Belum duduk dengan baik di kursi ruang pimpinan, ia disodorkan sebuah gawai. Ia diperlihatkan link (pranala) berita dari sebuah media daring terkait status hukum yang tersemat pada diri SZ.
"Apakah betul ini saudara," kata petinggi bank itu kepada SZ.
Dengan polos, SZ membenarkan itu memang dirinya. SZ tanpa beban mengakui hal tersebut. Meski ia merasa betul status hukum itu terlalu dipaksakan. Namun kejujuran SZ itu menjadi petaka. Seketika, pihak bank secara sepihak menyetop pemberian kredit terhadap SZ. SZ terkaget-kaget. Sudah jatuh tertimpa tangga.
"Padahal saya sudah kerjasama selama sepuluh tahun dan selama ini lancar-lancar saja," kata SZ kepada Medcom Files, pekan lalu.
SZ tersadar ia tersandera dengan status hukum tersebut. Diperparah pula ada pihak tertentu yang secara khusus melayangkan status hukumnya itu ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) tertentu, dan belakangan ia gagal lolos sebagai calon legislatif (caleg).
"Padahal kita tahu ada asas praduga tidak bersalah," terangnya.
Kisah SZ ini bisa dikaitkan dengan dampak dari cara kerja penegak hukum yang terkesan jauh dari kepastian hukum. Termasuk mereka yang bekerja di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Utamanya terkait dengan 'mudahnya' KPK menetapkan seseorang tersangka. Padahal KPK selalu meyakini penetapan tersangka itu bukan main-main dan lembaga ini tidak mungkin menjilat ludahnya sendiri mengingat tidak memiliki mekanisme surat penghentian penyidikan perkara (SP3).
Sepanjang 2018 saja, KPK menetapkan ratusan orang sebagai tersangka. Terdiri dari kepala daerah, anggota legislatif, aparat penegak hukum dan pihak-pihak lainnya. Mereka ditetapkan sebagai tersangka dengan diumumkan kepada publik.
KPK selalu melakukan gelar perkara sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka. KPK menemukan dua alat bukti sehingga bisa memberi stempel tersangka kepada siapapun.
Ironinya, pascapenetapan sejumlah tersangka, KPK tak kunjung memberi kepastian hukum. Nasib para tersangka itu terkatung-katung hingga bertahun-tahun lamanya.
KPK dinilai lamban menuntaskan kasus yang semula diyakini memiliki dua alat bukti yang sah. Ambil contoh kasus dugaan korupsi dalam pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) yang menjerat mantan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino (RJ Lino).
RJ Lino ditetapkan sebagai tersangka pada 2015. Namun hingga kini nasib Lino masih belum jelas.

Tersangka kasus pengadaan Quay Container Crane (QCC) di PT Pelindo II Richard Joost Lino. (Foto: MI/Bary Fathahillah)
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR pada Senin 1 Juli 2019, Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkapkan kasus Lino tinggal menyelesaikan penghitungan kerugian negara. Ia menjanjikan kasus Lino tuntas dalam sebulan.
"Dalam sebulan terakhir ini selesai. Setelah itu perkaranya bisa dilimpahkan ke pengadilan," kata Agus saat itu.
Jika sesuai dengan janji Agus, pada 1 Agustus 2019, Lino seharusnya sudah dibawa ke meja hijau. Namun sampai di penghujung Agustus, tidak ada kabar lagi soal Lino akan duduk di bangku terdakwa. Janji Agus offside hampir genap satu bulan.
Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa sejak awal geram dengan kinerja KPK. Ia mempertanyakan kinerja KPK yang lamban itu.
"Apa yang dilakukan KPK menetapkan tersangka, tapi didiamkan, itu penyanderaan," kata Desmond, Jumat 6 April 2018.
Pula terhadap mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Emirsyah Satar. KPK memberi stempel tersangka terhadap Emirsyah pada 19 Januari 2017 terkait dugaan suap pembelian pesawat.
Kasus Emirsyah tidak kunjung dilimpahkan ke pengadilan hingga hari ini, Rabu 28 Agustus 2019. Emirsyah menjalani hari-hari ketidakpastian selama 2 tahun, 7 bulan, 11 hari.
Hari-hari Emirsyah banyak di luar. Karena sejak awal ia tidak langsung ditahan. Tentu perasaan tidak nyaman terus menggelayuti dirinya. Baru sekitar tiga pekan terakhir ini saja, ia akhirnya ditahan KPK.

Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Emirsyah Satar. Foto: ANTARA/Reno Esnir
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad mengatakan pengusutan kasus yang lamban itu dikarenakan dua hal. Pertama soal teknis. Biasanya karena terbatasnya jumlah penyidik, kesulitan alat bukti dan soal skala prioritas penanganannya. Kedua non-teknis. Seperti halnya pertimbangan politik, ekonomi atau kemasyarakatan.
Meski demikian, Suparji menyesalkan banyaknya kasus mangkrak. Ia mengatakan seharusnya KPK sudah memperhitungkan durasi penyelesaian penyidikan demi kepastian hukum.
"Selain itu, KPK juga harus mempertimbangkan faktor nasib tersangka dan keluarganya jika tidak ada kejelasan kasus hukum," kata Suparji kepada Medcom Files, Selasa 27 Agustus 2019.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad. (M Rodhi Aulia).
Dari kisah SZ saja, bisa dibayangkan bagaimana nasib tersangka yang kasusnya mangkrak bertahun-tahun. Penyematan status hukum itu melahirkan turunan konsekuensi buruk, apalagi statusnya terus digantung.
Kepada tersangka yang disorot publik saja, KPK tidak sigap merampungkan tugas-tugasnya. Bagaimana dengan para tersangka yang tidak dikenal publik dan tidak disorot moncong kamera?
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) serius melototi kasus-kasus yang mangkrak. Selain kasus Lino, MAKI juga memelototi TPPU Tubagus Chaeri Wardana (Wawan) yang mangkrak sekitar 5 tahun, dan kasus bailout bank Century juga mangkrak 5 tahun.
Pada Rabu 21 Februari 2018, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan pihaknya hampir menuntaskan pemetaan aset milik Wawan. Namun KPK terkendala dengan status Wawan sebagai swasta yang tidak pernah melaporkan LHKPN.
Saat itu, Febri menuturkan, pihaknya masih membutuhkan keterangan para saksi-saksi TPPU dengan tersangka Wawan. Febri mengatakan penyidik berkoordinasi dengan penuntut, dan meyakini kasus ini bisa rampung cepat.
"Saya sudah cek, koordinasi tim penyidik dengan tim penuntut umum sudah dilakukan. Semoga tidak ada hambatan-hambatan dan proses yang lebih panjang penanganan perkaranya," ujarnya.
Koordinator MAKI Boyamin Saiman hakul yakin kasus mangkrak itu lebih banyak ke persoalan non-teknis. Dia menyebut faktor non-teknis itu berupa tekanan dari kekuasaan.
KPK memang lembaga independen. Bisa mengklaim bebas dari intervensi siapapun. Akan tetapi, kesan 'lembek' terhadap pihak-pihak tertentu, nyaring terdengar.
"Dalam perkara di atas nyatanya KPK bisa ditekan. Apapun KPK isinya juga manusia biasa," kata Boyamin kepada Medcom Files, Selasa 26 Agustus 2019.
Bahkan Boyamin sudah mengajukan gugatan praperadilan atas mangkraknya kasus-kasus tersebut.
"Mungkin ini kasus mangkrak rekor terlama di KPK karena sudah berlangsung lebih dari 5 tahun dan perkara pokoknya korupsi juga sudah diadili namun hingga kini kasus TPPU Wawan tidak ada kabarnya," ujarnya.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman. Foto: Antara/M Agung Rajasa
Momen Seleksi
Dari kemarin hingga besok, Panita Seleksi Calon Pimpinan (Pansel Capim) KPK sibuk melakukan uji publik dan wawancara terhadap 20 orang yang lolos. Ini kesempatan bagi Pansel meminta jaminan kepada mereka agar dapat menuntaskan kasus-kasus mangkrak.Pasalnya pansel dan panelis memiliki waktu satu jam mengorek keterangan langsung dari capim. Dari sana, Pansel pasti mendapatkan gambaran utuh mengenai komitmen dan kepribadian capim.
Di hari pertama uji publik, capim petahana, Alexander Marwata sepakat penetapan tersangka tanpa tindaklanjut hingga pengadilan--merupakan pelanggaran HAM. Ia pun mengakui pihaknya pernah berjanji di hadapan komisi III untuk penuntasan kasus, namun terkendala alat bukti tambahan.
Kemudian pada tanggal 30 mendatang, Pansel mengerucutkan para capim menjadi 10 orang. Nama-nama itu diserahkan kepada Presiden Jokowi melalui Mensesneg.
"Kemudian, 10 nama yang diterima Presiden, terserah beliau, akan diserahkan segera ke DPR atau tidak," kata Ketua Pansel Yenti Garnasih di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Senin 26 Agustus 2019.

Ketua Panitia Seleksi Capim KPK Yenti Garnasih--Foto: MI/Susanto.
Tentunya proses akhir akan berlangsung di Komisi III DPR. Para capim akan dijaring kembali menjadi lima orang dan ditetapkan dalam rapat paripurna.
"Saya berharap capim yang dipilih adalah mereka yang berintegritas, profesional dan independen. Kemudian yang ada keberanian menandatangani integritas untuk secara cepat menyelesaikan perkara," tuntas Suparji.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News