Seorang pekerja memeriksa tebu dikereta tebu di Pabrik Gula Desa Pangkah, Kabupaten Tegal, Jateng. (ANTARA/Oky Lukmansyah)
Seorang pekerja memeriksa tebu dikereta tebu di Pabrik Gula Desa Pangkah, Kabupaten Tegal, Jateng. (ANTARA/Oky Lukmansyah)

Keterpurukan Pabrik Gula

Medcom Files swasembada gula
Surya Perkasa, Mohammad Adam • 26 September 2016 17:21
medcom.id, Jakarta: Isu permainan mafia gula dan pemburu rente sudah jadi rahasia umum. Terakhir, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dugaan suap distribusi gula Sumatera Barat.
 
Nasib industri gula nasional ternyata tidak semanis rasanya. Selain banyak masalah dan nada sumbang di sekitar barang pangan pokok ini, produksi gula krital putih (GKP) dari tebu untuk konsumsi masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan nasional. Impor gula berdampak pahit bagi petani dan industri dalam negeri terus dilakukan.
 
Benarkah industri gula nasional jauh dari kata swasembada?

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 

Ada hikayat, Indonesia pernah menjadi salah satu raksasa eskportir gula. Bahkan Hindia Belanda menjadi kawasan produsen gula terbesar dunia pada era 1930-an. Kemerdekaan justru membuat Indonesia menjauh dari kata “industri gula nan mandiri”.
 
Baca: Indonesia di Abad Kejayaan Gula
 
Mirisnya kondisi ini tak kunjung membaik. Produkfitas Indonesia perlahan dikejar negara tetangga. Bahkan Thailand kini unggul dari Indonesia dengan produksi gula konsumsi melebihi 5 juta ton per tahun dengan biaya produksi di bawah Rp5.000/kg. Belum lagi produksi gula kasar dan gula rafinasi negeri gajah putih, yang jika dijumlahkan mencapai 11 juta ton per tahun.
 
Produksi gula konsumsi Indonesia harus berpuas diri di angka 2,8 juta dengan harga pokok produksi Rp8.900/kg. “Kita yang dulu jadi guru gula Thailand, sekarang justru berbalik studi banding ke sana,” kata mantan Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), Ismed Hasan Putro saat berbincang dengan medcom.id di Jakarta, Kamis (22/9/2016).
 
Banyak ihwal dan sebab yang bisa digali. Mulai persoalan produksi petani, soal efesiensi, hingga pertarungan dalam industri.
 
Lahan dan petani
 
Naik-turun industri gula ini dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi sepanjang kurun waktu 1970 hingga 2014. Produksi gula nasional sempat menurun drastis pada periode tahun 1990 hingga 2000. Pada tahun 1995 produksi gula nasional turun sebesar 2,88 persen dibandingkan tahun 1990. Demikian pula pada tahun 2000 produksi gula nasional turun tajam dibandingkan tahun 1995 hingga mencapai 17,92 persen. Bisa dimaklumi, pada era tersebut krisis menerjang ekonomi nasional.
 
“Reformasi justru membuat industri gula kita kehilangan dasar. Insentif dan perlindungan untuk petani tebu dan industri nasional di era Orde Baru contohnya,” kata Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Mohammad Suryo Alam kepada medcom.id, Kamis (22/9/2016).
 
Pertumbuhan lahan tebu di Indonesia tidak meningkat signifikan. Pembukaan lahan pertanian ternyata tidak seimbang dengan berubahnya fungsi ladang tebu dan kebutuhan nasional. Terutama perkebunan rakyat.
 
Total areal lahan tebu rakyat hanya meningkat sekitar empat ribu hektar selama lima tahun belakang. Total luas lahan tebu rakyat juga tak sampai 262,9 ribu hektare. Total lahan tebu Indonesia jika digabung dengan perkebunan besar pun hanya sekitar 462,7 ribu hektare menjelang 2015. Lagi-lagi, bandingkan dengan Thailand yang memiliki lahan tebunya mencapai 1,35 juta hektare.
 
Produksi tebu nasional juga tidak meningkat secara drastis. Jumlah produksi tebu nasional diperkirakan hanya sekitar 200 ribu TCD (ton tebu/hari). Kembali kalah jauh dari Thailand yang mencapai 950 ribu TCD. Padahal luas daratan Indonesia hampir empat kali Thailand.
 
Baca: Duh, Tebu Undonesia Kalah Jauh dari Thailand
 
Petani tebu, kata Suryo, enggan menanam karena tidak ada jaminan berlaba. Mulai dari kredit yang tinggi, pupuk dan bibit yang sulit, infrastruktur tak terawat, hingga regulasi yang tak pasti menjadi beban. Belum lagi soal terangnya hitungan rendemen (persentase kadar kandungan gula di tebu) bagi petani rakyat.
 
Rendemen Indonesia yang rendah juga mempengaruhi jumlah gula yang diproduksi. Tingkat rendemen tebu Indonesia sendiri masih berada di sekitar angka 6 persen. Hanya sekitar 6 kg gula yang didapat dari 100 kuintal tebu. Bandingkan dengan standar negara.
 
Memang banyak hal yang mempengaruhi rendemen ini. Mulai kondisi lahan, proses tanam, panen tebu, hingga proses pembuatan gula di pabrik. Namun budaya pengolahan tebu dan gula ini amat mempengaruhi tingkat rendemen jika dijaga.
 
“Rendemen di Malang (Pabrik Gula Krebet Baru) tahun 2012 bahkan mendapat rekor nasional. Budaya di sana yang akhirnya diadopsi daerah lain,” kata Ismed.
 
Namun peningkatan tak signifikan produksi tebu nasional hingga saat ini dirasakan masih belum mampu memenuhi kebutuhan produksi gula dalam negeri. Hal ini pula yang memaksa Indonesia tetap menjadi importir gula untuk memenuhi kekurangan produksi gula dalam negeri.
 


Mesin tua pabrik gula
 
Saleh Husein saat masih menjabat sebagai Menteri Perindustrian melaporkan kebutuhan gula nasional tahun 2015 diperkirakan mencapai 5,7 ton. Terdiri dari 2,8 juta ton Gula Kristal Putih (GKP) dan 2,9 juta ton Gula Kristal Rafinasi (GKR).
 
Kebutuhan gula konsumsi masyarakat (GKP) paling banyak diproduksi oleh pabrik gula milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Saleh menjelaskan saat ini Pabrik Gula (PG) GKP terdiri dari 50 PG BUMN dan 12 PG Swasta. Seluruhnya masih menggunakan bahan baku tebu.
 
“Namun pabrik GKP, PG BUMN umumnya mesin dan peralatannya sudah sangat tua,” kata Saleh.
 
Pabrik-pabrik berpelat merah ini telah uzur. Usia mesin-mesin pabrik telah ada sejak jaman Belanda. Beberapa bahkan diakui oleh Ismed berumur hingga seratus tahun lebih.
 
Efesiensi pabrik ini terus menurun. Belum lagi soal teknologi yang semakin ketinggalan zaman. Wacana revitalisasi pernah muncul beberapa kali. Namun wacana pemutakhiran mesin-mesin di pabrik tua ini tak kunjung dilakukan. Terutama pabrik gula konsumsi negara yang sebagian besar berkapisatas kecil
 
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, ada 40 pabrik berusia 100 tahun ke atas, sebanyak 3 pabrik berumur 50-99 tahun, dan 9 pabrik berusia di bawah 50 tahun. Kapasitas kekinian pabrik gula tua itu pun masih 43 pabrik berkapasitas di bawah 4.000 TCD, sebanyak 14 pabrik berkapasitas 4.000-8.000 TCD, dan hanya 5 pabrik pabrik berkapasitas di atas 8.000 TCD.
 
Rata-rata kapasitas pabrik hanya 3.898 TCD per pabrik. Bandingkan dengan Thailand dan negara lain yang berkapasitas besar. Dengan 51 pabrik saja, produksi Thailad bisa mencapai 940 TCD. Sekitar 18.431 TCD per pabrik.
 
Australia 24 pabrik gula dengan total kapasitas giling 480 ribu TCD rata-rata kapasitas 25.000 TCD per pabrik dan India 684 pabrik gula dengan total kapasitas giling 3,42 juta TCD rata-rata kapasitas 5.000 TCD per pabrik.
 
“Perlu dibangun PG baru yang diarahkan di luar Pulau Jawa dengan kapasitas besar yaitu minimal 10 ribu ton tebu per hari,” kata Saleh Husein.
 
Baca: Pabrik Mulai Dimakan Usia, Produksi Gula Tak Maksimal
 
Tak kunjung adanya revitalisasi atau pembangunan pabrik gula baru menyebabkan Indonesia tergantung ke impor gula. Di era perdagangan bebas, bisa dikatakan Indonesia kalah saing dengan negara lain. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita turut mengkritik hal yang sama.
 
“Karena ada proses pembiaran yang cukup lama. Karena tidak ada upaya peningkatan produksi gula tebu," ungkap Enggar, Jumat (16/9/2016).
 
Efesiensi industri untuk negeri
 
Ismed sebagai mantan direksi pabrik gula milik negara menyebut ada budaya tak efesien yang mendarah daging. Salah satunya pemikiran pabrik harus menampung pekerja sebanyak-banyaknya. Padahal belum tentu kebutuhan itu mendesak.
 
“Bayangkan, produksi pabrik gula itu berjalan hanya sekitar 6 bulan. Sisanya kita tetap harus menggaji selama setahun penuh,” kata Ismed.
 
Pabrik gula negara lain saja sudah berusaha efesien dan efektif. Tapi itu banyak dorongan dan tekanan dari pihak lain bila BUMN Indonesia ingin melakukan hal serupa. Swasta, bahkan eksekutif dan legislatif terkesan munafik.
 
“Tanpa ada clear and clean governance di industri gula nasional, industri gula kita akan terus terpuruk. Dan itulah yang diinginkan oleh pemain gula,” tambah dia.
 
Komisaris PT PG Rajawali II (Grup RNI) Satrio Reputranto mengakui ada upaya mencekik kinerja industri gula pelat merah. Terutama soal tata kelola.
 
Baca: Kasak Kusuk Industri Gula
 
Namun kebutuhan ini diakuinya tidak bisa dipenuhi produksi industri gula lokal dan masih bergantung ke impor. Selama tidak ada niat baik dari pemerintah.
 
Ismed menyetujui pendapat yang sama. Suryo sebagai anggota dewan pun segendang dengan hal tersebut. Begitu juga dengan Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) HM Arum Sabil.
 
"Swasembada gula dalam dua sampai tiga tahun ke depan jangan hanya fatamorgana. Swasembada komoditas strategis itu sangat tergantung pada kesungguhan dan niat baik pemerintah," kata dia seperti yang dilansir Antara, Kamis (19/3/2015).
 
Baca: APTRI: Tanpa Kesungguhan, Swasembada Gula Hanya Fatamorgana
 
Membenahi industri gula nasional agar tak kalah saing memang tidak mudah. Tapi pembenahan bukan hal mustahil selama beberapa poin berikut menjadi perhatian. Pertama, harus ada komitmen politik untuk membenahi industri gula nasional, termasuk bahan baku tebu. Kedua, perlu ada insentif bagi petani tebu rakyat. Mulai dari pembukaan lahan tebu, hingga bantuan untuk petani seperti kredit dan infrastruktur pertanian.
 
Ketiga, efesiensi industri dan revitalisasi pabrik gula BUMN perlu dilakukan dengan serius. Negara harus menjamin keberadaan gula untuk rakyat tanpa terus memanjakan BUMN lewat penyertaan modal negara. Keempat, semua bisa dilakukan bila tata kelola dibersihkan dari birokrasi dan regulasi mencekik industri, pemburu rente, serta tak tegas ke pelaku swasta.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan