Puluhan sopir taksi dari perwakilan sejumlah operator taksi diantaranya Rangga Taksi, Blue Bird, Lombok Expres dan Kotasi tersebut dalam orasinya menolak kehadiran operasional taksi Grab dan taksi Uber. (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi)
Puluhan sopir taksi dari perwakilan sejumlah operator taksi diantaranya Rangga Taksi, Blue Bird, Lombok Expres dan Kotasi tersebut dalam orasinya menolak kehadiran operasional taksi Grab dan taksi Uber. (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi)

Gagap Menghadapi Perubahan

Medcom Files blue bird
Surya Perkasa • 28 Maret 2016 17:22
medcom.id, Jakarta: Perhatian masyarakat tertuju ke sektor industri transportasi. Heboh perseteruan antara perusahaan taksi reguler sekelas Blue Bird dan Express Group dengan perusahaan platform transportasi bernama Uber dan Grab justru turut menyeret pihak lain.
 
Dua menteri dalam Kabinet Kerja, yaitu Menteri Perhubungan Ignasius Jonan bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara saling silang pendapat dalam polemik ini. Padahal, sebelumnya Presiden Joko Widodo telah mengingatkan pembantunya agar bekerja sungguh-sungguh tanpa menimbulkan kegaduhan.
 
Kedua menteri itu masng-masing mencoba mencari solusi. Namun, bukannya simpul masalah terselesaikan, keduanya justru berjalan sendiri sesuai dengan sektor dibidangi. Buntutnya, tak ada kepastian yang bisa dipegang dan menyebabkan sopir taksi meradang dan turun ke jalan.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
“Okelah, Menhub benar karena berusaha menegakkan aturan dan Menkominfo melihat tren digital ke depan. Tapi kan akhirnya tidak ketemu,” kata Rektor Universitas Paramadina dan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Firmanzah saat berdiskusi dengan medcom.id, Jakarta, Kamis 24 Maret 2016. Bahkan imbasnya tak adanya kejelasan berujung demonstrasi dan berakhir anarki pada Selasa lalu (22/3). Konflik horizontal antara 6.000 sopir taksi yang bergabung dengan sopir angkutan lain besama sopir kendaraan aplikasi online, pecah di Jakarta.
 
Apakah sopir angkutan jadi pihak yang harus disalahkan? Tidak mungkin. Mereka wajar marah karena mereka tak kunjung sejahtera. Apalagi bila kesejahteraan yang mereka peroleh setelah sekian lama menjadi sopir taksi kalah jika dibandingkan sopir “taksi plat hitam” di bawah bendera Uber dan Grab. Masyarakat tidak bisa pula disalahkan, karena konsumen pasti mencari moda transportasi yang lebih terjangkau.
 
Sedikit banyak, pendapat bahwa perusahaan taksi sebesar Bluebird dan Express Group memiliki andil dalam kekisruhan di sektor transportasi ini ada benarnya. Mereka menuding-nuding aplikasi online mengurangi pemasukan mereka.
 
Dewan Pengurus Pusat dan Dewan Pengurus Daerah DKI Jakarta Organisasi Angkutan Darat (Organda) yang saat ini diketuai oleh pejabat perusahaan taksi di Indonesia juga klaim persaingan tidak sehat dilakukan transportasi berbasi aplikasi. Tarif mereka yang lebih murah sempat dipertanyakan.
 
Mereka juga menyudutkan penyedia jasa transportasi berbasis aplikasi tak ikut aturan dan regulasi yang ada. Ini terang memicu keresahan di barisan terdepan mereka, kelompok sopir.
 
Namun ini semua sangat bertentangan dengan kondisi finansial perusahaan taksi yang tetap meraup laba hingga miliaran rupiah tiap tahunnya. Contohnya Bluebird yang terus mendapatkan untung hingga ratusan miliar tiap tahunnya walau memang perlahan keuntungan mereka terkikis semenjak adanya transportasi basis aplikasi.
 
Berdasarkan laporan keuangan yang mereka miliki, laba Bluebird hingga kuartal III-2015 mencapai Rp625,42 miliar. Meningkat hingga 16 persen jika dibandingkan kuartal yang sama pada tahun 2014. Pada tahun 2014, perusahaan mengantongi laba mencapai Rp735,1 miliar. Meningkat dibandingka tahun 2013 yang hanya berada di angka Rp707,5 miliar.
 
“Keuangan perusahaan taksi lama akan berkurang, pasti iyalah. Tapi bukan rugi cuma kurang keuntungan. Tadinya tanpa kompetisi mereka mendapat keuntungan misalnya Rp10. Hadirnya taksi aplikasi ini mungkin mereka untungnya cuma jadi Rp2. Tapi kan masih untung,” ujar Guru Besar Bisnis dan Ekonomi Universita Indonesia Rhenald Kasali saat berbincang dengan medcom.id, Selasa 22 Maret 2016.
 
Mereka, tutur Rhenald, tidak bisa mensejahterakan sopir-sopir mereka dari laba yang mereka miliki. Tapi apakah perusahaan taksi reguler yang telah lama mengakar harus jadi kambing hitam polemik transportasi ini? Rhenald sangsi akan hal ini. Bahkan pernyataan yang menyebut perusahaan taksi arogan tidak mau menerima perubahan yang dibawa digitalisasi tak sepenuhnya benar. Menurut Rhenald masalah yang terjadi tidak semudah komentar publik di media sosial.
 
“Saya kira mereka terperangkap. Tapi kejadian beberapa waktu lalu menunjukkan ke masyarakat, dan menciptakan pandangan bahwa mereka enggan berubah. Mereka tidak cepat merespon, dan berpikir pemerintah akan melayani mereka. Akan memaksa pengusaha taksi model baru untuk ditutup,” Rhenald menganalisa.
 
Tapi, ia melanjutkan, kita tidak bisa melawan perkembangan teknologi. "Kita tidak bisa melawan perubahan,” tegas salah satu pakar bisnis Indonesia ini.
 
Gagap transisi model bisnis
 
Regulasi beberapa kali dijadikan alasan. Sebagai alat mengkritik bisnis konvensional yang gagap dan menolak perubahan, maupun sebagai tameng oleh bisnis konvensional yang sudah menikmati porsi besar pasar sektor riil. Namun polemik transportasi ini tak hanya berbicara seputar regulasi semata.
 
Firmanzah menyebut saat ini sedang terjadi transisi besar-besaran di model dan pola bisnis. Sektor ekonomi riil, kata dia, tengah mengalami transisi radikal dan cepat dengan hadirnya ekonomi digital (digital economy). Perubahan ini pun tidak hanya dialami oleh Indonesia, tapi dialami juga oleh hampir seluruh dunia.
 
Pengusaha transportasi seharusnya sudah bisa membaca arah perubahan ini. Setidaknya mengantisipasi perubahan model ekonomi yang tengah terjadi. Sebab, tambah dia, apa yang dialami sektor transportasi ini sudah terjadi di beberapa sektor lain.
 
“Tidak hanya Indonesia, tapi seluruh dunia, itu sedang mengalami megatransisi. Tidak hanya di sektor transportasi tapi hampir semua sektor,” ujar Firmanzah.
 
Staf ahli ekonomi kepresidenan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini memberi contoh sektor media dan jasa perjalanan yang lebih dulu dihantam ekonomi digital. Saat ini media sudah beralih ke media digital. Media online mulai tumbuh bak cendawan di musim hujan, sedangkan media cetak mulai terlihat kewalahan.
 
Satu persatu media cetak yang menjadi bahan bacaan mulai goyang dihantam model ekonomi digital. Tak sedikit media cetak yang tutup karena tak melakukan perubahan. Begitu pula dengan jasa perjalanan. Agen jasa perjalanan yang dulu sangat berjaya kini hampir punah karena platform semacam Traveloka dan Agoda. Ditambah lagi banyak hotel dan penyedia transportasi, seperti maskapai penerbangan dan kereta api, yang akhirnya juga go-digital mengikuti perkembangan zaman.
 
Bisnis-bisnis penghubung antara produsen dan konsumen tingkat akhir (intermediary business) pun semakin berkurang perannya. Bukan tidak mungkin, pusat grosir seperti Tanah Abang di Jakarta dan Pasar Klewer di Solo tergantikan oleh keberadaan Bukalapak, OLX, Tokopedia, Mataharimall, Lazzada, atau platform pusat perbelanjaan dan pasar digital bernama lain.
 
“Dalam 10-15 tahun ke depan, apakah pusat grosir seperti Tanah Abang dan Pasar Klewer akan masih ada? Jangan-jangan perdagangan ini dengan keberadaan e-commerce akan berubah menjadi peer-to-peer. Belum ada yang bisa memastikan ke arah mana ini akan berubah. Tapi yang jelas, perubahan tengah terjadi,” ungkap dia.
 
Pelaku usaha yang menikmati keuntungan dari intermediary business akan kesulitan karena mereka mulai terkikis oleh zaman. Tapi dengan revolusi yang dibawa ekonomi digital ini justru sangat menguntungkan konsumen. Biaya besar karena perputaran di bisnisi penghubung tertekan, harga barang dan jasa di konsumen tingkat akhir pun semakin kecil. Fase effeciency driven economy, atau ekonomi yang digerakan oleh efesiensi berbagai lini pun terjadi di Indonesia.
 
“Karakter digital economy itu adalah technology intensive, bukan labor intensive. Dengan jumlah transaksi yang besar, digital economy ini dijalankan dengan efesiensi yang sangat tinggi dari sisi tenaga kerja. Sektor yang tidak melakukan effeciency driven akan ditinggalkan oleh konsumen. Dan itu berlaku untuk semua,” Firmanzah menjelaskan.
 
Tak hanya ekonomi digital yang hadir, Rhenald juga menyebut bisnis konvensional gaya lama tersandung oleh model bisnis gaya baru yang tengah berkembang. Sharing economy, atau bisnis yang bersifat membagi peran.
 
Selama ini mata pengusaha transportasi taksi seperti Bluebird dan Express tertutup oleh monopoli pasar taksi di Indonesia. Wajar, lembaga riset Euromonitor meyebut 73 persen pasar taksi Indonesia saat ini dikuasai oleh dua grup taipan transportasi tersebut.
 
Polemik taksi aplikasi, berujung konflik horizontal, merupakan bentuk ketidaksiapan pengusaha menghadapi bisnis model sharing economy yang tengah merebak. Benturan idle economy (dimana perusahaan mengusai semua modal) dan sharing economy (dimana pemilik aset, pekerja, dan platform penghubung berbagi peran) tak dapat dihindari.
 
“Pebisnis tua pasti gagap mengahadapi ini. Bagi mereka ini adalah dunia pertarungan lama. Nah di transportasi, inilah yang terjadi,” tukas Rhenald.
 
Taksi (harus) dipaksa berubah
 
Berubah dan menyesuaikan diri, atau mati termakan perubahan. Inilah pilihan yang tengah dihadapkan kepada pengusaha transportasi taksi. Bahkan untuk perusahaan multitriliun sekelas Blue Bird dan Express.
 
Firmanzah menyebut, pengusaha yang tidak mau berubah akan sulit bertahan. Contohnya saja di industri musik yang termakan oleh zaman. Masuknya model bisnis digital ke industri musik menyebabkan banyak perusahaan kaset dan CD musik akhirnya gulung tikar.
 
“Dari sisi kebijakan itu pemerintah, dari strategi bisnis itu pengusaha,” kata Firmanzah.
 
Salah satunya dengan jeli melihat keinginan pasar akan tarif murah dan melakukan efesiensi biaya agar ini bisa terjadi. Seperti PT Pos Indonesia yang akhirnya tak memaksa pemerintah memblokir Google dan Yahoo penyedia jasa e-mail dan perusahaan telekomunikasi yang terang memangkas pemasukan mereka besar-besaran. Mereka justru melakukan transformasi
 
Rhenald menyarankan hal yang tidak jauh berbeda. Perusahaan sekelas Bluebird dan Express harusnya mengikuti perubahan. Bukan takut dengan munculnya pesaing. Bahkan Rhenald menyebut, kehadiran “taksi basis aplikasi” ini justru menghadirkan peluang baru bagi perusahaan taksi.
 
Kehadiran taksi basis transportasi ini justru akan memunculkan pasar baru. Sebab, hal yang dialami oleh Bluebird dan Express ini juga pernah di alami perusahaan penerbangan Garuda Indonesia saat Lion Air muncul pertama kali dengan tarifnya yang murah di tahun 1999.
 
Benar, keuntungan mereka saat itu terkikis. Benar, secara harga dan model bisnis mereka tak mungkin meniru Lion Air. Tapi pada akhirnya pijak manajemen Garuda mawas melihat perkembangan konsumen penerbangan baru yang bermunculan akibat hadirnya maskapai low cost carrier.
 
Mereka pun memilih untuk menciptakan anak perusahaan Citilink walau sempat merugi pada 2001. “Tapi setelah dipisah pada 2012 dan dibuat model bisnis tersendiri kan akhirnya untung. Jadi sama, mereka harus punya perusahaan seperti ini. Perusahaannya dikecilkan, didistribusikan ke pemilik taksi dan ikut transportasi nnline tapi bermerk Bluebird,” kata dia.
 
Dengan begitu, mereka dapat bertahan di bisnis transportasi tanpa harus bersusah payah mematikan model bisnis taksi online yang baru masuk dan tengah berkembang pesat di Indonesia.
 
Secara bisnis, ini merupakan peluang besar walau saat ini memang banyaknya regulasi menjadi hambatan bagi pengusaha taksi untuk bersaing. “Ajak saja kalau ada masyarakat yang mau berpartisipasi, diserahkan kepemilikan asetnya ke pengemudi,” tambah Rhenald.
 
Dari sisi konsumen, taksi reguler akan tetap memiliki pasar sendiri namun taksi online nan murah tetap akan mendapat porsi tersendiri. “Akhirnya mereka memiliki bisnis di dua pasar,” Rhenald mengakhiri.
 
Sementara itu, Firmanzah menilai Bluebird dan Express justru akan memiliki keuntungan kompetitif jika turut terjun ke transportasi online dan mengubah gaya bisnisnya. Mereka punya armada, standar prosedur dan operasi, kualitas yang sudah terjaga. Selain itu mereka juga memiliki brand yang telah dikenal.
 
Sekarang, tinggal bagaimana dan kapan perusahaan ini berubah. Pertanyaan selanjutnya justru, bagaimana pemerintah akan menanggapi perubahan ini.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan