Namun bencana asap masih berulang kali terjadi di kawasan Asia Tenggara tiap tahunnya. Kesepakatan untuk menekan dan menanggulangi permasalahan asap yang menjadi momok bersama in masih belum dapat terlaksana dengan maksimal.
Setidaknya ada empat negara utama seputar bencana asap di kawasan Asia Tenggara. Baik yang menjadi tempat asap berasal maupun sebagai negara yang paling sering terdampak oleh bencana asap. Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang seringkali dideteksi satelit menjadi sumber titik api. Sementara itu, Singapura dan Thailand adalah dua negara di luar sumber titik api yang paling sering terkena dampak asap.
Indonesia, Malaysia, Singapura juga terus disebutkan melakukan pembicaraan di tingkat bilateral dan kawasan untuk penyelesaian kasus asap ini. Namun bencana asap tak berkurang karena pembakaran lahan untuk perluasan perkebunan masih saja terus terjadi. Indonesia yang paling sering ‘ekspor’ asap ke Singapura sering dikecam tak mampu bertindak. “Akhirnya, Singapura yang setiap tahun justru tetap menerima asap sudah terlanjur jengkel. Lahirnya UU ini puncak kejengkelan Singapura,” kata Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PDIP TB Hassanudin, Senin (30/5/2016).
Puncak kejengkelan Singapura ini menghasilkan peraturan berbentuk Transboundary Haze Pollution Act (THPA), atau Undang-undang tentang Polusi Asap Lintasbatas Negara milik Singapura, diketok pada tahun 2014. Luar biasanya aturan ini dapat menyasar entitas di luar kedaulatan Singapura.
Pembicaraan kerjasama penanganan bencana lingkungan antara Indonesia dan Singapura pun sempat mundur selangkah beberapa waktu lalu. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia Sit Nurbaya sempat menyatakan akan meninjau kembali seluruh kerjasama dengan Singapura.
Ihwal yang menjadi dasar, Pengadilan Singapura mengeluarkan surat penangkapan kepada salah satu direksi perusahaan perkebunan Indonesia yang dituding menyebabkan negara mereka diselimuti asap tebal lebih 3 bulan lamanya.
Singapura diselimuti asap ketidaktentuan
Pemerintah Singapura pada tahun tersebut juga memang tengah mendapat tantangan besar karena sektor perekonomiannya tergoncang. Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura (Ministry of Trade and Industry) menyatakan Produk Domestik Bruto (PDB) Singapura menurun. Pertumbuhan ekonomi di Negeri Singa ini hanya tumbuh 2% pada 2015.
Angka ini menurun drastis jika dibandingkan tahun 2014 yang mencapai 3,3%. Sektor perdagangan Singapura yang banyak bergantung kepada minyak dan gas juga terdampak oleh harga minyak mentah dunia yang terus menurun.
Industri manufaktur Singapura juga dilaporkan menukik tajam di 2015. Jika dibandingkan tahun 2014 yang meningkat 2,7% dari tahun 2013, sektor manufaktur Singapura pada 2015 menurun 5,2%.
Kondisi ini diperparah dengan bencana kebakaran lahan di Indonesia yang menyebabkan asap ikut menyelimuti Singapura dan kawasan Asia Tenggara lain.
Memang tidak dapat dipungkiri, bencana asap yang terjadi pada 2014/2015 ini mampu menganggu kehidupan warga dan tatanan perkonomian Singapura. Apalagi lembaga-lembaga yang memantau kondisi asap Indonesia ini, seperti NASA (lembaga antariksa AS) contohnya, menyatakan kebakaran hutan pada dua tahun tersebut merupakan bencana terbesar sejak Orde Baru runtuh.
“2014-2015 memang bencana luar biasa yang belum pernah terjadi di Indonesia,” kata Direktur Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto, Senin (30/5/2016).
Kebakaran hutan Indonesia dan juga diperburuk oleh efek El Nino yang parah, menyebabkan udara di Indonesia, Singapura dan Malaysia terpolusi. Badan Lingkungan Nasional (National Environmental Agency) Singapura bahkan pada Oktober 2015 mencatat tingkat polusi udara tertinggi mencapai 320 Standar Indeks Polutan (SIP). Jauh di atas angka aman yang hanya 100 SIP.
Beberapa kali sekolah-sekolah diliburkan. Pelayanan publik seperti bandara dan pelabuhan yang menjadi mata rantai utama perekonomian Singapura ikut terganggu. Jelas ini akan sangat berdampak ke Singapura yang menjadi pelabuhan terpadat nomor dua di dunia. Menteri Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Air Singapura Masagos Zulkifli pada Selasa (15/3), menaksir total kerugian karena kabut asap 2014/2015 mencapai 700 juta miliar dolar Singapura.
Walau nasib masyarakat Indonesia tidak jauh berbeda dengan Singapura, Pemerintah Singapura tampaknya sudah terlalu jengah dengan kabut asap yang terus berulang tiap tahun. Singapura kemudian menjadiak THPA sebagai acuan untuk ikut terlibat dalam menindak pelaku pembakaran hutan di Indonesia.
Polemik Transboundary Haze Pollution Act
Pada September 2014 lalu, Menteri Lingkungan dan Sumber Air Singapura terdahulu Vivian Balakrishnan, melayangkan surat setidaknya kepada 5 perusahaan kayu dan perkebunan yang beroperasi di Indonesia. Kelima perusahaan tersebut yakni Asia Pulp & Paper, Rimba Hutani Mas, Sebangun Bumi Andalas Wood Industries, Bumi Sriwijaya Sentosa dan Wachyuni Mandira.
Singapura memperingatkan empat perusahaan ini untuk segera menanggulangi api di lahan tempat mereka beroperasi. Selain itu mereka juga diminta tidak melakukan pembakaran untuk membuka lahan, dan diminta menyerahkan informasi perusahaan terkait rencana aksi pencegahan kebakaran lahan.
Empat perusahaan yang berdomisili di Indonesia dan satu di Singapura ini diancam dengan THPA yang bisa berujung denda maksimal USD2 juta (sekira Rp28,6 miliar) karena memicu asap yang mengganggu masyarakat mereka.
Purwadi menyebut seluruh perusahaan yang tergabung ke dalam asosiasi yang dipimpinnya tidak mungkin bekerjasama dengan pemerintah Singapura bila melalui pemerintah Indonesia. Sebab mereka telah berkomitmen untuk bekerja sama dengan pemerintahan Jokowi-JK untuk menangani dan bertanggungjawab bila ada perusahaan di bawah asosiasi yang terbukti bersalah.
“Jadi semua perusahaan sudah satu suara,” kata Purwadi.
Dia mengakui ada perusahaan-perusahaan yang diminta Singapura memberikan informasi operasi. Namun sesuai komitmen dan arahan pemerintah Indonesia yang telah melakukan penyelidikan dan peradilan, perusahaan yang dikirimi peringatan dari NEA menolak berkomunikasi dan ditanyai.
Namun ternyata pemerintah Singapura melangkah lebih berani. Pada 11 Mei lalu, Pengadilan Singapura mengeluarkan surat penangkapan untuk direksi perusahaan yang dituduh mencemari udara bila datan ke negara surga belanja tersebut.
Di media setempat, pemerintah Singapura juga menuding Indonesia tak serius dalam menangani bencana asap tahun lalu. Pemerintah Indonesia pun disebut-sebut tak bisa bekerja sama. Karena itu mereka bergerak untuk mengadili perusahaan pembakar hutan Indonesia.
Sikap pemerintah Singapura ini pun langsung menuai protes keras dari Indonesia. Kementerian Luar Negeri Indonesia melayangkan nota protes atas tindakan NEA melalui kedutaan besar di Singapura pada 13 Mei. Indonesia merasa kedaulatan hukumnya diusik. Apalagi pelaku pembakaran lahan sudah diproses secara administrasi dan hukum.
“Ada asas ne be en idem dalam hukum. Apabila sudah ada keputusan atau diproses di peradilan satu negara, seharusnya tidak bisa diproses lagi di peradilan,” kata Pakar Hukum Mahfud MD, Senin (30/5/2016).
Hari berikutnya, Kementerian Luar Negeri Singapura mengeluarkan pernyataan media di situs resminya. Mereka mengatakan belum menerima perwakilan dari Kedutaan Besar Indonesia terkait hal ini.
Kementerian Luar Negeri Singapura juga menambahkan, “THPA konsisten dengan hukum Internasional, yang memungkinkan negara untuk mengambil tindakan yang tepat untuk melindungi diri dari tindakan eksternal yang menyebabkan kerusakan dalam negeri. Itu tidak melanggar batas kedaulatan negara tertentu”.
Melalui THPA, NEA yang mengurusi persoalan lingkungan di Singapura diberdayakan dan diberi hak untuk menyelidiki dan mengumpulkan bukti dalam masalah polusi kabut asap.
Lampu kuning hubungan Indonesia-Singapura
Masalah kabut asalah dan polemik THPA ini menjadi lampung kuning dalam hubungan Indonesia-Singapura. Hubungan Indonesia-Singapura sendiri sebenarnya sudah sering naik turun.
Mulai dari soal latihan perang, penanganan perompak, pengamanan kawasan, hingga aset gelap pengusaha dan pejabat yang dilarikan ke Singapura.
“Jadi sudah biasa naik turun dari dulu sampai sekarang. Kalau masalah bertetangga dalam bernegara ini sudah biasa,” kata TB Hassanudin.
Ketimbang terlalu meributkan polemik, Indonesia lebih baik menjadikan sikap Singapura ini sebagai alarm untuk membenahi aturan pengelolaan lingkungan hidup.
Dari segi hukum Internasionalnya sendiri, perilaku Singapura ini layak dikritik. Sebab dari piagam ASEAN ditulis tegas negara anggota harus saling hormat-menghormati kedaulatan dan identitas masing-masing negara.
Aturan THPA ini juga perlu diwaspadai negara-negara ASEAN, terutama Indonesia. “Ini penggunaannya bisa ekstrateritorial. Walau tidak disebut, yang disasar itu Indonesia,” kata Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana, Senin (30/5/2016).
Sementara itu Ekonom Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty menilai tindakan Singapura ini perlu juga dicari tahu latar belakangnya. Apakah benar hanya seputar masalah lingkungan, atau ada motif lain. Bentuk menolak tax amnesty misalnya.
“Perlu diingat, Singapura itu tax haven dan memberikan banyak insentif bagi perusahaan bermarkas di situ. Banyak perusahaan yang memilih untuk masuk ke bursa Singapura atau bermarkas di sana. Selain itu, entah berapa banyak aset WNI tak dipajak negara yang diendapkan di sana,” kata Telisa.
Hubungan ekonomi Indonesia dan Singapura sendiri sebenarnya saling menguntungkan. Namun Indonesia memiliki ketergantungan yang cuku tinggi ke Singapura karena negara tewrsebut merupakan pelabuhan transit komoditas nasional.
Walau demikian, nasib perdagangan Indonesia dan Singapura dari waktu ke waktu menunjukkan tren menurun. Secara ekspor dan impor, perdagangan Indonesia dan Singapura mengalami hal serupa.
Polemik THPA ini dikhawatirkan akan menjadi lampu kuning bagi hubungan Indonesia-Singapura. Terutama di tengah kondisi pemerintah Singapura yang mulau dikritik oleh rakyatnya.
“Kita bisa melihat ada efek tekanan dari masyarakat. Bisa jadi apa yang dilakukan Singapura ini menjadi cara untuk meningkatkan popularitas pemerintah,” kata Hikmahanto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News