Mata Hari adalah sebutan karib Margaretha Geertruida ‘Grietje’ Zelle. Perempuan seksi penari eksotis yang sebenarnya memiliki kode H21 itu dikenal sebagai agen mata-mata masa Perang Dunia I. Zelle memasang standar ganda, ia memata-matai Prancis untuk Jerman, juga sebaliknya.
Konon, keandalan Zelle dalam dunia spionase didukung dengan parasnya yang menggoda. Ia kerap membocorkan rahasia penting dari orang-orang besar dua negara yang bertikai itu. Meski akhirnya ia tumbang oleh regu tembak Prancis pada 15 Oktober 1917, namun sosok yang cukup lama tinggal di Ambarawa, Indonesia itu dianggap menginspirasi para pria untuk tidak mudah tergoda bujuk rayu wanita.
Belakangan, sebagian masyarakat pun menanyakan peran perempuan yang hampir selalu muncul dalam kasus-kasus besar yang menjerat para pesohor. Benarkah ia sekadar kebetulan? Atau memang dipasang sebagai alat pengepul informasi, rekayasa, atau jebakan? Perempuan dalam lingkaran kasus
Perempuan bernama Rani Juliani, misalnya. Gadis pemandu golf itu pernah menjadi sorotan dalam kasus pembunuhan PT Rajawali Putra Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen yang menyeret Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar pada 2009.
Rani dianggap sebagai saksi kunci. Bahkan, ia diduga menjadi motif pembunuhan misterius itu. Tapi seiring berjalannya waktu, nama itu hilang tak lagi bergeming.
Nama berikutnya adalah Darin Mumtazah. Gadis yang kala itu masih berusia 19 tahun ini muncul bersamaan saat dugaan kasus korupsi menyeret nama Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaq (LHI).
Pada 30 Januari 2013, LHI dijemput dan ditahan KPK lantaran diduga menerima suap pengurusan kuota impor daging pada Kementerian Pertanian. Penahanan LHI ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) Ahmad Fathanah di Hotel Le Meridien sehari sebelumnya. Tak lain dan tak bukan, pengusaha inilah yang memfasilitasi bulan madu LHI dan siswi SMK itu di Kuala Lumpur, Malaysia.

Istri ketiga mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, Darin Mumtazah keluar dari gedung KPK Jakarta. (ANTARA/Wahyu Putro A)
Yang paling dekat dan baru, sosok perempuan yang juga ditemukan dalam OTT hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar. Sosok bernama Anggita Eka Putri itu turut terjaring KPK di Grand Indonesia Mall Jakarta Pusat pada Rabu, 25 Januari 2017.
Dalam keterangan resminya, KPK cuma memberikan keterangan tentang adanya dugaan suap sebesar SGD200 ribu yang diterima politisi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut dari pengusaha importir Basuki Hariman. KPK enggan bercerita detail mengenai siapa dan apa peran Anggita.
Perempuan misterius berikutnya adalah Firza Husein. Nama ini menyeruak lantaran obrolan (chating) berbau pornografi yang diduga dilakukannya bersama Rizieq Shihab tersebar di dunia maya.
Isu itu tak muncul di siang bolong. Desas-desus muncul seiring sepak terjang Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) rajin mengerahkan massa menuntut penahanan Gubernur Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama atas dugaan kasus penistaan agama. Di sisi lain, ia juga tengah didera banyak kasus mengenai dugaan penghinaan simbol negara dan intoleransi.
Semua kasus yang melibatkan pesohor itu kerap dibarengi dengan dugaan kriminalisasi. Terlebih publik menyaksikan, kecenderungan hadirnya perempuan di hari-hari kurang beruntung para tersangka.
Bisa benar, bisa salah
Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S. Pane mengatakan, kecurigaan publik atas kehadiran perempuan sebagai alat rekayasa kasus bisa benar, bisa juga salah. Pasalnya, semua itu harus dibuktikan dengan fakta pendukung yang kuat.
“Bisa benar, bisa salah. Pola pelibatan perempuan ini memang sudah masyhur sejak lama. Zaman perang dikenal agen, itu banyak perempuan. Yang legendaris itu Mata Hari, ia dilibatkan dalam spionasi, penghimpun informasi, dan lain-lain,” kata Neta kepada medcom.id Kamis (16/2/2017).
Namun tidak dipungkiri, kata Neta, kemunculan sosok perempuan dalam kasus-kasu itu mengundang perhatian lebih. Seolah-olah, kata dia, kasus itu membutuhkan dukungan dari sisi moralitas.

Neta S Pane (MI/Ramdani)
“Meski secara hukum ini tidak diatur secara tegas, karena bersifat privasi. Itu yang cenderung jadi dugaan adanya rekayasa terhadap sebuah kasus,” kata dia.
Sementara Kriminolog Universitas Indonesia (UI), Adrianus Eliasta Meliala mengatakan, kecurigaan adanya rekayasa dalam sebuah kasus lebih baik dilihat dari keutuhan proses yang bergulir. Kemunculan perempuan, bukan satu-satunya dalih yang bisa dipakai untuk menyatakan penyidikan bersifat jebakan dan manipulatif.
“Kalau itu jebakan, secara primer materiil kenyataannya pelaku sudah berbuat. Misal pada faktanya, tersangka benar-benar sekamar dengan perempuan itu,” kata Adrianus kepada medcom.id, Kamis (16/2/2017).
Kecurigaan itu, bukan cuma berawal dari masyarakat. Tren menghubungkan keberadaan perempuan dengan istilah kriminalisasi itu pun disundul oleh para tersangka.
“Kalau tidak bersalah, tidak usah takut. Biar proses hukum yang menunjukkan fakta ke publik,” ujar dia.
Hal senada diucapkan Pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar. Menurut dia, unsur rekayasa dalam sebuah kasus hampir secara pasti akan diketahui di sepanjang proses peradilan.
Keterlibatan perempuan bisa diselidiki. Bisa dibuktikan secara lengkapnya di persidangan semisal dilibatkan menjadi saksi,” kata Bambang kepada medcom.id, Rabu (15/2/2017).
Kehadiran perempuan dalam sebuah kasus, kata Bambang, tidak mungkin dengan tangan kosong tanpa memunculkan peran tersendiri. Jika berada di luar konsentrasi kasus utama yang diangkat, ia pun bisa berurusan dengan aturan lain.
“Misalnya, perselingkuhan. Meski itu harus diperkuat adanya laporan,” ujar dia.
Bambang pun tidak menutup kemungkinan potensi perempuan sebagai penanda kriminalisasi. Namun mengingat ketatnya syarat dan prasyarat proses hukum, peluang itu sangat kecil.
“Rekayasa itu jelas tidak boleh di dalam hukum. Termasuk menjebak. Dalam interogasi sekalipun, pertanyaan menjebak itu tidak diperbolehkan,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News