Mantan Wamenkum HAM Denny Indrayana usai diperiksa di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Kamis (2/4) sebagai tersangka kasus dugaan kasus korupsi Payment Gateway.  Foto: ANT/Puspa Perwitasari
Mantan Wamenkum HAM Denny Indrayana usai diperiksa di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Kamis (2/4) sebagai tersangka kasus dugaan kasus korupsi Payment Gateway. Foto: ANT/Puspa Perwitasari

Telusur

Denny Indrayana dan Proyek Berisiko

Medcom Files
Hardiat Dani Satria, Mohammad Adam • 08 April 2015 16:41
medcom.id, Jakarta: Hujan deras mengguyur Jakarta pada hari Rabu (1/4/2015) sekitar pukul 10.00 WIB. Ketika itu suasana tegang menyelimuti Kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan.
 
Pagi menjelang siang itu, para penyidik Bareskrim Mabes Polri tengah menggeledah di ruangan yang digunakan Denny Indrayana saat masih menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham). Penggeledahan di lantai 5 Gedung Imigrasi ini tidak dapat diliput media.
 
Sebanyak 15 penyidik Bareskrim Polri menyita sejumlah dokumen yang berkaitan dengan proyek sistem pembayaran menggunakan kartu kredit atau debit secara online (Payment Gateway) dalam pembuatan paspor di Direktorat Jenderal Imigrasi. Tidak hanya dokumen, beberapa saksi di lokasi penggeledahan pun diperiksa penyidik, antara lain office boy dan Kepala Kantor Imigrasi Jakarta Barat.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Denny adalah tersangka kasus dugaan korupsi dalam proyek Payment Gateway. Dia berambisi membuat sistem efisien dalam pembuatan paspor yang berujung pada proyek pembayaran PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) secara elektronik. Namun dalam pelaksanaan proyek, Denny tidak mengindahkan rekomendasi dan aturan-aturan berlaku. Proyek itulah yang akhirnya menyeret Denny dalam kasus dugaan korupsi. Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, Kepolisian pada pertengahan Maret lalu menetapkan pria bergelar profesor itu sebagai tersangka dalam kasus Payment Gateway Kemenkumham tahun anggaran 2014.
 
Kepala Bareskrim Mabes Polri Komjen Pol Budi Waseso menyatakan penetapan Denny sebagai tersangka memiliki landasan hukum kuat. Apalagi, penetapan telah memenuhi dua alat bukti. Salah satunya adalah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait kinerja atas efektivitas layanan paspor pada Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham tahun 2014. Selain itu, alat bukti juga didapatkan dari keterangan saksi dan saksi ahli yang diperiksa Bareskrim.
 
BPK pun telah melakukan audit khusus untuk menyoroti proyek tersebut. Hasilnya, implementasi Payment Gateway Kemenkumham dalam Sistem Pelayanan Terpadu itu mengabaikan risiko hukum.
 
Anggota I BPK Agung Firman Sampurna menjelaskan, pemeriksaan yang dilakukan BPK menunjukkan Denny berperan dalam mewacanakan proyek berisiko ini. “Saudara Denny Indrayana selaku Wamenkumham kala itu punya peran begitu besar dalam proyek. Itu yang kami lihat dari hasil audit," ujar Agung kepada medcom.id di Kantor BPK, Jalan Gatot Subroto, Slipi, Jakarta Barat, Kamis (2/4/2015).
 
BPK menemukan adanya kejanggalan dari proyek Payment Gateway setelah mendapatkan temuan dari hasil audit terhadap Ditjen Imigrasi Kemenkumham tahun 2014. Pemeriksaan tersebut difokuskan kepada kinerja pelayanan paspor di Ditjen Imigrasi dan PNBP. Setelah terindikasi adanya penyimpangan (fraud), BPK sangat ingin meminta keterangan Denny sewaktu masih menjabat Wamenkumham. Namun, meski sudah tiga kali diminta untuk memberikan keterangan, Denny selalu mangkir.
 
BPK menemukan Payment Gateway sebenarnya tidak direncanakan dalam cetak biru sistem informasi manajemen keimigrasian (SIMKIM) yang menjadi patokan Ditjen Imigrasi dalam program peningkatan kualitas pelayanan. "Kami mengetahui ternyata cetak biru SIMKIM-nya sendiri belum dikembangkan," kata Agung.
 
Dengan demikian, BPK memandang pengadaan Payment Gateway ini tidak sesuai prosedur dan terkesan sangat dipaksakan. Karena, tanpa ada dasar perencanaan yang jelas proyek ini tiba-tiba dimunculkan di tahun 2014 atau menjelang berakhirnya masa tugas para pejabat Kabinet Indonesia Bersatu II. "Seharusnya ada perencanaan ketika orang melakukan ini. Apapun recana yang akan dilakukan suatu kementerian, harus sesuai dengan kewenangannya," kata Agung.
 
Menurut Agung, Kementerian Keuangan sebenarnya sudah mengimbau agar Kemenkumham tidak melaksanakan rencana menyelenggarakan Payment Gateway. Alasannya, proyek ini mengandung risiko hukum yang sangat tinggi. Tapi, Denny seolah tidak menggubrisnya. Bahkan tetap memaksakan agar pelaksanaan proyek ini terwujud. Terbukti dari Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 18 Tahun 2014 diterbitkan tanpa menunggu tanggapan dari Menteri Keuangan terkait perizinan sistem pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang melekat pada proyek Payment Gateway.
 
Sebelum penerapan sistem Payment Gateway ini resmi diluncurkan di Kantor Imigrasi Jakarta Selatan, ada surat yang dikirimkan kepada Kementerian Keuangan terkait permintaan dukungan regulasi atas penerapan pembayaran PNBP secara elektronik dari jasa layanan keimigrasian di Kemenkumham. Namun, proyek ini ternyata tetap dijalankan mulai 7 Juli 2014 meskipun Kementerian Keuangan belum memberikan jawaban atas surat tersebut.
 
"Permenkumham itu turun tidak didasarkan atas surat balasan. Surat balasan itu keluarnya tanggal 11 Juli 2014 yang menyatakan bahwa Kementerian Keuangan tidak bisa mendukung dan bahkan melarang, kerena itu bukan merupakan wewenang dari Kemenkumham," kata Agung.
 
Artinya, menurut Agung, Permenkumham Nomor 18 Tahun 2014 sebagai payung hukum pelaksanaan Payment Gateway itu ditetapkan dengan mengabaikan pendapat Menteri Keuangan yang berwenang dalam mengatur pengelolaan penerimaan negara.
 
Sayangnya, Denny Indrayana tidak menanggapi saat dihubungi medcom.id. Heru Widodo selaku kuasa hukum Denny Indyarana menyatakan bahwa kliennya memang sedang tidak bersedia melayani permintaan wawancara.
 
"Demi kepentingan pembelaan, untuk saat ini Pak Denny sebaiknya tidak diwawancara dulu," kata Heru kepada medcom.id pada Senin (6/4/2015).
 
Hanya tiga bulan
 
Niat baik untuk meningkatkan kualitas pelayanan pengurusan paspor ternyata berujung proses hukum karena persiapan yang kurang matang serta tak taat aturan. Menurut penilaian BPK, dengan terbitnya Permenkumham Nomor 18 Tahun 2014, Menteri Hukum dan HAM telah bertindak melampaui kewenangannya, yaitu membuat kebijakan yang menjadi kewenangan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara yang memegang kekuasaan pengelola fiskal. Sistem penerimaan PNBP dengan Payment Gateway yang ditetapkan melalui Permenkumham tersebut jelas menabrak aturan karena Menkumham tidak memiliki kewenangan dalam pengaturan fiskal.
 
"Saya sering menggunakan metafora bahwa niat yang baik saja tidak cukup, karena cara untuk mewujudkannya itu juga harus baik. Itu juga masih belum cukup, karena harus plus sabar. Kalau niat kita baik, tapi caranya ketika mewujudkan itu tidak baik, jangan jangan dari awal kita memang tidak berniat baik. Apalagi bila tidak sabar," kata Agung.
 
Pelaksanaan Payment Gateway secara umum mendapatkan apresiasi yang besar dari masyarakat karena memberikan kemudahan dalam melakukan pembayaran PNBP. Apalagi, sistem antrean tidak diperlukan dalam hal ini. Akan tetapi, pelaksanaan Payment Gateway hanya berlangsung selama tiga bulan saja. Penghentian proyek dilakukan setelah Menkumham Amir Syamsuddin melalui surat keputusan perihal penghentian pelaksanaan pembayaran PNBP Kemenkumham melalui Payment Gateway pada 17 September 2014.
 
“Ketika terjadi masalah, saya dengar Menteri Hukum dan HAM langsung mengumpulkan orang di Kemenkumham. Dari situ Pak Menkumham Amir Syamsuddin mengatakan "Hentikan ini. Ini salah," kata Agung.
 
Menurut Agung, penghentian pelaksanaan Payment Gateway ini merupakan rekomendasi dari BPK setelah melihat penerapan Payment Gateway tersebut kurang persiapan dan kajian yang mendalam. Apalagi, dalam Rencana Strategis Ditjen Imigrasi 2010-2014, sama sekali tidak pernah membahas Payment Gateway. Selain itu, Kemenkumham juga dinilai belum memiliki kesiapan dalam merencanakan dan melaksanakan PNBP sesuai aturan tata kelola keuangan.
 
Ditambah lagi, adanya indikasi tim pelaksana proyek ini telah melakukan kelonggaran terhadap dua vendor. BPK mengungkapkan bahwa selama beroperasi sejak peluncuran hingga penghentian layanan Payment Gateway, biaya transaksi yang telah dipungut berdasarkan data yang diperoleh dua kedua vendor nilainya telah mencapai Rp605 juta dari 114 ribu pemohon.
 
Masalahnya, rekening yang digunakan oleh PT Nusa Inti Artha dan PT Finnet Telkom Indonesia selaku vendor untuk menampung PNBP melalui pelayanan mengurus paspor dalam implementasi Payment Gateway dengan nilai lebih dari Rp32 miliar ini tidak memiliki izin dari Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
 
Selain itu, Payment Gateway menyebabkan penyetoran PNBP ke rekening kas negara mengalami keterlambatan. Dengan diberlakukannya Payment Gateway, maka proses pemindahbukuan dari rekening kedua vendor ke kas negara bertambah paling sedikit satu hari.
 
"Bendahara Penerima itu harus menyetorkan PNBP pada hari diterima di bank persepsi. Nah, ini kan mereka tidak begitu. Karena memakai vendor, ini masuknya bukan ke bank persepsi. Sudah begitu, prosesnya pun lama, karena berbagai hal maka dua sampai tiga hari kemudian baru masuk ke bank persepsi," kata Agung.
 
Menurut Agung, apabila proyek ini dibiarkan lebih lanjut, maka dampaknya akan lebih buruk. Karena, kasus dugaan korupsi di Kemenkumham ini terlihat sangat terstruktur, sistematif, dan masif. Berdasarkan investigasi kasus, pegawai di Kemenkumham akan dipecat apabila menolak menjalankan proyek ini. Sedangkan, bagi pihak yang mau menjalankan proyek berisiko ini, dijanjikan promosi jabatan.
 
Sampai saat ini, BPK masih menghitung berapa jumlah kerugian negara yang ditimbulkan karena pelaksanaaan proyek Payment Gateway ini dengan audit investigasi. Antara BPK dan seluruh aparat penegak hukum sudah sepakat bahwa ada ada potensi fraud dalam proyek tersebut. Nantinya, jumlah besaran kerugian negara akan terlihat dari hasil di pengadilan. BPK berharap, dalam waktu dekat ini dapat menyampaikan hasil audit investigasi ke kepolisan, sehingga berkas itu segera dilimpahkan ke kejaksaan untuk melanjutkan proses hukum di sidang pengadilan.
 
“Soal angka kerugian negara, itu belum bisa dipublikasikan. Nanti segera akan didapatkan,” kata Agung.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
TERKAIT
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan