medcom.id, Jakarta: Pemerintah Singapura menerapkan Singapore Transboundary Haze Pollution Act No. 24 Tahun 2014 (STHPA) atau Undang-Undang Polusi Asap Lintas Batas. Enam perusahaan Indonesia mendapat peringatan dari otoritas Singapura terkait pembakaran lahan di Indonesia yang sebabkan kabut asap di Singapura. Para pakar menganggap kebijakan Singapura ini menabrak kedaulatan Indonesia juga piagam ASEAN.
Dalam pasal 4 STHPA itu disebutkan bahwa aturan ini dimungkinkan untuk diperluas dalam kaitannya terhadap tindakan atau objek di luar Singapura yang menyebabkan atau berkontribusi kepada segala macam masalah polusi asap yang terjadi di Singapura.
Pengadilan Singapura pun keluarkan perintah penangkapan salah satu direksi dari perusahaan yang diberikan surat peringatan tersebut. Perintah ini diberikan kepada The National Environment Agency (NEA) untuk menangkap seorang warga negara Indonesia yang diduga melakukan tindak pidana atas UU THPA, guna menjalani proses hukum.
Sejumlah pihak menganggap STHPA dan penerapannya telah menodai kedaulatan Indonesia. Kebijakan ini juga telah menabrak pasal 2 ayat 2 Piagam ASEAN yang menegaskan bahwa seluruh anggota ASEAN harus bertindak dengan prinsip menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas teritorial dan identitas nasional seluruh anggota ASEAN.
"Singapura over reactive dengan membuat undang-undang itu. Kita kan sudah mengadili, buat apa mereka mau adili lagi? Ini salah, Ne bis in idem, tidak boleh di manapun. Bila sudah diadili kasusnya di dalam negeri mau diadili lagi di Singapura, itu melanggar juga," ucap Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Mahfud MD dalam diskusi terfokus bertajuk Lampu Kuning Hubungan Bisnis Indonesia-Singapura di Kompleks Metro TV, Kedoya, Jakarta Barat, Senin, 30 Mei 2016 lalu.
Menurut mantan Menteri Pertahanan RI ini Singapura terlalu arogan. Harusnya, kata Mahfud, Singapura sudah mengetahui bahwa sudah ada peradilan di Indonesia. "Terlepas kita meragukan atau tidak kredibilitas pengadilan kita, namun keluar kita harus menyatakan bahwa sudah diputus oleh pengadilan beserta bukti-buktinya sudah inkrah," katanya.
AATHP
Dalam pergaulan regional ASEAN, Singapura dan STHPA-nya telah menunjukkan sikap merendahkan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) yang sudah disepakati sebagai langkah bersama dalam menyelesaikan perosalan asap. "Kita sudah memiliki kesepakatan dengan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, yang mengatakan bahwa masalah asap ini bukan hanya masalah Indonesia saja, tetapi menjadi masalah dari ASEAN," kata guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana di forum yang sama.
Sikap merendahkan Indonesia juga terlihat saat Singapura membawa persoalan ini ke pertemuan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Nairobi, Kenya, beberapa waktu lalu. Hal ini, menurut Hikmahanto, tentu menyinggung Indonesia dan dapat merusak hubungan kedua negara. "Sesungguhnya masalah ini bisa diselesaikan lewat ASEAN, tidak perlu disampaikan ke forum itu (PBB) dan seolah-olah merendahkan Indonesia dalam menyelesaikan masalah ini," katanya.
AATHP yang disepakati pada 10 Juni 2002 di Kuala Lumpur-Malaysia, kata Hikmahanto, tujuan utamanya sudah jelas, yaitu menanggulangi polusi asap agar tidak menyebar keluar batas wilayah suatu negara negara. Isinya pun memuat tentang ketentuan tindakan yang harus dilakukan melalui upaya nasional terpadu maupun dengan upaya regional.
Menunggu Indonesia
AATHP yang diharapkan dapat mengatasi bencana tahunan polusi asap lintas batas di Asia Tenggara, ternyata dinilai tidak berjalan efektif. Faktanya, sejak perjanjian tersebut resmi berlaku pada 25 November 2003, setiap tahun hingga terakhir 2015 kemarin, bencana asap masih selimuti Asia Tenggara.
Mantan Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pelestarian dan Pemberdayaan, Liliana Bratasida, yang mewakili Indonesia saat penandatangan AATHP pada 2002, mengatakan, ketidakefektifan AATHP dimungkinkan menjadi salah satu penyebab kejengkelan Singapura dan munculnya STHPA. Soal Ratifikasi AATHP saja, Indonesia baru memberikannya pada 2014, tahun yang sama dengan penerbitan STHPA. Padahal, Malaysia telah menyerahkan dokumen ratifikasi AATHP pada 3 Desember 2002, diikuti secara berturut-turut oleh Singapura, Brunei, Myanmar, Vietnam, Thailand dan Laos pada 2003.
"Bayangkan, dari ditandatanganinya (AATHP) th 2002, Indonesia baru meratifikasinya tahun 2014. Apa yg terjadi selama 12 tahun, yaitu tarik ulur antara berbagai kementerian, lembaga, LSM dll soal aturan ini. Jadi, saat itu tidak ada posisi yang jelas dari indonesia, meratifikasi atau tidak meratifikasi. Kejengkelan Singapura bisa terlihat disini. Tidak ada sikap jelas indonesia, menolak karena apa, setuju karena apa," ucap Liliana.
Menurut Liliana, lambatnya dokumen ratifikiasi AATHP dari Indonesia juga memperlihatkan lemahnya diplomasi Indonesia. "Karena kita belum bisa satu suara dalam diplomasi. Kementerian, contohnya, berbeda suara dengan Lembaga, berbeda lagi dengan LSM. Itu yg membuat kita sulit diplomasi," ujarnya.
Arogansi Singapura, kata Liliana, tidak akan terjadi bila Indonesia bisa berdiri tegak sebagai bangsa yang besar. Salah satunya mampu keluar satu suara dalam diplomasi disertai kekuatan data dan informasi yang benar. Bila kita masih sulit menyatukan suara, sambung Liliana, Indonesia mudah disusupi.
Bahkan, Liliana bercerita bahwa Singapura pernah menjalin kerjasama bilateral dengan beberapa Pemerintah Daerah tanpa diketahui Pemerintah Pusat. "Karena banyak tarik ulur soal keputusan tadi, membingungkan dan akhirnya kerjasama langsung ke dalam sesuai kepentingan mereka (Singapura), ini bahaya," ucapnya.
Intinya, Liliana menegaskan bahwa introspeksi ke dalam juga diperlukan selain menyalahkan Singapura dengan aturannya yang menabrak kedaulatan Indonesia.
"Konsolidasi, pemerintah harus merangkul semua pihak, lembaga, LSM, bekerjasama menentukan posisi diplomasi Indonesia keluar," kata Liliana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News