Seorang petani mencangkul lahan. (foto: Antara/Budi Afandi)
Seorang petani mencangkul lahan. (foto: Antara/Budi Afandi)

Gengsi Main Cangkul di Desa Gegesik Kidul

Medcom Files telusur desa
Sobih AW Adnan • 11 Januari 2016 20:13
medcom.id, Cirebon: Gerbang desa begitu ramai. Pedagang sayur di sebuah los dikerumuni para pelanggan. Tepat di belakangnya, terdengar samar dua perempuan menanyakan harga beras, di sebuah toko kelontong yang berjajar dengan puluhan kios penjaja aneka ragam barang jualan.
 
Pasar yang terletak di muka desa ini akan menyapa siapapun dengan keriuhan. Terutama di waktu pagi. Segenap keperluan warga seolah akan terpenuhi tanpa membutuhkan langkah lebih jauh ke luar desa. Pasar Gegesik Kidul adalah salah satu penopang ekonomi andalan bagi warga di sebuah desa yang terletak sejauh 28 kilometer dari pusat administratif Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Selain pasar sebagai sumber pendapatan asli desa (PADes), desa ini juga memiliki bank serta lumbung desa yang digerakkan sebagai Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
 
“Untuk pasar desa, kami memiliki sebanyak 30 kios serta 60 los, dengan pemasukan bagi kas desa setidaknya sebesar seratus juta rupiah per tahun,” kata Kepala Desa Gegesik Kidul Kecamatan Gegesik Kabupaten Cirebon, Rahmat, saat ditemui medcom.id di kantor desa setempat, Sabtu (9/1/2016).

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Gengsi Main Cangkul di Desa Gegesik Kidul Tak kalah dengan pasar, BUMDes berupa bank desa juga mampu mendongkrak PADes dengan nilai 400 juta rupiah per tahun. Sementara lumbung desa, dalam catatan setahun terakhir, di dalamnya telah tersimpan sebanyak 150 ton padi yang digunakan untuk kepentingan permodalan pertanian warga.
 
“Karena 80 persen dari penduduk Gegesik Kidul bermata pencaharian petani, maka manajemen kebijakan anggaran dan strategi ekonomi yang kami kuatkan adalah di bidang pertanian,” kata Kepala Desa yang terbilang masih cukup muda tersebut.
 
Pertanian dan kemandirian desa
 
Soal tata kelola anggaran desa, Gegesik Kidul memang patut dicontoh. Penerima penghargaan Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai desa terbaik sebanyak dua kali, yakni pada tahun 2001 dan 2014 ini dinilai cukup serius dalam memanfaatkan potensi yang dimiliki. Melalui kegiatan dan transaksi di lumbung desa, para petani cukup mendapatkan jaminan dalam segi permodalan.
 
“Karena bagi kami pertanian adalah lambang kemandirian. Maka dikuatkanlah fungsi lumbung desa. Melalui BUMDes yang satu ini, petani boleh meminjam padi minimal 80 kilogram dan maksimal satu ton per orang,” kata Rahmat.
 
Padi hasil pinjaman dari lumbung desa bisa dijual untuk pembiayaan awal pada masa tanam. Sementara pelunasannya diberikan keleluasaan jangka waktu sebanyak satu tahun ditambah biaya dukungan lumbung sebesar 25 kilogram untuk setiap satu kwintal padi yang dipinjam.
 
“Warga boleh meminjam padi di awal masa tanam, dan membayarnya pada masa panen. Hitungannya sepanjang satu tahun sejak peminjaman,” kata dia.
 
Kesan keberhasilan Desa Gegesik Kidul dalam melestarikan sistem lumbung warisan era perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia ini dibuktikan dengan jumlah simpanan padi yang terus meningkat dalam setiap tahunnya.
 
“Kalau kredit macet memang ada. Semisal diakibatkan gagal panen. Tapi itu hanya sebagian kecil dan alhamdulillah tidak begitu mengganggu perputaran kas lumbung,” ujar Rahmat.
 
Perhatian Desa Gegesik Kidul terhadap pertanian juga disertai dengan siasat menanggulangi putusnya kelompok usia petani. Problem pertanian yang hanya digerakkan oleh usia tua pada desa-desa lain, dicegah melalui aneka ragam kebijakan penguatan sumberdaya.
 
“Pada faktanya kelompok usia muda agak gengsi bermain cangkul atau aktif di dunia pertanian, karena dinilai tidak praktis dalam menghasilkan pendapatan juga dekat dengan kesan ketertinggalan. Maka kami melakukan penguatan melalui pengenalan teknologi dengan memfungsikan alat-alat pertanian modern, juga bekerjasama dengan Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon untuk memfungsikan SLPHT (Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu),” kata Rahmat.
 
Dengan inisiasi itu, Rahmat berharap kelompok muda memiliki ketertarikan dalam mendukung potensi pertanian sebagai penopang kemandirian Desa Gegesik Kidul. Bidang pertanian juga turut melambungkan PADes dengan keberadaan tanah kas desa dengan nilai 450 juta rupiah per tahun.
 
Berlaku Pandai dengan Bantuan
 
PADes murni yang dimiliki Desa Gegesik Kidul memang dinilai cukup tinggi dibanding desa-desa lain di sekitarnya. Meski begitu, hal ini tidak berarti mencoret peluang mendapatkan bantuan anggaran yang biasa diturunkan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Seperti wilayah lainnya, Desa Gegesik Kidul juga memberdayakan bantuan rutin semisal anggaran Alokasi Dana Desa (ADD), atau kebijakan terbaru berupa kucuran Dana Desa sebagai aplikasi dari kebijakan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa.
 
“Kalau ADD, tahun ini kami menerima sebesar Rp160 juta untuk operasional. Sementara dana desa sebesar Rp297 juta sebagian besar digunakan untuk pembangunan infrastruktur,” ujar Sekretaris Desa Gegesik Kidul, Kaerudin.
 
Dengan dukungan itu, kata Kaerudin, pihaknya semakin memiliki peluang untuk menjaring lebih banyak aspirasi warga dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes).
 
“Akan tetapi alokasinya tetap, mengutamakan bidang pertanian, di antaranya pembuatan dan pemeliharaan irigasi, maupun penguatan sumberdaya manusia di bidang pertanian,” kata Kaerudin.
 
Meski identik dengan aneka ragam terobosan pertanian, Gegesik Kidul tak melupakan unsur penguatan warga lainnya, semisal pendidikan dan kebudayaan, terlebih lagi pelayanan kesehatan warga.
 
“Gegesik Kidul juga memiliki potensi di bidang kebudayaan yang sedang dikembangkan. Yakni kesenian Kuda Depok, seni ukir serta seni pembuatan topeng Cirebonan. Untuk kesehatan, sudah lama masyarakat begitu aktif mendukung program Dana Usaha Kesehatan Masyarakat (DUKM) yang dikelola sejak tahun 1980an,” papar Kaerudin.
 
Melalui program DUKM, masyarakat dikenakan iuran wajib seribu rupiah per minggu untuk setiap warga yang dikelola melalui Rukun Warga (RW) setempat. Untuk pengambilan manfaatnya, setiap bulan pihak Puskesmas kecamatan akan mengajukan klaim atas sejumlah warga yang telah berobat dan mendapatkan perawatan kesehatan.
 
“Jadi, jauh sebelum BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) dari pusat itu ada, kami sudah melakukan,” ujar Kaerudin diimbuhi tawa.
 
Kehadiran BPJS Kesehatan sejak beberapa kurun terakhir bukan pula dianggap sebagai kebijakan serupa yang percuma. Jika DUKM hanya difungsikan untuk yang masih dalam sekala kemampuan pihak Puskesmas, maka BPJS Kesehatan mesti disiapkan warga untuk mendapatkan rujukan ke rumah sakit.
 
“Harapannya, dengan perpaduan kedua program tersebut, jaminan atas kesehatan warga bisa semakin kuat,” kata dia.
 
Gengsi Main Cangkul di Desa Gegesik Kidul
 
Bukan tanpa kendala
 
Tak lazim jika menganggap suatu desa tidak memiliki satu pun masalah atau kendala. Termasuk Desa Gegesik Kidul. Kepala Desa Gegesik Kidul, Rahmat mengatakan terdapat dua masalah yang kerap diterima pihaknya dalam rangka terus menggenjot produksi pertanian sebagai lambang kemandirian desa.
 
“Yang jadi persoalan klasik di desa kita adalah seputar pengairan. Jika saja sumber air di sekitar mampu memberikan suplai dengan memadai, maka saya yakin, kita dapat melakukan produksi padi sepanjang tahun tanpa terputus,” kata Rahmat.
 
Kendala ini muncul karena tidak segera dilaksanakannya penyaluran pasokan air dari Waduk Jatigede. Jika saja waduk dengan kapasitas 4,468 m3/s atau setara 157,786 cu ft/s itu segera menyalurkan sedikit air ke kawasan pertanian andalannya, Rahmat yakin desanya akan mampu turut mendongkrak jumlah produksi pertanian nasional.
 
“Karena kita masih terhambat dengan adanya musim gadu dan kemarau, maka kita hanya bisa melakukan panen sebanyak dua kali per tahun. Sementara jika ingin bisa melakukan panen tanpa terputus, maka kita butuh masa tanam satu kali lagi, yakni tiga kali dalam setahun,” jelas Rahmat.
 
Persoalan berikutnya adalah langkah perlahan yang mesti dilakukan dalam usaha modernisasi bidang pertanian. Rahmat menuturkan, tradisi teknologi yang masih bergantung pada peralatan manual menjadikan pihaknya harus secara lebih serius mempromosikan penggunaan alat-alat yang lebih canggih.
 
“Semisal kemarin kami mengenalkan mesin potong dan perontok padi otomatis mini combine, tapi masyarakat lebih gemar menggunakan alat potong manual,” kata Rahmat.
 
Memilah Pendamping Desa
 
Sebagai amanat UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa yang mencanangkan keterbukaan informasi dan ketertiban dalam penatalaksanaan pengelolaan anggaran di dalamnya, maka pemerintah pusat merasa penting untuk merekrut para calon pendamping desa yang akan bertugas membantu tata kelola keuangan desa secara lebih tertib. Untuk itu, desa menginginkan keberadaan pendamping desa merupakan hasil seleksi ketat yang bisa benar-benar mendorong pembangunan desa dan masyarakat di dalamnya.
 
“Pendamping desa harus benar-benar orang yang mampu melakukan komunikasi yang baik dengan pemerintahan desa. Juga orang-orang yang memang andal di bidang tata kelola keuangan pemerintahan desa, jangan sampai kehadiran mereka yang semula kami butuhkan untuk membantu pelaksanaan pembangunan yang transparan dan tertib, malah belum mengerti tentang pos dan tugas yang harus mereka kerjakan,” kata Sekretaris Desa Gegesik Kidul, Kaerudin.
 
Para pendamping desa yang direncanakan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Menteri Desa), Marwan Jafar, hingga menyentuh jumlah sebanyak 23.000 petugas ini, diharapkan Kaerudin tidak sekadar orang-orang yang turut merayakan perhatian negara terhadap pembangunan desa. Lebih dari itu, pendamping desa mesti memberikan inspirasi untuk menguatkan sistem tata kelola anggaran yang lebih baik.
 
“Tapi kami tetap optimis, pendamping desa yang akan terpilih adalah orang-orang yang mumpuni. Meskipun untuk sementara, beberapa calon yang kami lihat belum mengarah ke cita-cita tersebut,” kata Kaerudin.
 
Desa Gegesik Kidul memang mengantongi segenap kemampuan manajeman dan tata kelola anggaran desa cukup baik. Dalam lima tahun terakhir, terdapat banyak pemerintah desa dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur bahkan Nusa Tenggara Barat (NTB) yang telah menjadikannya sebagai salah satu tujuan penting studi banding.
 
Prestasi ini semestinya terus digetok-tularkan demi kemajuan. Selebihnya, kemandirian serupa yang tentu dimiliki banyak desa lainnya mesti direkam dan dikembangkan dalam membentuk sebuah kebijakan pemerintah pusat, tentu, dalam rangka menegakkan prinsip demokrasi pembangunan, dari, oleh dan untuk rakyat.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan