Sejumlah pengemudi taksi melakukan aksi dengan memblokade jalan tol untuk melakukan sweeping taksi yang beroperasi di kawasan Gatot Subroto, Jakarta. (MI/Ramdani)
Sejumlah pengemudi taksi melakukan aksi dengan memblokade jalan tol untuk melakukan sweeping taksi yang beroperasi di kawasan Gatot Subroto, Jakarta. (MI/Ramdani)

Deregulasi Bukan Sesuatu yang Haram

Medcom Files blue bird
Surya Perkasa • 28 Maret 2016 17:35
medcom.id, Jakarta: Polemik di sektor transportasi Indonesia yang terjadi antara perusahaan taksi dan perusahaan aplikasi transportasi daring (online) memanas beberapa waktu belakangan. Perusahaan taksi dituding terlalu arogan dan tidak siap menghadapi perubahan dan persaingan bisnis yang tengah terjadi.
 
Sopir taksi yang turun ke jalan pada Selasa 22 Maret lalu memprotes pemerintah lantaran membiarkan perusahaan aplikasi semacam Uber dan Grab beroperasi tanpa memiliki izin usaha resmi alias ilegal. Lantaran persaingan dengan Grab dan Uber cenderung tidak sehat.
Tarif murah yang ditawarkan Grab dan Uber membuat konsumen beralih ke “taksi plat hitam”.
 
Baik Uber maupun Grab, keduanya dituding menyerobot penumpang taksi legal. Maka, para sopir taksi yang tergabung dalam Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat pun berdemonstrasi dengan keluhan penghasilan yang kian menurun dan ancaman hidup makin tidak sejahtera.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Namun, publik justru mengkritik perusahaan transportasi. Seharusnya perusahaan taksi yang paling berkewajiban mensejahterakan sopir taksi yang mereka naungi. Keuntungan yang besarnya mencapai Rp735,1 miliar untuk Bluebird dan Rp118,1 miliar untuk Express Group, harusnya bisa mensejahterakan para karyawan. Bukannya justru berusaha menekan pemerintah memblokir aplikasi yang memberikan alternatif transportasi lebih murah. “Di mata konsumen sekarang, sudah banyak alternatif yang muncul. Praktek bisnis konvensional perlu ditinjau kembali, begitu juga regulasi,” ujar Guru Besar Bisnis dan Ekonomi Universitas Indonesia Rhenald Kasali kepada medcom.id, Selasa 22 Maret 2016.
 
Memang saat ini tengah terjadi perubahan besar-besaran dalam tatanan ekonomi dengan kehadiran ekonomi digital. Ditambah lagi sharing economy mulai bermunculan di beragam sektor. Namun bukan berarti pengusaha taksi layak dijadikan satu-satunya kambing hitam atas polemik yang tengah terjadi.
 
“Ya mereka (perusahaan taksi) memang tidak bisa mensejahterakan sopir. Tapi, kenapa tidak sejahtera? Karena mereka itu ditekan terlalu banyak aturan yang memberatkan mereka. Mereka jadi punya alasan untuk menerapkan sistem setoran yang lebih besar karena tuntuan untuk membayar ini dan itu. Akhirnya kesejahteraan itu tidak mengalir ke sopir-sopir taksi ini,” terang Rhenald.
 
Hal senada juga disampaikan oleh Rektor Universitas Paramadina Firmanzah yang juga menjadi Guru Besar Ekonomi di Universitas Indonesia. Walau pengusaha pandai melihat dan memformulasi ulang proses bisnisnya dengan kehadiran ekonomi digital, justru akan sia-sia bila pemerintah tidak mampu mengamati tren ini dan menyiapkan regulasi yang sesuai.
 
“Ini harus dipikirkan juga karena sopir taksi konvensional ini kan yang terdampak dari kehadiran digital economy. Mereka itu kan warga negara Indonesia juga,” tegas Firmanzah saat berdiskusi dengan medcom.id, Kamis 22 Maret 2016.
 
Peraturan yang telah basi
 
Rhenald menyebut pemerintah dan pengusaha sudah terperangkap model ekonomi gaya lama. Karena tidak cepat dan responsif menyiapkan diri, akhirnya polemik dapat terjadi saat ini.
 
Salah satunya dari sisi regulasi. Rhenald menyebut peraturan transportasi di Indonesia saat ini sudah banyak yang ketinggalan. Bahkan tidak hanya soal UU 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Tapi juga seluruh sektor ekonomi yang akhirnya tidak bisa membendung gempuran digitalisasi.
 
Beberapa Undang-undang ini banyak yang baru disahkan enam tahun belakangan. Sedangkan disusunnya juga sudah sejak 10 tahun yang lalu. “Nah sekarang, dua tahun ini maraklah sistem aplikasi,” kata Rhenald.
 
Hal ini sangat disayangkan. Pemerintah seharusnya bisa lebih antisipatif karena konflik horizontal yang terjadi di Indonesia telah terjadi di negara lain. Di Inggris, Perancis, Mexico hingga Korea sudah mengalami hal serupa.
 
“Pertanyaannya, kenapa kita tidak antisipasi? Karena kita ributin sering yang tidak penting. Akhirnya yang rakyat kecil ini kita tidak urus. Itu yang pertama,” tegas dia.
 
Yang kedua, tambah Rhenald, pemerintah yang selalu memaksa rakyat mengikuti semua aturan mereka. Pemerintah terlalu kaku menerapkan aturan yang telah “basi” dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Aturan ini dijadikan tameng oleh pengusaha untuk memperjuangkan haknya. Taksi legal nan mahal akhirnya berbenturan dengan taksi ilegal yang bertarif murah.
 
Jurang perbedaan harga ini akhirnya justru membuat publik marah. Jika perusahaan taksi menuding platform transportasi bersaing tidak fair di masalah tarif di bawah standar, publik justru menuding perusahaan taksi bermain tarif karena mereka buktinya bisa diberikan jasa transportasi yang lebih murah.
 
Namun, publik seharusnya perlu disadarkan bahwa perusahaan transportasi dihadapkan kepada banyaknya aturan. Taksi model lama ini harus menjalankan aturan yang akhirnya membuat biaya jasa jadi mahal. Mereka harus memiliki modal berupa sejumlah taksi, memiliki pool taksi, kir per mobil, biaya perizina yang tidak murah, dan beragam pungutan dan biaya lain. “Banyak punguntan resmi dan tidak resmi,” celetuk Rhenald.
 
Di sisi lain, taksi model baru yang biasa disebut model ride-sharing ini masuk ke ranah yang belum tersentuh. Mereka tidak memiliki kewajiban seperti perusahaan taksi, sehingga mampu menekan tarif. Walau memberikan keuntungan kepada konsumen, perlu dibuat skema agar yang konvensional dan digital dapat berjalan seiringan.
 
“Kita ini kan untuk kesejahteraan rakyat. Kalau taksi murah, masyarakat yang jadi konsumen transportasi punya biaya lebih untuk hal lain. Tapi kan sopir taksi kita perlu disejaterakan juga seperti sopir taksi negara lain yang bisa punya apartemen. Nah penyerdehanaan aturan atau deregulasi itu bisa jadi solusi,” pungkas Rhenald.
 
Deregulasi tak haram dilakukan
 
Penyerdehanaan aturan memang dirasa perlu dilakukan agar polemik ini tidak berkepenjangan. Sebab, selama ini yang selalu permasalahan taksi online yang disorot oleh perusahaan dan pelaku usaha transportasi adalah soal tarif, perizinan dan pajak.
 
Tarif berkaitan dengan beragam persyaratan dan perizinan yang harus dipenuhi perusahaan transportasi. Sementara itu, perizinan dan regulasi di Indonesia terlalu banyak dan diatur banyak lembaga.
 
“Jadi kalau mau bikin perusahaan transportasi itu, harus izin perusahaan ke Kementerian Hukum dan HAM. Harus mendapatkan rekomendasi ke Kementerian Perhubungan. Harus dapat KIR, kita harus urus ke Pemda, kita harus urus aplikasi ke Kominfo. Terlalu banyak aturan dan itu tidak satu pintu,” kata Rhenald.
 
Penyerdehanaan regulasi akan menyebabkan tarif taksi dapat ditekan. Taksi reguler dan taksi basis aplikasi pun dapat dibuat saling bersaing merebut pasar transportasi yang ada.
 
Sementara itu, Firmanzah menilai deregulasi bukanlah hal yang haram dilakukan. UU 22 tahun 2009 tentang LLAJ itu bukanlah barang final yang tidak bisa diutak-atik. “Kalau memang harus disesuaikan dengan kondisi jaman ya harus disesuaikan,” kata Firmanzah.
 
Kondisi saat in memang digital economy yang tengah mempengaruhi sektor-sektor riil di Indonesia tidak bisa terbendung. Regulasi pun harus disesuaikan.
 
Tuntutan kepada pemerintah
 
Rhenald menyarankan pemerintah untuk segera melakukan deregulasi di sektor transportasi. Dengan begitu pengurangan cost perusahaan transportasi ini bisa dialihkan ke pengemudi taksi. “Seperti yang bisa dilakukan oleh pengusaha aplikasi transportasi online,” kata Rhenald.
 
Indonesia juga harus memikirkan tingginya suku bunga kredit bagi kalangan pengusaha. Ini secara tidak langsung menyebangkan biaya perusahaan meningkat. “Padahal di luar negeri bunga sekitar nol persen. Amerika 0,5 persen, Jepang negatif malah. Kita masih mahal,” papar dia.
 
Selain itu perizinan transportasi nan rumit, harus segera dibuat satu pintu. Dengan begitu tarif akhir ke konsumen akan semakin dapat ditekan perusahaan taksi reguler. “Jadi memang keuntungan perusahaan taksi itu berkurang. Dengan adanya deregulasi, keuntungannya kita harapkan bisa meningkat walau tidak bisa seperti dulu,” pungkas Rhenald.
 
Sementara itu Firmanzah menuntut pemerintah mawas dengan kondisi yang dibawa oleh digitalisasi ekonomi. Beberapa sektor terpaksa tutup bila tak mampu berubah. Jadi selain memikirkan soal deregulasi, pemerintah harus mempersiapkan transisi pekerjaan bagi kelompok yang terdampak.
 
“Misalnya dengan keberadaan e-commerce, 10-15 tahun ke depan pedagang Tanah Abang bisa saja kehilangan pekerjaan. Karena kan bisa saja perdagangan itu tidak lagi lewat hub atau intermediary business. Nah ini yang juga harus dipikirkan pemerintah,” kata dia.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan