medcom.id, Jakarta: Bencana kebakaran lahan dan hutan di Indonesia menghasilkan asap tebal yang dikeluhkan negara tetangga. Polusi berupa kabut asap pada tahun 2014 dan 2015 membuat warga Singapura terganggu dalam menjalankan aktivitas harian selama titik-titik api yang belum dipadamkan.
Sebenarnya, Pemerintah Indonesia dan Singapura telah beberapa kali melakukan pertemuan dan berkoordinasi untuk menangani kasus kebakaran lahan dan polusi asap ini. Persoalan kebakaran hutan dan kabut asap seolah menjadi bencana rutin di Indonesia dalam kurun sepuuh tahun terkahir. Maka, jika sebelumnya pemerintah Indonesia enggan meminta bantuan pihak asing, kini justru melibatkan negara lain untuk mengatasinya.
“April-Mei lalu (2016), Menteri Lingkungan Hidup kedua negara sudah melakukan diskusi panjang lebar,” ujar Staf ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Agus Justianto, dalam diskusi terfokus bertajuk Lampu Kuning Hubungan Bisnis Indonesia-Singapura di Jakarta, Senin (30/5/2016).
Namun, hubungan Indonesia-Singapura sempat memanas sejak akhir Oktober 2015 atau menjelang penanganan bencana asap ini berakhir. Singapura yang turut terkena dampak asap dari kebakaran lahan dan hutan di Indonesia langsung memberlakukan Transboundary Haze Pollution Act (THPA) atau Undang-undang tentang Polusi Asap Lintasbatas Negara milik Singapura.
Berbekal regulasi itu, pada Mei lalu, Singapura memaksa pemeriksaan seorang warga Indonesia tanpa prosedur. Seorang direktur perusahaan perkebunan sawit, dia berkewarganegaraan Indonesia, yang tengah berlibur di Singapura tiba-tiba didatangi dan diambil keterangannya oleh aparat hukum negara itu.
Ia dipaksa untuk menyetujui proses investigasi yang akan dilakukan pemerintah Singapura. Perusahaannya dituding sebagai salah satu penyebab kebakaran lahan, yang asapnya merugikan warga Singapura. Dia juga harus menyerahkan data-data dan menandatangani berkas pemeriksaan tersebut. Keinginan yang bersangkutan untuk didampingi pengacara tidak direspons pegawai pemerintah Singapura itu. Permintaan yang bersangkutan untuk berkonsultasi dengan Kedutaan Besar RI di Singapura juga tidak diluluskan.
Padahal langkah penegakan hukum tekait kasus pembakaran hutan lahan ini juga tengah dilakukan di Indonesia. Maka, Pemerintah Indonesia tak mau berdiam diri. Perlakuan aparat Singapura terhadap sang direktur dianggap sebagai bentuk pelanggaran kedaulatan negara di kawasan.
Pakar hukum tata negara Saldi Isra, menyatakan UU yang dibuat Singapura itu telah mengancam kedaulatan hukum pidana yang sudah berlaku di Indonesia. Singapura juga dinilai telah menyalahi prinsip-prinsip hukum pidana internasional.
Saldi pun menjelaskan bahwa sebuah negara hanya bisa memberlakukan hukum mereka pada wilayah negara sendiri. Selain itu, sebuah negara berdaulat juga tidak bisa menerapkan hukum mereka untuk menindak pelaku kejahatan yang dilakukan warga negara lain di luar wilayah kedaulatan negara tersebut.
Dengan demikian, menurut Saldi, pemeriksaan terhadap direktur asal Indonesia dikhawatirkan akan melebar ke berbagai aspek. Singapura dinilai sudah bertindak arogan, dan mencederai kedaulatan Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Dalam kesempatan yang sama, guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyatakan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri dan Kedutaan Besar RI di Singapura sudah menyampaikan nota protes keras terhadap tindakan Singapura tersebut.Namun, langkah itu sepertinya tidak digubris, karena National Environment Agency (NEA) Singapura masih melanjutkan proses hukumnya ke Pengadilan Singapura. Sang pengusaha asal Indonesia tetap diharuskan menyerahkan dokumen seperti yang diminta NEA. Keputusan ini jelas merugikan Indonesia.
Hikmahanto menjelaskan, dalam sistem pengadilan Indonesia, negara ini tidak mengakui putusan dari pengadilan di luar Indonesia. Karena itu, langkah pemerintah Singapura menjadi kontraproduktif dalam menyelesaikan persoalan asap. "Seharusnya persoalan tersebut menjadi masalah bersama dan diselesaikan secara bersama dan bukan dengan langkah sepihak," kata Hikmahanto.
Saling protes dan kritik yang merupakan buntut penanganan polusi asap ini tak bisa dihindari.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Siti Nurbaya pun sempat meradang dan menyatakan kerjasama dengan Singapura akan dikaji kembali.
Bencana besar
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperhitungkan luas area kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi pada 2015 mencapai jutaan hektare. Berdasarkan data yang dirilis pada akhir Oktober 2015 lalu, luas lahan yang terbakar mencapai 2.089.911 hektare. Setara empat kali pulau Bali.
Bencana kebakaran hutan membuat beberapa provinsi di Sumatera bagian selatan dan Kalimantan dinyatakan dalam status darurat. Wajar saja, bencana ini merupakan kebakaran hutan terbesar dalam kurun waktu 18 tahun terakhir.
Berdasarkan data Terra Modis per 20 Oktober yang dirilis BNPB, lahan gambut menjadi salah satu jenis lahan yang paling banyak terbakar. Lahan gambut yang paling banyak terbakar berada di Kalimantan dengan luas 267.974 hektare.
Sementara itu Sumatera berada di posisi kedua dengan luas lahan gambut terbakar sebanyak 267.974 hektare. Wajar saja. Jumlah titik api yang mencapai 111.860 paling banyak terdeteksi berada di dua pulau tersebut. Terutama di Provinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah.
Selain itu, kebakaran ini juga mengganggu aktivitas manusia dan perekonomian di sekitar kebakaran. Masalah kesehatan seperti infeksi saluran pernapasa akut (ISPA) pun banyak terjadi. Ditaksir kerugian negara mencapai Rp20 triliun.
Belum lagi negara tetangga yang ikut terkena dampak asap. “Jadi wajar kalau semisalnya Singapura kesal. Tapi ini harus dijadikan momen untuk membenahi diri,” kata Anggota Komisi I DPR Fraksi PDIP TB Hassanudin, Senin (30/5/2016)
Pemerintah sebenarnya telah berupaya untuk bergerak cepat dan tegas dalam menangani kasus asap ini. Kementerian LHK pun membantah telah berdiam diri, seperti yang dituding negara tetangga.
“Pemerintah Indonesia tidak diam dan melakukan langkah-langkah untuk menangani masalah ini. Salah satunya adalah penegakan hukum,” kata Agus.
Peradilan dan sanksi berjalan.
Peradilan dan sanksi administrasi harus dijatuhkan untuk para pelaku kejahatan pembakaran hutan. Baik pelaksana atau pemimpin perusahaan di belakang layar. Hingga Desember lalu, pemerintah dengan sigap melakukan kajian dan menjatuhkan hukuman.
Secara administasi, setidaknya ada 23 perusahaan yang diberi sanksi administrasi. Mulai dari pengawasan, pembekuan izin, hingga pencabutan izin.
“Sanksi administrasi pencabutan izin ada 3 perusahaan, pembekuan izin ada 16 perusahaan, paksaan pemerintah 4 perusahaan, tahap penyusunan sanksi administrasi 14 perusahaan, dan tahap pengawasan ada 19 perusahaan,” kata Siti Nurbaya di Kantor Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanam, Senin (21/12/2015).
Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang turut memberikan sanksi lewat pencabutan Hak Guna Usaha (HGU) pada waktu yang hampir bersamaan. Setidaknya ada 47 perusahaan yang dicabut HGUnya pada akhir tahun lalu.
Selain sanksi surat-menyurat dan perizinan, pelaku juga diproses secara pidana. Ratusan perusahaan dan individu diusut karena diduga menjadi aktor pembakaran hutan.
Polri sendiri menangani lebih dari 300 kasus hingga Desember 2015. Kasus perorangan yang tengah diselidiki ada 38 kasus, 19 kasus diserahkan ke kejaksan (tahap satu), 2 kasus di SP3 (dihentikan perkaranya), P21 (berkas lengkap dan dilempar ke pengailan) sebayak 9 kasus, dan tahap dua (penyerahan barang bukti dan tersangka ke jaksa) ada 140 kasus.
Sementara itu, ada 46 kasus yang tengah diselidiki dengan tersangka korporasi, tahap satu sebanyak 4 kasus, P19 ada 1 kasus, dan tahap dua ada 140 kasus.
Aturan yang bermasalah dan terlambat bergerak
Sudah saatnya Indonesia melakukan pembenahan diri soal aturan pembakaran lahan ini. Secara komitmen sendiri Indonesia sebenarnya baru terlihat serius memperhatikan soal lingkungan dan asap tahunan ini beberapa tahun terakhir.
Buktinya, Indonesia adalah negara terakhir di Asia Tenggara yang meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Kesepakatan ASEAN dalam Polusi Asap Lintasbatas) yang diketok sedari 10 Juni 2002 lalu.
Perjanjian Polusi Asap ASEAN itu baru diratifikasi Indonesia pada 2014. Wajar bila Singapura bersikap keras. “Kita sudah terlambat 12 tahun. Jadi komitmen kita soal asap ini dipertanyakan,” ungkap Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Liana Bratasida, Senin (30/5/2015).
Walau demikian pemerintah Indonesia tidak bisa pula menjadi satu-satunya yang disalahkan. Sebab untuk meratifikasi dan membuat aturan seputar lingkungan hidup juga melibatkan proses politik yang dapat memakan waktu.
Walau terlambat, langkah Presiden Indonesia Joko Widodo untuk membentuk Badan Restorasi Lahan Gambut (BRLG) pada bulan Januari tahun ini juga bisa menjadi titik penting. Pembentukan badan baru ini dapat menjad cara untuk membenahi tata kelola lahan gambut yang kerap terbakar atau dibakar.
Bahkan Kepala BRLG Nazir Foead yakin bahwa krisis kabut asap tahun lalu tak lagi terulang tahun ini. Selain komitmen, pembenahan aturan juga perlu dilakukan. Terutama aturan izin pembukaan lahan yang memiliki aturan abu-abu dalam Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pembukaan lahan dengan teknik bakar hanya diizinkan bila dilakukan oleh masyarakat dengan batas tertentu, dalam dalih kearifan lokal. Namun pada kenyataannya masih banyak perusahaan yang melakukan pembukaan lahan dengan menggunakan teknik bakar karena UU tersebut dan turunannya tidak secara ketat mengatur.
Perusahaan nakal yang ingin melakukan pembukaan lahan pun tak jarang menyewa warga setempat untuk membakar lahan gambut untuk kepentingan koorporasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News