“Rasanya seperti ingin mati saja,” kata dia.
Lantaran membicarakan pengalaman buruk terjerat narkoba, ia tak mau namanya diungkap. Namun, ia bersedia menjadi narasumber dengan sebutan inisial IP.
IP adalah satu dari 20 peserta rehabilitasi di Graha Madani yang berada di Jalan Panca Warga 2, Cipinang Besar Selatan, Jatinegara, Jakarta Timur. Hampir genap tiga bulan ia mengikuti program hingga pemulihan dari ketergantungan narkoba. “Di sini, kedua. Sebelumnya juga pernah dua kali rehab di tempat berbeda,” kata pria asal Semarang, Jawa Tengah tersebut.

Trauma
Soal rehabilitasi, IP mengaku mengaku pernah menaruh rasa tidak percaya. Bahkan, trauma. Pasalnya, di dua lembaga rehabilitasi sebelumnya IP mendapatkan perlakuaan kurang manusiawi dengan dalih bagian dari penguatan mental.
“Kaki saya dirantai. Persis tahanan. Sesekali diajak ke laut kemudian diceburkan, padahal kondisi saya lagi sakau,” kata dia.
Alih-alih sembuh, yang ada justru malah perasaan ingin melawan dan berontak. “Maka, jangan heran jika di tempat-tempat itu sudah lazim cerita petugas yang digebukin atau diancam peserta rehab,” kata dia.
IP pertama kali tercandu narkoba ketika di bangku perkuliahan. Di Madani, ia menjalani rehab pertama pada 2012, namun setelah sembuh ia mengaku kembali terjerumus ke dalam dunia yang sama lantaran tidak bisa menahan godaan di dunia luar.
“Kembali ke sini pun atas permintaan sendiri. Karena di Madani saya bisa tempuh rehabilitasi dengan mudah,” kata IP.
Potensi berulang
Ketua Yayasan Madani Health Care, Darmawan mengatakan potensi terjerembab dalam dunia yang sama begitu besar. Setelah rehabilitasi berhasil dijalani, maka yang dilakukan Madani adalah dengan menguatkan jaringan alumni agar tetap terikat dalam seri komunikasi yang kuat.
“Biasanya 2 atau 3 kali. Bahkan ada yang 17 kali,” kata Darmawan di rumah rehabilitasi narkoba Graha Madani, Rabu (8/2/2017).
Cerita serupa dialami IWS. Pria berusia 40 tahun itu berpendapat, potensi keberulangan yang besar saat kembali ke dunia luar menjadikannya memilih untuk tetap bertahan di Graha Madani. IWS kini mengabdi sebagai salah satu konselor di rumah rehabilitasi tersebut.
“Salah satu faktornya adalah uang dan kesempatan. Ditambah jaringan barang laknat yang pernah terhubung sebelumnya selalu mengawasi dan memburu,” kata dia.
Bukan cuma pengguna, bahkan IWS pernah berpengalaman sebagai pengedar. Tak tanggung-tanggung, ia edarkan barang haram itu kala mendekam di sebuah lembaga pemasyarakatan pada 2008 silam.
“Itu mengapa keberadaan rehabilitasi menjadi penting di Lapas,” kata dia.
Tak tersisa
IWS mengaku beruntung, lantaran pilihannya untuk mengabdi sebagai konselor adalah hal yang paling menyelamatkan nyawa dan kehidupannya. “Juga menyelamatkan teman-teman lain. Karena mereka cenderung lebih mendengarkan penjelasan dari orang-orang yang pernah mengalami senasib, dibanding dari sekadar seorang ahli,” kata dia.
Tak jauh berbeda dari IWS, ialah kisah Candra Wijaya. Pria yang tak gamang mempersilakan nama aslinya ditulis ini memiliki pengalaman rehabilitasi hingga mengantarkannya sebagai penyeru anti-narkoba di berbagai seminar.
Candra pun kini mengabdi sebagai konselor di Balai Besar Rehabilitasi (Babesrehab) Narkoba BNN yang terletak di Desa Wates Jaya, kecamatan Cigombong, Lido, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Pria yang lulus dari Fakultas Ekonomi di perguruan tinggi swasta di Jakarta Timur pada tahun 2000 ini mengaku terjerumus dalam pemakaian barang haram sejak masa SMA. Pergaulan remaja yang tidak keruan membuatnya tertantang mencicipi aneka pil yang banyak diperjual-belikan kawan-kawan dekatnya.
“Itu tahun 1996. Pada 1997 saya overdosis ketika memakai putaw,” kata dia.

(MTVN/Sobih)
Sejak itu, kata dia, kehidupannya kian rusak. Bukannya kapok setelah diobati di salah satu rumah sakit ketergantungan obat (RSKO) di Jakarta, ia malah terjerumus lebih dalam hingga menjajal jenis narkoba lainnya, termasuk shabu.
“Sampai-sampai saya harus menjadi kernet bus kota demi mendapatkan uang tambahan,” kata Candra yang mengaku berasal dari keluarga berkecukupan itu.
Akhirnya Candra harus terima ketika pihak keluarga memaksanya menjalani proses rehabilitasi. Setelah selesai, seiring berhasil menuntaskan kuliah, ia memutuskan untuk menikahi gadis yang sudah lama ia taksir.
“Nahasnya, setelah menikah saya kembali terjerumus. Mungkin saat itu karena saya makin mapan setelah diangkat PNS. Pada 2013, saya masuk ke Babesrehab,” ujar Candra.
Sebab narkoba, nyaris seluruh harta yang ia miliki habis terkuras percuma. Ia juga merasa penuh penyesalan lantaran hampir keluarga dan anaknya.
“Setelah usai rehabilitasi, saya merasa menemukan kenyamanan di Babesrehab. Maka saya memutuskan untuk mengabdi di sini,” kata dia.
Lepas dari jerat narkoba, ujar Candra, harus didukung banyak hal. Di antaranya, sistem rehabilitasi yang baik, niat dan tekad dalam diri pecandu itu sendiri, “Terlebih dukungan keluarga tercinta,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News