Gedung Metropole XXI, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Salah satu gedung tua sekaligus salah satu bioskop tua di Jakarta yang masih bertahan karena revitalisasi. MI/Ramdani
Gedung Metropole XXI, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Salah satu gedung tua sekaligus salah satu bioskop tua di Jakarta yang masih bertahan karena revitalisasi. MI/Ramdani

Jangan Harap Bantuan Asing di Film dan Bioskop

Medcom Files
Hardiat Dani Satria, Mohammad Adam • 30 April 2015 15:43
medcom.id, Jakarta: Industri film kekurangan modal, namun pemerintah menetapkan bahwa sektor film masuk dalam daftar negatif investasi (DNI). Pemerintah belum mau membuka pintu lebih lebar bagi pemodal asing yang berminat mengembangkan industri perfilman di Indonesia.
 
Porsi kepemilikan asing dalam usaha distribusi film dan investasi bioskop di Indonesia dibatasi maksimal 49 persen. Artinya, investasi untuk sektor bioskop dan distribusi film seluruhnya masih ditangani oleh investor lokal, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penamanan Modal.
 
Salah satu alasan pemerintah belum mengeluarkan industri film dari daftar negatif investasi ini adalah untuk memproteksi investor dalam negeri. Selain itu, bioskop dipandang sebagai bidang kreatif yang rawan disusupi budaya asing. Pemerintah mengasumsikan jika peran investor asing di sektor ini diperbesar, lalu mereka menjadikan bioskop sebagai sarana penetrasi, maka dikhawatirkan ini akan membahayakan ketahanan budaya bangsa Indonesia.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Dengan demikian, pemerintah juga mendorong agar pelaku usaha domestik memberi perhatian lebih besar bagi upaya pembenahan industri film nasional. Terutama dalam membangun iklim persaingan yang sehat dan kondusif. Para pengusaha dan pelaku industri ini diharapkan kompak bekerja sama dalam semangat nasionalisme yang tinggi untuk melihat apa saja yang menjadi permasalahan dan apa yang harus diperbaiki. Sebab, pemerintah tidak mungkin membuka keran kepemilikan asing di sektor ini apabila itu justru berpotensi mematikan investor lokal.
 
Perlakuan berbeda diterapkan pada sepuluh sektor yang terbuka untuk investasi asing. Pemerintah amat melonggarkan kepemilikan asing di Indonesia antara lain untuk bidang usaha farmasi (85 persen), wisata alam berbasis kehutanan (70 persen), jasa keuangan (85 persen), dan telekomunikasi (65 persen).
 
Jangan Harap Bantuan Asing di Film dan Bioskop
(Dewi Irawan. Foto: Antara/Teresia May)
 
Aktris Dewi Irawan menyatakan, kebijakan pemerintah terkait DNI ini yang sarat nuansa politik dan menunjukkan kewaspadaan yang tinggi terhadap intervensi asing dalam industri film, yang notanene berhubungan dekat dengan kegiatan propaganda ini.
 
“Kebijakan pemerintah sebenarnya kan cuma ingin supaya penerapan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) mulus jalannya melalui BKPM untuk investasi asing. Makanya, perusahaan asing enggak boleh didirikan di sini,” kata Dewi kepada medcom.id.
 
Namun, Dewi berharap pengawasan yang sungguh-sungguh terhadap penegakan aturan untuk membatasi kepemilikan asing dalam perusahaan-perusahaan bioskop di Indonesia.
 
“Kenyataannya, asing bisa beli saham lewat Bursa Efek Jakarta. Itu sebabnya CJ bisa beli Blitz,” kata Dewi.
 
Sebagaimana diketahui, Cheil Jedang CGV Co Ltd (CJ), operator bioskop terbesar Korea Selatan mengantongi (19,86 persen) saham PT Graha Layar Prima, pengelola bioskop Blitzmegaplex.
 
Aktor Tio Pakusadewo berpendapat bahwa pekerja film harus memahami karyanya merupakan produk yang sangat efektif untuk kegiatan propaganda politik dan budaya. “Film ini bisa membuat orang bodoh menjadi makin bodoh dan membuat orang yang cerdas menjadi makin cerdas,” kata Tio saat ditemui medcom.id di Jakarta.
 
Ia menjelaskan, gerakan politik negara-negara adidaya di kancah internasional memang amat patut diantisipasi. Sebab, film-film impor dari AS gencar mempromosikan ideologi kapitalisme dan budaya kebebasannya.
 
“Politik internasional kuat sekali. Industri hiburan ini menyumbang pendapatan perkapita terbesar Amerika kedua setelah industri senjata,” kata Tio.
 
Menurut Tio, pidato Presiden Joko Widodo saat bersilaturahmi dengan insan perfilman pada acara peringatan Hari Film Nasional di Istana Negara, Jakarta, Senin 30 Maret 2015, patut diapresiasi sebagai bentuk perhatian sekaligus keprihatinan seorang kepala negara dalam melihat kesemrawutan yang terjadi di industri ini.
 
Jangan Harap Bantuan Asing di Film dan Bioskop
(Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato pada malam peringatan Hari Film Nasional di Istana Negara, Jakarta, Senin (30/3). Pada kesempatan tersebut Presiden Joko Widodo menonton film nasional berjudul Cahaya Dari Timur: Beta Maluku sebagai bentuk dukungan bagi perkembangan film nasional. Foto: Antara/Andika Wahyu)
 
Presiden Jokowi mengeluhkan kurangnya sarana pemutaran film seperti gedung bioskop yang murah dan mudah dijangkau untuk masyarakat menengah ke bawah. Sebab, saat ini bioskop hanya dibangun di mal-mal besar di kota besar.
 
“Inilah saya kira tugas pemerintah, tugas kementerian, tugas Badan Ekonomi Kreatif untuk memunculkan ini lagi agar rakyat bisa nonton film Indonesia,” ujar presiden saat memberi sambutan pada acara silaturahmi dengan masyarakat perfilman nasional di Istana Negara, Jakarta, 30 Maret 2015 lalu.
 
Menurut Jokowi, laporan yang diterimanya menunjukkan bahwa saat ini jumlah bioskop di Indonesia hanya sekitar 1.000 di Indonesia. Padahal, jumlah idealnya antara 5.000-6.000 bioskop.
 
“Ini tugasnya pemerintah untuk memberikan stimulasi agar bisa hidup lagi. Saya meyakini industri perfilman dengan insentif dari pemerintah, akan menguasai pasar,” imbuh Jokowi.
 
Jokowi pun meminta Badan Ekonomi Kreatif agar merumuskan kembali insentif yang bisa mendorong industri perfilman nasional. Ia berharap film Indonesia dapat bersaing dengan buatan Hollywood, Korea, dan Jepang.
 
Namun, yang tak kalah penting adalah rakyat Indonesia semestinya mencintai film-film nasional. "Mari mencintai film Indonesia. Ayo nonton film Indonesia," kata Jokowi.
 
Oleh karena itu, Tio pun mendukung pernyataan Jokowi. "Saya sih setuju. Itu cerdas namanya. Karena dengan hal itu, industri film bisa bangkit seperti dulu lagi. Masing-masing punya pilihan untuk nonton, film mengenai santet ada tempatnya dan film tema lain ada tempatnya," kata Tio.
 
Jangan Harap Bantuan Asing di Film dan Bioskop
(Tio Pakusadewo. Foto: MI/Ardi)
 
Dengan berstatus sebagai daftar negatif investasi, menurut Tio, inilah kesempatan bagi masyarakat film untuk menggalang dukungan dari para pengusaha dalam negeri.
 
"Semua setuju soal bioskop mesti diperbanyak. Tapi, kita jangan berharap sama asing dulu deh, terlalu mimpi kalau itu," kata Tio.
 
Menurut Tio, Badan Perfilman Indonesia selaku badan yang dibentuk masyarakat perfilman dengan mendapatkan fasilitas dari negara, mesti lebih gencar melakukan sosialisasi kepada para pengusaha mengenai pentingnya kerja sama memajukan industri ini.
 
"Coba kerja sama dulu dengan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) misalnya, bikin seminar, nanti dikasih tahu pengusaha-pengusaha ini soal bikin film ini apa sih untungnya, apa sih kesempatan yang ada di industri film ini, dan lain-lain. Nah, seminar ini harus BPI yang bikin," kata Tio.
 
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Utama PT Graha Layar Prima Tbk, Bernard Kent Sondakh, menilai pemerintah telah sasaran jika menganggap pengusaha bioskop juga harus terimbas penetapan daftar negatif investasi untuk sektor film.
 
Ia menjelaskan, produksi film besar butuh modal dan teknologi. Namun, bisnis bioskop sebenarnya tidak termasuk bidang ekonomi kreatif. Wajar jika orang membuat film animasi, film pendek, itu kreativitas, masuk wilayah ekonomi kreatif. Tetapi, bisnis bioskop harus dipisahkan, karena sebenarnya masuk wilayah industri dan bukan ekonomi kreatif.
 
“Ini harus dipisahkan benar. Sebab, selama bisnis bioskop ini masuk daftar negatif, dan itu sulit bagi bioskop berkembang di negara ini,” ujar Kent kepada medcom.id.
 
Menurut Kent, di Indonesia ada banyak pemilik modal, tapi yang punya keinginan untuk terjun di perbioskopan ini masih kurang. “Perfilman nasional lesu, tapi bisnis bioskopnya enggak. Jangan menganggap film sebagai suatu bisnis,” kata Kent.
 
Pemerintah, ia melanjutkan, harus memahami ini bahwa film adalah sarana atau media efektif untuk kampanye program politik dan budaya dan nasional. Artinya, pemerintah pun bisa menyampaikan informasi atau pesan yang mendidik masyarakat demi kepentingan negara. Melalui film ini pemerintah juga bisa, misalnya, menitip pada sutradara, untuk menyampaikan kepentingan pemerintah tentang program keluarga berencana, anti korupsi, dan hal lain sebagainya.
 
“Ini seharusnya dipahami. Seharunya ada niat untuk mau begitu. Saya juga merasa kami (pengusaha) ini jalan sendiri, pemerintah melihat bisnis bioskop ini yang dilihat hanya nilai ekonomi, padahal di dalamnya ada nilai yang justru strategis untuk menyampaikan pesan-pesan kepada rakyat yang tepencil sekalipun. Kalau dulu kita ada PFN (Perusahaan Film Negara). Itu memutar film di kampung-kampung pakai layar tancap. Sekarang kan sudah tidak ada. Seharusnya manfaatkan film ini. Ini kan sarana yang paling bagus untuk membuat orang menjadi tambah pintar dan pengetahuannya,” kata Kent.
 
Jangan Harap Bantuan Asing di Film dan Bioskop
(Direktur Marvell City, Kevin Kusuma (kiri), berbincang dengan Direktur Blitz Megaplex, Lim Jong Kil, saat signing ceremony Blitz Megaplex di Surabaya, Kamis (17/10/2013). Blitz Megaplex yang merupakan jaringan sinema terbesar selain Group 21, akan melebarkan bisnis bioskop di Marvell City Surabaya, dengan konsep yang berbeda dibandingkan sinema yag sudah ada. Foto: Antara/Eric Ireng)

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
TERKAIT
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan