga di tingkat petani cenderung normal. Tapi harga di pasar tradisional tetap ikut naik. Hal ini pun dilaporkan tim Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura ke Spudnik.
“Terutama di tingkat pasar tradisional dan eceran,” kata Spudnik.
Spudnik menolak untuk menjawab soal kemungkinan keberadaan kartel. Karena distribusi dan kontrol harga tidak di bawah kewenangan mereka.
Namun dia memastikan, harga jual cabai tingkat petani di daerah lebih rendah dari harga pasaran. Namun beberapa daerah kadang harganya jauh di bawah harga rata-rata nasional tingkat petani, dan kadang lebih tinggi. Yang harus diperhatikan adalah di jaringan pemasaran.
Terutama untuk menghindari pengepul nakal merugikan petani atau konsumen. “Jika petani yang menikmati keuntungan ya tidak apa-apa. Tapi kita harus persingkat jalur distribusi supaya harga lebih rendah,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News