Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Menteri Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan (kiri) dan Wakil Menteri (Wamen) ESDM Arcandra Tahar. (MI/Panca Syurkani)
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Menteri Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan (kiri) dan Wakil Menteri (Wamen) ESDM Arcandra Tahar. (MI/Panca Syurkani)

Dari Rombak Menteri Hingga Hapus Subsidi

Medcom Files jokowi-jk
Surya Perkasa • 17 Oktober 2016 17:13
Metrotvews.com, Jakarta: Istana Negara dipadati pejabat setingkat menteri pada Jumat, 14 Oktober 2016. Siang itu, usai menunaikan ibadah shalat Jumat, Presiden Joko Widodo melantik menteri baru. Tak disangka, Presiden Jokowi ternyata menyerahkan kursi pimpinan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada duet Ignasius Jonan dan Arcandra Tahar.
 
Jonan sebelumnya menjabat Menteri Perhubungan. Pada perombakan pejabat menteri jilid ke-2, Jonan termasuk yang dikeluarkan dari Kabinet Kerja. Namun, kini ia diangkat kembali untuk menjadi Menteri ESDM, berpasangan dengan Arcandra yang sebelumnya juga diberhentikan dari jabatan Menteri ESDM.
 
Publik bertanya-tanya, mengapa keduanya dipilih Jokowi? Spekulasi mengenai duet ini pun berkembang dan menjadi topik pembahasan yang menghangatkan pemberitaan. Jonan dipandang tidak memiliki pengalaman di sektor energi maupun pertambangan. Pengalamannya lebih banyak ke manajemen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan tata kelola transportasi. Sementara itu, Arcandra memiliki pengalaman yang tidak meragukan soal tata kelola migas dan sempat diangkat menjadi menteri, walau dalam kurun waktu 20 hari diberhentikan secara hormat karena persoalan dwikewarganegaraan.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Pengangkatan keduanya pun terkesan mendadak. Baik Jonan maupun Arcandra mengaku tak tahu bahwa mereka dipanggil ke Istana untuk dilantik sebagai anggota kabinet. “Tidak tahu. Tanya saja Pak Presiden,” jawab Jonan saat dicegat wartawan sebelum gladiresik pelantikan berlangsung, Jumat (14/10/2016) siang. Baca: Pengangkatan Jonan & Arcandra Dipertanyakan
 
Presiden Jokowi sempat beberapa kali menyatakan sektor ESDM akan diisi dari golongan profesional dan tidak partisan. Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai keberadaan kelompok profesional non-partisan ini dinilai dapat mendorong program energi nasional yang mandek.
 
“Kita sudah memiliki Peraturan Pemerintah (PP) 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasionl yang bagus. Tapi banyak belum ada aturan turunannya, seharusnya itu dibuat sesegera mungkin,” kata Marwan kepada medcom.id, Jumat (14/10/2016).
 
Memang kebijakan Presiden Jokowi soal energi sering memancing pro-kontra. Beberapa kebijakan nasional tersebut seperti larangan penjualan mineral mentah, kewajiban pengusaha membuat smelter pengolahan konsentrat membuat pengusaha tambang menggerutu.
 
Kebijakan energi Jokowi-JK juga terkadang dipertanyakan. Salah satunya pencabutan subsidi minyak dan gas untuk masyarakat sering membuat geger. “Bisa dikatakan kebijakan pencabutan migas itu yang paling berani dan membuat ribut publik,” kata Marwan.
 
Cabut subsidi BBM
 
Masyarakat Indonesia pernah dikejutkan oleh keputusan pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk mencabut subsidi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium. Pemerintah memutuskan premium harus menyesuaikan dengan harga keekonomiannya di pasar minyak global.
 
Sementara itu subsidi solar juga dibuat tetap. Harga dua jenis BBM subsidi itu sengaja dibuat lebih lepas dan merujuk pergerakan harga di bursa komoditas internasional. Walau menjadi perdebatan, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil pada Desember 2014 meyakinkan publik bahwa pencabutan subsidi diperlukan lantaran senantiasa membebani keuangan negara.
 
Kebijakan ini diharapkan dapat memberi ruang fiskal sebesar lebih Rp90 triliun. Selain itu, anggaran subsidi bisa dialihkan ke sektor lain yang lebih bisa dirasakan manfaatnya oleh publik. Apalagi harga minyak dunia mengalami perubahan tajam dalam beberapa tahun belakangan.
 
"Harganya sendiri akan dievaluasi tiap bulan," kata Sofyan.
 
Dari Rombak Menteri Hingga Hapus Subsidi
 
Dalam kesempatan yang sama, Menteri ESDM Sudirman Said menegaskan Pemerintah berhak mengatur harga BBM berdasarkan UU Migas Nomor 22 tahun 2011 dan putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003 terkait pasal 28 UU Migas.
 
Baca: Ini Alasan Pemerintah Cabut Subsidi Premium
 
Penetapan APBN tahun 2015 dihadapkan pada isu besar pengurangan subsidi BBM karena penurunan pendapatan yang cukup besar dari pajak beberapa tahun ke belakang. Pilihan pemerintah saat itu mengandung isu krusial, karena menjadi anggaran belanja yang pertama kali disusun pada pemerintahan baru.
 
Muncul pendapat umum di publik, kenaikan harga BBM akan memicu gejolak sosial, menaikkan angka, menambah angka kemiskinan, meningkatnya biaya hidup. Bahan ini pun menjadi dagangan politik antarfraksi untuk saling baku hantam di dewan.
 
“Kebijakan ini sebenarnya sangat baik bila dialihkan ke sektor riil dan sektor produktif,” kata Marwan
 
Anggaran yang seharunya bisa digunakan untuk sektor-sektor yang menjadi beban rakyat seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Namun transparansi pengalihan anggaran ini dalam dua tahun kepemimpinan Jokowi-JK belum dapat dilihat.
 
Bila pengetatan anggaran dilakukan juga dilakukan di tingkat kementerian/lembaga, ruang fiskal bisa mencapai Rp200 triliun. Anggaran tersebut sangatlah besar.
 
Pemerintah juga seharusnya bisa meningkatkan efesiensi pengelolaan anggaran untuk sektor energi. Pengamat dan akademisi mendorong penghentian pembelian BBM lewat Pertamina Energy Trading Limited (Petral) yang dinilai menyeleweng dan hanya menguntungkan pemburu rente. Petral barus secara resmi dibubarkan Pertamina pada Februari 2016.
 
Baca: Penyelewengan Petral
 
Selain persoalan jual beli migas, pemerintah Indonesia dinilai masih belum responsif dalam mengendalikan harga. Salah satunya cadangan dana stabilisasi harga minyak. “Kalau harga minyak dunia turun, dinaikkan sedikit untuk dana cadangan. Dana itu bisa dipakai untuk subsidi kalau ketika minyak dunia meningkat tajam,” kata Marwan.
 
Dengan begitu, harga minyak tidak terlalu mempengaruhi perekonomian Indonesia.
 
Pada aspek lain, materi kampanye Jokowi saat Pemilihan Presiden pada tahun 2014 silam didominasi isu pembangunan. Ikrarnya untuk pemerataan kesejahteraan adalah mencakup pembangunan tol laut, waduk, bendungan, kereta di luar Jawa, dan lain lain. Ia menjanjikan percepatan pertumbuhan ekonomi berbasis infrastruktur. Sesuatu yang amat didambakan masyarakat daerah saat itu.
 
Tantangannya, sudah pasti anggaran. Ini diperberat dengan pelambatan pertumbuhan ekonomi secara global. Semua negara sedang menahan diri untuk menghamburkan uang untuk program maupun proyek-proyek berbiaya tinggi.
 
Sejumlah kalangan menilai, memprioritaskan infrastruktur pada saat pertumbuhan ekonomi melambat adalah terlalu berani dan amat berisiko. Namun, Jokowi seakan tak peduli pada selentingan komentar bernada negatif tersebut. Maka begitu dilantik menjadi Presiden RI ke-7 pada 20 Oktober 2014, ia tetap berambisi pada percepatan pembangunan infrastruktur demi memacu pertumbuhan ekonomi.
 
Pakar ekonomi Firmanzah mengatakan, pembangunan infrastruktur itu diusung dengan pola 'membangun dari pinggir'. Artinya, pulau Jawa tidak jadikan sentral pembangunan nasional, melainkan pemerataan pembangunan luar Jawa.
 
Keinginan itu diterjemahkan dalam alokasi anggaran di APBN. Anggaran transfer daerah relatif lebih besar dibanding belanja kementerian lembaga. "Inilah komitmen politik Jokowi-Jusuf Kalla. Infrastruktur dan membangun dari pinggiran," kata Rektor Universitas Paramadina itu saat berbincang dengan medcom.id, Jumat (14/10/2016).
 
Dari Rombak Menteri Hingga Hapus Subsidi
 
Untuk mewujudkan ambisi itu, Jokowi membuat kebijakan tak populis dengan menggeser alokasi dana subsidi BBM pada APBN untuk dialihkan pada pembiayaan proyek infrastruktur. Mengingat opsi ini tak pernah menjadi pilihan pemerintahan sebelumnya, langkah ini boleh dibilang mengejutkan dan terlalu berani. Maka, sontak
kebijakan menaikkan harga premium dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 per liter itu pun memicu reaksi pro dan kontra.
 
"Subsidi kami alihkan dari sektor-sektor yang konsumtif. Kita geser ke sektor produktif. Jangan sampai setiap tahun membakar Rp300 triliun, terbakar, dan kita tidak melakukan apa-apa. Subsidi harus tepat sasaran," kata Jokowi saat wawancara yang ditayangkan pada Mata Najwa di Metro TV, Minggu 23 November 2014 silam.
 
Kebijakan pemangkasan subsidi BBM selalu menjadi simalakama bagi setiap rezim, antara penyehatan fiskal atau citra pemerintah. Namun, bagi pemerintahan Jokowi yang mengedepankan politik infrastruktur, tentu pengalihan subsidi ini menjadi penting, meski menjadi langkah tak populer dan mempertaruhkan reputasi politik sekalipun.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan