Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana. Foto: MI/Romy Pujianto.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana. Foto: MI/Romy Pujianto.

Telusur

Ada Fraud di Proyek Payment Gateway

Medcom Files
Hardiat Dani Satria, Mohammad Adam • 08 April 2015 17:55
medcom.id, Jakarta: Terjadinya fraud atau kecurangan adalah hal yang dihindari dalam organisasi. Karena apapun jenis, bentuk, maupun skala operasi dan kegiatan organisasi itu, tentu tak ingin menanggung risiko dari fraud yang dapat membawa dampak amat fatal pada hancurnya reputasi lembaga, misalnya.
 
Meski fraud didefinisikan sebagai kecurangan, tetapi pengertian ini telah berkembang dengan cakupan yang luas di kalangan auditor. Makna fraud bisa berarti penyimpangan atau ketidakberesan yang terjadi di tubuh organisasi.
 
Namun, istilah fraud telah dipahami secara umum merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang dari dalam dan atau luar organisasi, dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan atau kelompoknya yang secara langsung merugikan pihak lain.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Dalam konteks itulah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI melakukan audit mendalam terhadap Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, khususnya mengenai kinerja pelayanan proses mengurus paspor. BPK meyakini ada potensi fraud terkait proyek sistem pembayaran online dalam pembuatan paspor atau proyek Payment Gateway. Proyek ini ditengarai sejak awal sudah bermasalah. Karena tidak memiliki dasar perencanaan yang baku. Anggota I Badan Pemeriksa Keuangan, Agung Firman Sampurna, mengungkapkan bagaimana seluk beluk permasalahan proyek Payment Gateway tersebut. Berikut petikan wawancara dengan Agung saat ditemui reporter medcom.id Hardiat Dani Satria di kantornya di Jakarta, Kamis 2 April 2015.
 
Bisa diceritakan kasus proyek Payment Gateway ini seperti apa?
 
Payment Gateway ini adalah temuan dari dua pemeriksaan yang dilaksanakan oleh BPK, dalam hal ini Auditor Keuangan I di tahun 2014. Audit pertama berkaitan dengan pemeriksaan kinerja pelayanan paspor di Ditjen Keimigrasian. Sedangkan yang kedua, pemeriksaan dengan tujuan tertentu, yaitu PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).
 
Dari kedua jenis audit tersebut, ternyata ada penemuan yang sama, yaitu ada masalah di Payment Gateway. Pada saat itu kami ingin mendalami ini dan menjadi curious (rasa ingin tahu) kami, karena kami ingin meminta keterangan kepada Denny Indrayana yang pada waktu itu masih menjadi Wamenkumham (Wakil Menteri Hukum dan HAM). Tiga kali dia diminta memberikan keterangan, tapi yang bersangkutan tidak bersedia memberikan keterangan.
 
Jadi, ini mesti diluruskan. Kami minta keterangan, tetapi beliau tidak bersedia memberikan keterangan. Mangkir lagi, mangkir lagi. Hingga akhirnya laporan hasil pemeriksaan itu diselesaikan dan IHPS (Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II) akan diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 7 April 2015, dia tidak memberikan keterangan. Dalam penemuan tersebut, teman-teman sudah mengkonstruksi bahwa ini harus diperdalam dalam audit investigasi. Seperti itu gambarannya.
 
Audit di semester pertama, BPK sudah ada agendanya yaitu audit terhadap laporan keuangan. Maka dari itu kami merencanakan ini sebagai rencana kerja pemeriksaan di semester kedua. Tetapi dalam proses tersebut, tiba-tiba saja salah satu aparat penegak hukum masuk ke proses yustisia. Nah, BPK sudah tahu ada potensi fraud di situ.
 
Saya tugaskan teman-teman untuk menghitung kerugian negara. Dengan kasus ini ditingkatkan menjadi peyidikan, kami menugaskan kepada teman-teman melakukan audit investigasi untuk menghitung kerugian negaranya. Mengenai angkanya, nanti akan teman-teman dapatkan pada saat sidang di pengadilan. Karena, penghitungan kerugian negara dalam audit investigasi itu komunikasinya satu arah, yaitu antara BPK dan aparat penegak hukumnya.
 
Tapi, kami sama-sama memiliki keyakinan bahwa di situ ada fraud. Itu garis besar latar belakangnya. Kami sudah melakukan penugasan untuk penghitungan kerugian negara dan kemudian sedang berjalan dalam proses investigasi. Jadi mudah-mudahan, dalam waktu yang tidak terlalu lama, kami bisa sampaikan ke kepolisan sehingga itu bisa melengkapi apa yang sedang dikerjakan di kepolisian dan semoga berkas itu segera P21 di Kejaksaan.
 
Jadi, belum diketahui kerugian negara terkait proyek Payment Gateway ini?
 
Tidak bisa, belum bisa dipublikasikan. Nanti akan bisa didapatkan.
 
Bisa Anda jelaskan mengenai letak fraud kasus ini di mana?
 
Konstruksinya itu kan ada dua, yaitu konstruksi biasa dan konstruksi Pasal 33 UU Korupsi. Sebenarnya itu digunakan oleh aparat penegak hukum. Sebelum membicarakan itu, kami membicarakan perbuatan melawan hukumnya terlebih dahulu. Apa sih perbuatan melawan hukumnya? Baru kemudian siapa yang dirugikan dan siapa yang diuntungkan.
 
Pertama, bicara perbuatan melawan hukumnya. Sebenarnya ketentuan pengelolaan fiskal sesuai dengan ketentuan perundangan di republik ini adalah wewenangnya Menteri Keuangan, itu eksklusif. Termasuk tata cara penyetoran PNBP diatur dalam PMK 3 Nomor Tahun 2013. Dengan demikian, jangankan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Menteri Hukum dan HAM-nya itu saja tidak memiliki wewenang ini.
 
Maka, ini persoalannya adalah penyalahgunaan wewenang, melampaui wewenang. Semua pihak mendukung ini dan memberikan jawaban yang sama. Di situ sudah ada macam-macam, Antara lain BPKP dan KPK.
 
Kedua, harus dipahami juga dari segi perencanaan, Payment Gateway ini tidak direncanakan dengan baik. Tidak direncanakan dengan baik itu maksudnya tidak ada perencanaannya. Ini tidak menjadi rencana strategis Kementerian Hukum dan HAM. Seharusnya kan ada rencana dulu, kemudian kegiatan akan menggunakan keuangan negara. Tapi, ini tidak direncanakan terlebih dahulu. Ini bukan masuk dalam rencana strategis Kemenkumham dan bukan rencana aksi tahunan dari Ditjen Imigrasi. Bahkan ini tidak ada cetak birunya.
 
Sudah ada Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian (SIMKIM), yang memberikan pelayanan satu atap. Jauh sebelum Denny Indrayana masuk ke sana, itu sudah ada cetak biru SIMKIM. Tapi, ini (Payment Gateway) tidak ada dalam cetak biru pengembangan SIMKIM. Jadi, datangnya dari mana ini barang?
 
Kemudian harus dipahami juga, sering digembar-gemborkan bahwa ini menguntungkan. Menguntungkan siapa? Ini pertanyaan besar untuk kita. Karena, mereka melakukan kegiatan apa yang disebut dengan beauty contest (proses pemilihan vendor –red). Kontes ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 24 tahun 2010. Ada prosedurnya bahwa harus ada perencananaannya, ada gambarannya, ada aturan yang jelas, dan teknis tentang kegiatan.
 
Sedangkan dalam kasus ini, satu minggu setelah kontes itu baru ada uraian teknisnya. Bahkan sebulan setelah itu baru ada nama Payment Gateway ini. Ibaratnya, anda itu ditunjuk mekakukan pekerjaan, tetapi satu bulan kemudian anda baru tahu rincian teknis pekerjaan. Ini kan ada rekayasa.
 
Apakah bisa dibilang ini masalahnya adalah kegiatan yang dilakukan oleh pejabat tak berwenang?
 
Bukan cuma itu. Karena ini bukan wewenang dia, maka konsep kerugian negara itu ada uang keluar atau masuk yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
 
Ini (Payment Gateway) kan di-launching bulan Juli 2014. Padahal bulan Februari 2014 itu pemerintah sudah meluncurkan Modul Penerimaan Negara Generasi 2 (MPN G-2 atau Simponi). Konsepnya sama persis, tapi gratis.
 
Maka, masuklah ini ke persoalan kedua, yaitu merugikan orang. Karena seharusnya gratis, tiba-tiba bayar. Sudah bukan wewenang dia, kemudian merugikan orang lain. Merugikan masyarakat itu tidak kemudian saya ke orang bilang “kamu rugi apa tidak?” Ini kan ukuran relatif.
 
Bagaimana soal klaim bahwa Payment Gateway berdampak positif memberantas calo?
 
Tidak betul itu dikatakan menghindari pungli dan sebagainya. Sebenarnya itu tidak ada, justru sebaliknya. Apa yang dilakukan oleh Wamenkumham Denny Indrayana di situ mengesampingkan jabatan Bendahara Umum Negara. Berarti, dia sudah melawan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bendahara Negara.
 
Bisa diperjelas maksud Anda?
 
Seharusnya PNBP diterima oleh bendahara dan disetorkan ke kas negara pada hari itu diterima. Ini wajib disetorkan ke kas negara itu melalui Bank Persepsi. Nah, Bank Persepsi ini adalah bank yang ditunjuk oleh Bendahara Umum Negara, dalam hal ini Menteri Keuangan.
 
Sedangkan ini (Payment Gateway) kan tidak begitu. Dalam alasan tidak ada pungli, tapi pada dasarnya ada biaya Rp4.000-Rp5.000, masuk ke rekening bank yang bukan Bank Persepsi. Ini sudah komplit merugikan masyarakat. Sudah barang tentu ini sebagai uang yang masuk di dalam perusahaan yang melaksanakan Payment Gateway dianggap sebagai keuntungan. Menguntungkan pihak yang lain.
 
Kalau ada pernyataan bahwa selama ini mereka rugi, saya tanya, itu orang yang mengerjakan proyek Hambalang, Mahfud Suroso, untung apa enggak? Kan rugi. Seharusnya enggak ada dong kerugian negara. Kalau mereka mengatakan dari biaya yang mereka keluarkan lantas menganggap itu rugi dan tidak ada kerugian negara, seharusnya Hambalang itu harus dibebaskan semua dong orang-orang itu. Kalau dari mereka, rugi semua orang itu. Tapi perbuatan melawan hukumnya jelas dan kerugian negaranya memang ada. Nah, bagaimana cara menghitung kerugian negara? Itu membutuhkan kompetensi. Makanya, tidak bisa instansi negara diluar BPK melakukan penghitungan itu. Kecuali BPK menugaskan pihak lain, tetapi atas nama BPK.
 
Apakah proyek Payment Gateway ini memang dikerjakan atas inisiatif Denny Indrayana?
 
Dari yang kami lihat dari hasil audit, yang punya peran begitu besar itu Wamenkumham kala itu saudara Denny Indrayana.
 
Kapan BPK melihat penyimpangan Denny Indrayana dalam proyek ini?
 
Oktober 2014. Jadi, Oktober 2014 itu yang bersangkutan tidak mau memberikan keterangan. Seharusnya dia sudah mengalami pidana karena telah menghalangi pemeriksaan. Dia melarang pejabat-pejabat di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM memberikan keterangan sebelum dia memberikan keterangan. Padahal yang bersangkutan sendiri tidak mau memberikan keterangan. Laporan itu dibuat tertulis dan tidak terbantahkan. Hal-hal ini kan aneh. Ini sampai tiga kali dipanggil. Satu kali di pemeriksaan pelayanan paspor dan dua kali di PNBP.
 
Jadi sejak awal memang proyek ini sudah bermasalah?
 
Jauh sebelum itu sebenarnya Direktorat Jenderal Imigrasi itu sudah memiliki apa yang disebut cetak biru SIMKIM. Dalam SIMKIM itu, dikembangkan sebuah kebutuhan yang dilakukan untuk peningkatan kualitas pelayanan, di dalamnya itu termasuk dukungan IT. Memang pada praktiknya semenjak tahun 2002-2003 itu belum dilakukan pengembangan. Walaupun belum dilakukan pengembangan dalam artian ada perencanaan yang secara gradual, sudah ada perubahan-perubahan. Dari situ, kami ketahui ternyata cetak biru SIMKIM-nya sendiri belum dikembangkan.
 
Kemudian, paspor itu bermasalah pada database source code dan segala macam ada di situ. Ingat bahwa pola pelayanan yang menggunakan itu jauh sebelum ada Wakil Menkumham Denny Indrayana. Bagaimana ujug-ujug di tahun 2014 dia punya kegiatan ini? Kan seharusnya itu masuk dulu di rencana strategisnya, lalu ada rencana aksi di Direktorat pengembangan dan kemudian masuk ke SIMKIM.
 
Seharusnya ada perencanaan ketika orang melakukan ini. Perlu dipahami bahwa apapun rencana yang akan dilakukan oleh suatu kementerian harus sesuai dengan kewenangannya.
 
Benarkah sebelum proyek ini dijalankan, lembaga-lembaga pemerintah lain sudah mengingatkan Kemenkumham soal risiko hukumnya?
 
Dia (Denny Indrayana) memang mengundang untuk meminta pendapat tentang program tersebut. Hasilnya, mereka semua mengatakan bahwa ini kelihatannya bagus, namun ada potensi hukum. Nah, soal potensi hukum ini, semua telah menjelaskan itu.
 
Ketika ini (Payment Gateway) mau di-launch, mereka menyadari bahwa payung hukum yang melandasi program ini tidak ada. Setelah menyadari, mereka mencari dukungan ke dua lembaga, Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Dalam surat tertulis kepada Kementerian Keuangan, mereka meminta dukungan sebelum tanggal 7 Juli 2014. Tapi dalam praktiknya sebelum dukungan itu turun, tanggal 7 mereka tetap launch. Artinya, Permenkumham itu turun tidak didasarkan atas surat balasan.
 
Surat balasan itu keluarnya tanggal 11 Juli 2014 yang menyatakan bahwa Kementerian Keuangan tidak bisa mendukung dan bahkan melarang, kerena itu bukan merupakan wewenang dari Kemenkumham.
 
Jadi, ini suatu kerangka yang mesti dipahami. Saya sering menggunakan metafora seperti ini, berdasarkan salah satu ayat yang sering saya dengar waktu kecil, yaitu Al-Ashr. Al-Ashr menjelaskan kurang lebih bahwa niat yang baik itu sendiri tidak cukup, karena cara untuk mewujudkannya itu juga harus baik. Itu juga belum cukup, karena masih harus plus sabar. Kalau niat baik tapi caranya ketika mewujudkannya tidak baik, jangan-jangan dari awal kita memang tidak berniat baik. Apalagi bila tidak sabar.
 
Bagaimana reaksi pihak Kemenkumham ketika tahu proyek ini dilarang?
 
Ketika ada masalah, saya dengar Menteri Hukum dan HAM pernah mengumpulkan orang. Dari situ pak Menkumham Amir Syamsuddin bilang ini ada masalah. Kalimat instruksi dia dalam bentuk tulisan adalah “Hentikan ini. Ini sudah salah.” Ketika itu juga Denny Indrayana tidak bisa menjelaskan apa-apa.
 
Apakah benar Sekjen Kemenkumham menerbitkan surat keputusan terkait pembentukan tim pelaksana proyek ini setelah proses pemilihan vendor dilaksanakan?
 
Betul. Jadi sudah dilaksanakan, sudah ditunjuk vendor, baru suratnya dibuat. Mereka berusaha mem-backdate-nya tetapi teman-teman pemeriksa mendapatkan bukti.
 
Apa dampak buruknya ketika proyek ini dilaksanakan oleh pihak di luar pemerintah?
 
Karena mereka memakai dua vendor, ini (PNBP) masuknya bukan ke Bank Persepsi. Prosesnya lama, karena berbagai hal baru 2-3 hari kemudian masuk ke Bank Persepsi. Seperti itu.
 
Jadi itu membuat setoran ke kas negara tersendat ya?
 
Entah tersendat atau disendatkan, tunggulah hasil audit nanti.
 
BPK menilai proyek ini tidak boleh dilanjutkan?
 
Permenkumham-nya baru dicabut bulan Februari 2015. Proyek ini pun berhenti karena mengikuti rekomendasi kami kan. Kami mengatakan ada masalah di sini. Jadi, kami secara aktif mengingatkan sesuai wewenang lewat audit. Ini gawat. Ini menyangkut masalah yang terstruktur, sistematif, dan masif korupsinya. Apabila ada pegawai yang menolak ini (Payment Gateway) bisa diberhentikan, dipecat. Kemudian mereka mengangkat para pegawai yang mendukung proyek ini.
 

 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
TERKAIT
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan