Galangan kapal di Balikpapan, Kalimantan Timur. Pemerintah memberikan sejumlah insentif untuk menggairahkan investasi industri galangan kapal nasional. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
Galangan kapal di Balikpapan, Kalimantan Timur. Pemerintah memberikan sejumlah insentif untuk menggairahkan investasi industri galangan kapal nasional. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Indonesia dan Poros Maritim Dunia

Medcom Files poros maritim dunia
Surya Perkasa • 15 Oktober 2015 21:58
medcom.id, Jakarta: Indonesia memiliki modal kuat untuk menjadi negara maritim. Posisi yang strategis dan bentuk negara kepulauan menjadi modal besar Indonesia untuk dapat menjadi negara maritim.
 
Modal geografis Indonesia berupa posisi yang terletak di antara samudera Hindia dan Samudera Pasifik, serta benua Asia dan Australia. Indonesia yang terdiri dari gugusan 17.480 pulau dan dihubungkan laut seluas 5,8 juta km2 (teritorial dan Zona Ekonomi Esklusif), selama ini dinilai belum pernah memandang maritim sebagai sektor utama.
 
“Sejak dulu fokus pembangunan transportasi adalah daratan, sementara laut ditinggalkan,” Ketua Umum Indonesian National Shipowners' Association (INSA) Carmelita Hartoto kepada medcom.id di Jakarta, Selasa (13/10/2015).

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Pembangunan industri maritim memang sempat menjadi salah satu perhatian pemerintah sejak era 50an-80an. Pertumbuhan pesat pelayaran, industri kapal, hingga infrastruktur pendukung seperti pelabuhan sempat terjadi. Pada tahun 1969, kapal niaga nasional yang beroperasi hanya berjumlah 130 unit dengan kapasitas 138 ribu DWT (tonase beban mati). Pada tahun 1979, armada kapal niaga nasional bertambah menjadi 335 unit dengan total kapasitas 341 ribu DWT.
 
Sedangkan armada pelayaran nusantara yang berjumlah 803 unit pada 1969 terus bertambah menjadi 1.448 unit pada tahun 1979. Sedangkan armada samudera Indonesia pada tahun 1979 berjumlah 50 unit dengan kapasitas 513 ribu DWT. Naik hingga dua kali lipat jumlah dibanding 1969.
 
Namun pemerintahan era orde baru sempat mengeluarkan kebijakan scrapping kapal yang membuat kekuatan maritim baik di lokal dan kawasan runtuh. Beberapa perusahaan pelayaran pun terpaksa gulung tikar karena kapal-kapal mereka yang berusia 25 tahun ke atas tak dapat beroperasi.
 
“Padahal tidak ada satu pun negara yang membatasi usia kapal mereka yang beroperasi. Cuma yang ada hitung-hitungan logis pengusaha pelayaran. Semakin tua usia kapal, dipastikan biaya perawatan semakin mahal,” ujar Direktur Jenderal Hubungan Laut Capt. Bobby R Mamahit.
 
Asosiasi pengusaha kapal sendiri merasa kebijakan ini sangat berdampak kepada ke industri maritim Nusantara. Bahkan pelayaran niaga nusantara dengan cepat disusupi perusahaan asing.
 
“46 persen angkutan domestik dan 96 persen angkutan ekspor-impor dikuasai asing,” kata Carmelita.
 
Ini terjadi karena pemerintah lebih melirik angkutan darat ketimbang sektor maritim. Padahal ekonomi Indonesia harusnya menjadikan maritim sebagai tulang punggung perekonomian. “Laut kita menyimpan kekayaan yang besar,” kata dia.
 
Indonesia dan Poros Maritim Dunia
Kepedulian pemerintah dan kemajuan maritim

 
Industri maritim Indonesia yang semakin melemah ini akhirnya berhasil diselamatkan dengan asas cabotage yang dikeluarkan pada 2005. Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2005 yang diperkuat dengan UU no 17 tahun 2008 ini akhirnya membuat mengembalikan geliat industri maritim.
 
Perusahaan perkapalan lokal kembali bisa menguasai pelayaran niaga nasional karena proteksi yang diberikan oleh pemerintah. Armada kapal Indonesia yang terjun di industri pun meningkat tajam. INSA memaparkan, jumlah kapal niaga nasional saat ini mencapai 14.000 unit lebih. Naik 134 persen dibanding jumlah kapa pada Mei 2005 yang hanya 6.401 unit.
 
Kebijakan yang mendukung pelayaran niaga nusantara ini memberi dampak ke industri lain. Sektor ekonomi lain seperti perbankan, keuangan, tenaga kerja, serta logistik merasakan manisnya perkembangan industri maritim.
 
“Masyarakat juga merasakan dampaknya. Akses konektivitas nasional meningkat. Tarif angkutan semakin kompetitif, infrastruktur transportasi laut terus berkembang, aktivitas perdagangan meningkat sehingga lapangan kerja terus tumbuh,” ungkap Carmelita yang juga menjadi Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia bidang Logistik.
 
Asosiasi sangat menyambut baik keinginan Pemerintahan Jokowi-JK yang ingin mengembangkan tol laut demi Indonesia menjadi poros maritim dunia. Namun dia menilai realisasi konsep poros maritim ini tidak boleh hanya dalam tataran cita-cita. Pemerintah harus mampu untuk meningkatkan koordinasi antar kementerian lembaga serta membuat kebijakan yang pro-pelayaran nusantara.
 
Carmelita meminta pemerintah untuk peduli dengan industri maritim lokal. Misalnya dengan tidak membebani pengusaha pelayaran niaga lokal dengan pajak yang tidak konsisten. Selain itu pemerintah juga harus meninjau kembali suku bunga kredit untuk industri maritim yang dinilainya terlalu tinggi. Harga BBM juga menjadi salah satu hal yang tidak kalah penting.
 
Pemerintah yang ingin menurunkan tingginya harga barang juga harus mengontrol kebijakan yang dikeluarkan kementeriannya yang terkait. Karena 70 persen dari biaya freight yang tinggi justru berasal dari biaya-biaya dan tarif di darat. Bukan pelayaran.
 
“Justru di sisi darat. Kru, perawatan cicilan bank, gudang, bongkar muat dan biaya-biaya lain. Pelayarannya sendiri itu Cuma 7 persen,” ungkap dia.
 
Dukungan anggaran
 
Tol laut yang ingin dibuat oleh pemerintah sendiri sebenarnya sudah memiliki modal awal. Tiga alur laut kepulauan Indonesia sudah cukup ramai dilalui oleh kapal-kapal. Namun yang dibutuhkan adalah infrastruktur pendukung sektor maritim seperti pelabuhan dan infrastruktur pendukung lainnya.
 
“Memang ketimbang untuk membeli kapal, kita harus mendukung dulu infrastruktur maritim seperti pelabuhan,” kata Anggota Komisi V DPR Fraksi Gerindra Nizar Zahro.
 
Pagu anggaran Direktorat Jenderal Hubungan tahun 2016 Rp4,451 Triliun. Naik 25 persen dibanding anggaran tahun 2015. Tiga sektor yang paling diperhatikan adalah pelabuhan, navigasi, dan pengadaan kapal. Namun jumlah pelabuhan Indonesia yang tercatat ada 615 ini masih terus ditambah sebagai hub antara jalur utama dengan daerah disekitarnya.
 
Walau dari sisi anggaran ada kenaikan Dirjen Hubla Kementerian Perhubungan, pemerintah juga harus memperhatikan sektor ekonomi lain yang memiliki kaitan dengan sektor maritim. Sebab ekonomi maritim tidak bisa hanya bergantung ke pelayaran saja.
 
“Pemerataan pembangunan yang kurang merata seperti di daerah timur Indonesia yang industrinya belum berkembang sehingga banyak pelabuhan yang hampir mati karena kapal membawa barang ke daerah timur namun kembali pulang tanpa membawa barang dan hanya menghabiskan biaya bahan bakar,” kata Nizar.
 
Hal senada juga diungkapkan oleh Dirjen Hubla Kemenhub Capt. Bobby R Mamahit. Dia melihat poros maritim bukan hanya tugas Kementerian Perhubungan. Semua kementerian harus sama-sama bergerak untuk dapat merealisasikan poros maritim.
 
“Tidak bisa hanya Kemenhub. Harga komoditas tinggi di Indonesia timur karena memang kapal niaga selama ini tidak tetap dan teratur. Karena tidak ada yang diangkut dari sana, akhirnya kapal yang membawa barang dari sini ngetem sampai kapalnya penuh. Jadi Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian juga harus terlibat memikirkan supaya kapal dari Indonesia timur itu tidak pulang kosong,” terang Bobby.
 
Hal ini menyebabkan perusahaan pelayaran swasta banyak yang tidak tertarik untuk masuk ke Indonesia timur. Di sinilah pemerintah turun menjadi perintis dengan subsidi.
 
Untuk penyedia layanannya Ditjen Hubla menunjuk Pelni sebagai BUMN pelaksana pelayaran barang tersebut sebagaimana diatur di dalam Perpres No 106 tahun 2015 pada 1 Oktober 2015 tentang penyelenggaraan kewajiban pelayanan publik untuk angkutan barang di laut.
 
Dirjen Hubla Kemenhub menetapkan Tanjung Priok dan Tanjung Perak sebagai pelabuhan keberangkatan denga 6 pelabuhan hub lokal. Enam pelabuhan tersebut yakni Kijang, Waingapu, Tual, Babang, Monokwari dan satu pelabuhan lagi di sekitar wilayah Sibolga dan Teluk Bayur.
 
Kapal trayek tersebut akan berlayar secara langsung tanpa berhenti di pelabuhan lain dan bersifat regular. Untuk dana subsidi yang digunakan tahun ini sebesar Rp 325 miliar untuk 5 trayek tersebut namun tidak digunakan sepenuhnya mengingat waktu tahun anggaran yang sudah terbatas.
 
“Nanti lambat-lambat subsidi ini kita kurangi bila jalurnya sudah mulai banyak dilewati,” kata dia.
 
Indonesia dan Poros Maritim Dunia
Kedaulatan
 
Tol laut dan cita-cita poros maritim dinilai seperti panggang jauh dari api jika tidak memastikan segi keamanan. Karena negara maritim harus dapat menjamin keamanan jalur lautnya jika tidak ingin diintervensi oleh asing.
 
“Semua negara bisa klaim ‘ini laut negara kami’. Tapi mereka harus menjamin keselamatan dan keamanan laut mereka. Ini sesuai dengan aturan yang ada di aturan Keselamatan Laut Internasional (Safety of Life at Sea – SOLAS). Jika tidak bisa menjamin, asing bisa masuk untuk mengamankan laut negara kita,” tegas Anggota Komisi I DPR Fraksi PDI Perjuangan TB Hasanuddin.
 
Untuk dapat menciptakan poros maritim dunia, Indonesia harus mampu menjaga kedaulatannya di laut, landas kontinen, dan udara di atasnya.
 
Dari segi keamanan saja, Safety and shipping review 2014 menyatakan Indonesia sebagai negara dengan tingkat pembajakan tertinggi. Dari 264 kasus pembajakan tahun 2013, 106 kasus terjadi di Indonesia. Jumlah imigran ilegal di Indonesia mencapai 11.132 kasus dan sebagian besar menggunakan jalur laut.
 
Indonesia juga belum mampu menjaga sumber dayanya di laut. Pada tahun 2014, 23.937 kapal diperiksa karena dugaan ilegal fishing, hanya 1.345 diproses secara hukum.
 
Secara pertahanan, TB Hasanuddin mengatakan, Indonesia telah mennggunakan doktrin maritim sejak lama. Namun pada realisasinya Angkatan Darat selalu mendapat porsi yang lebih besar. Akibatnya, jumlah Alutsista pengamanan tidak sebanding dengan luas laut Indonesia.
 
“Kalau bicara jujur, kondisi sekarang saja kurang. Apalagi jika ingin menjadi poros maritim yang mewajibkan keamanan kuat karena lalu lintas laut pasti meningkat,” kata dia.
 
Indonesia juga masih belum berdaulat penuh atas udaranya. Buktinya pengelolaan udara di kawasan Natuna dan Riau Kepulauan masih dipegang oleh Singapura. Komisi I DPR pun sepakat bersama pemerintah untuk mengambil alih Flight Information Region (FIR) dari Singapura.
 
Namun secara anggaran, pemerintah sudah mulai memperhatikan laut dan udara. Ini bisa dilihat dari prioritas matra dalam distribusi anggaran. Tahun 2016, Angkatan Laut mendapat porsi yang lebih besar dibanding matra lain, sekitar Rp14 triliun. AU mendapat porsi Rp11 triliun dan AD mendapat Rp8 triliun.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan