medcom.id, Jakarta: Siluet burung berwarna biru dijadikan logo operator taksi Blue Bird sejak awal pendirian. Gambar ini dianggap sebagai lambang keberuntungan. Mengambil inspirasi dari dongeng Eropa tentang seorang gadis yang berhasil meraih kebahagiaan atas kebaikan si burung biru, Mutiara Djokosoetono akhirnya bertekad mendirikan perusahaan taksi ini pada 1972. Hingga berpuluh tahun kemudian, Blue Bird mewujud sebagai penguasa taksi nasional yang menggerakkan puluhan ribu armada di sebanyak 16 kota di Indonesia.
Boleh dibilang, dalam sepanjang sejarahnya Blue Bird berhasil menancapkan kesan sebagai operator taksi terpercaya yang menyuguhkan predikat aman dan nyaman bagi para pelanggan setia. Hingga kemudian tantangan baru itu hadir, keniscayaan digital memengaruhi rasa kebanggaan yang telah dibangun sejak beberapa dekade lampau. Aksi demonstrasi berakhir ricuh menyeret nama Blue Bird sebagai pihak yang turut bertanggung jawab dan menerima imbas soal kepercayaan.
“Semua selalu ditantang. Dulu waktu awal beroperasi Blue Bird juga didemo dimana-mana. Sekarang ada teknologi baru juga didemo. Teknologi tidak bisa ditantang,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla saat memberikan arahan di Auditorium Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Jalan Pattimura, Kebayoran Lama, Jakarta, Selasa (22/3/2016).
Merangkai kekuatan
Kemunculan Blue Bird di Indonesia menambah nilai jasa transportasi nasional. Ia muncul dengan menggaungkan prinsip pelayanan ekstra kepada para penumpang. Keberhasilan Blue Bird dalam menancapkan kesan tersebut diakui dibangun dalam keringat dan masa yang tidak sedikit. Tahap demi tahap ditempuh untuk menggapai apa yang diinginkan.
Generasi ketiga keluarga Djokosoetono yang kini menjabat sebagai Direktur PT Blue Bird Grup Tbk Andre Andrianto Djokosoetono mengisahkan perjalanan panjang si burung biru. Menurut dia, banyaknya anggapan bahwa Blue Bird telah menggerakkan usaha taksi dengan kapasitas besar sejak awal pendirian adalah pendapat yang keliru.
“Kami tidak langsung seperti ini. Kami bergerak secara organik. Berpuluh tahun kami berjuang untuk tumbuh dengan prinsip pelayanan terbaik, konsisten, serta melakukan inovasi yang berkelanjutan,” kata Andre kepada medcom.id di Kantor Pusat PT Blue Bird Grup Tbk di kawasan Mampang, Jakarta.
Pada Mei 1972, jalan-jalan di Jakarta mulai diramaikan dengan kehairan taksi-taksi berwarna biru berlogo burung yang mulai dikenal banyak orang. Mulai 1985 Blue Bird terus menambah jumlah armada hingga mencapai 2.000 unit. Blue Bird terus memperbaharui berbagai sistem guna memaksimalkan layanan kepada para penumpang. Kesan yang kini hinggap kepada pihaknya sebagai perusahaan konvensional yang memprotes keberadaan sistem dan pola canggih taksi online juga dibantah.
Soal teknologi ini, Andre menuturkan, dalam sejarah Blue Bird media komunikasi dan reservasi awalnya hanya menggunakan radio call yang hanya bersifat satu saluran saja. Kemudian kami beralih ke ANI (Automatic Number Identification), lalu diganti dengan system GPS (Global Positioning System).
“Kini GPS pun disinkronisasi dengan semua sistem, termasuk peluncuran aplikasi pemesanan pada 2011 lalu. Jadi, protes sopir kami kemarin itu bukan soal teknologi, tapi soal keadilan dan kesetaraan perlakuan di mata undang-undang,” kata Andre.
Bermula dari taksi rumahan
Layanan pertama si burung biru bernama Golden Bird yang kemudian dikenal sebagai Chandra Taksi. Taksi ini khusus melayani penumpang asing yang sedang berkunjung di Jakarta. Terkait banyaknya referensi yang mengatakan bahwa Blue Bird pun bermula dari operator taksi ilegal, Andre membantah hal tersebut terkait masih minimnya regulasi tentang transportasi yang diterbitkan masa itu.
“Dulu ya tidak bernama. Cuma karena yang punya Ibu Mutiara Djokosoetono yang memiliki anak bernama Chandra maka pelanggan menyebutnya Chandra Taksi. Bukan ilegal, cuma memamang karena waktu itu belum ada regulasi taksi meter. Kami hanya dikenakan aturan taksi sewa,” kata Andre.
Perolehan izin secara total baru diterima Blue Bird pada era Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Andre menceritakan, rumitnya perolehan izin operasi saat itu terkait pendirian Blue Bird yang tidak memiliki latar belakang sebagai perusahaan transportasi. Hingga kemudian Blue Bird mendapatkan izin setelah Mutiara Djokosoetono menghimpun testimoni para penumpang perihal layanan yang telah diberikan.
“Awalnya kami tidak memiliki latar belakang sebagai perusahaan transportasi. Hanya usaha rumahan. Namun Ibu Chandra dengan cermat menghimpun testimoni pelanggan. Barulah kami mendapat izin. Itu pun karena katanya menghormati Bapak Djokosoetono sebagai pahlawan,” kata Andre.
Djokosoetono merupakan salah satu pendiri dan Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Pada 6 September 1965, Djokosoetono meninggal. Sebagai bentuk penghargaan atas pengabdian semasa hidup, PTIK menghibahkan dua buah mobil bekas bermerk Opel dan Mercedes. Kedua mobil ini pula yang menurut Andre sebagai cikal bakal kemunculan ide usaha jasa taksi yang dirintis neneknya.
“Semua dirintis dari kesederhanaan dan kerja keras,” kata dia.
Sekilas, perjalanan sejarah ini hampir mirip dengan kehadiran layanan taksi berbasis aplikasi yang sedang dikeluhkan manajemen Blue Bird. Terkait hal itu, Andre mengaku tidak menyoal kekhawatiran dalam persaingan bisnis yang dilakoni, melainkan aturan main yang jelas dan setara.
“Bedalah, karena sekarang kami butuh regulasi yang setara. Kalau bisnis, Blue Bird masih sangat yakin,” kata Andre.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News