medcom.id, Jakarta: Menteri Koordinator Kemaritiman, Indroyono Soesilo, menyatakan bahwa pariwisata adalah sesuatu yang harus dibangun supaya ekonomi negara membaik. Menurut Indroyono, sektor pariwisata akan menjadi penghasil devisa terbesar negara, di atas migas, batubara, kelapa sawit dan karet alam.
Ia menjelaskan, data yang diperolehnya menunjukkan bahwa akan terjadi tren kenaikan devisa yang dihasilkan dari sektor pariwisata di tahun 2019. Pemerintah telah menargetkan dapat menggaet wisatawan mancanegara (wisman) di tahun 2015 ini sebanyak 10 juta orang. Dengan asumsi, perolehan devisa negara dari sektor pariwisata akan mencapai US$12 miliar. Sedangkan di tahun 2019, jumlah target wisman mencapai 20 juta orang dengan pemasukan negara sebesar US$24 miliar.
Sebab diprediksi, akan terjadi tren penurunan devisa dari sektor Migas, batubara, kelapa sawit dan karet alam sepanjang tahun 2015 sampai 2019. Hal ini akan membut sektor pariwisata menjadi andalan pemerintah untuk menjadi penghasil devisa terbesar negara. Nampaknya, kebijakan bebas visa untuk 30 negara yang diterapkan pada bulan Maret lalu juga turut mengamini betapa strategisnya sektor pariwisata saat ini.
Dengan diberlakukannya kebijakan bebas visa 30 negara, Indonesia mengincar wisatawan mancanegara dari 16 negara yang menjadi pangsa pasar. Namun, ada lima negara yang menjadi target utama Indonesia untuk menuju capaian pemerintah dalam jumlah wisman. Kelima negara itu berturut-turut adalah Singapura, Malaysia, Tiongkok, Australia dan Jepang.
Di tahun 2015, guna mencapai target 10 juta wisatawan mancanegara, pemerintah berambisi menarik sebanyak 2 juta turis dari Singapura, 1,7 juta dari Malaysia, 1,3 juta dari Tiongkok, 1,1 juta dari Australia dan 529 ribu dari Jepang. Target ini pun naik dua kali lipat di tahun 2019, yaitu 3,7 juta wisatawan mancanegara dari Singapura, 3,2 juta dari Malaysia, 2,3 juta dari Tiongkok, 2,1 juta dari Australia dan 985 ribu dari Jepang.
“Tahun ini targetnya 10 juta wisatawan mancanegara. Kalau satu orang itu membelanjakan US$1.200, maka akan didapatkan US$12 miliar pemasukannya. Maka 2019 itu bisa US$24 miliar. Ini juga ditunjang dengan bebas visa, dan sekarang ada 45 negara yang bebas visa,” ujar Indroyono di kantornya, Selasa (16/6/2015).
Terlepas dari seberapa besar target pemerintah dalam mencapai jumlah wisatawan asing dan devisa negara, ada beberapa hal yang perlu menjadi bahan renungan. Kita semua sepakat bahwa sumber daya alam Indonesia sudah menjadi perhatian dunia. Sumber daya alam yang melimpah, ditambah dengan beragamnya kultur kebudayaan masyaratnya, seakan-akan potensi pariwisata Indonesia tidak akan habis bila dieksplorasi.
Potensi tidak didukung tata kelola
Namun kenyataannya, sektor pariwisata Indonesia tidak pernah menduduki posisi lima besar terbaik dunia. Bahkan, pada tahun 2013 Indonesia menduduki peringkat 50 dari 144 negara yang disurvei. Hal ini menandakan bahwa tata kelola dan manajemen pariwisata di Indonesia selama ini dapat dikatakan kurang baik. Kondisi ini terlihat dari pengelolaan lingkungan sekitar resort dan buruknya infrastruktur, yang berkebalikan dengan dengan keadaan sumber daya alam yang melimpah ruah.
Data dari Travel & Tourism Competitiveness Report 2013 menyebutkan bahwa kondisi lingkungan keberlanjutan di area resort Indonesia menduduki posisi yang rendah di dunia, yaitu berada di urutan 125. Hal ini juga terjadi pada keadaan kesehatan dan kebersihan di lokasi tempat wisata yang jorok, yaitu menduduki urutan 112. Padahal, prioritas sektor pariwisata di Indonesia dapat dikatakan dapat diandalkan untuk menjadi penyumbang devisa negara, yaitu urutan ke 19 di dunia. Namun, lagi-lagi keadaan ini tidak didukung dengan infrastruktur pariwisatanya, yang menepati urutan 113.
“Kita itu kalau di dunia itu nomor 50 dari 144 negara yang disurvei. Tapi untuk kesehatan dan kebersihan itu, kita nomor 112. Artinya, Indonesia itu jorok. Padahal kalau dilihat di sumber daya alam kita nomor 9, bagus. Tapi untuk masalah kesehatan dan kebersihan nomor 112,” imbuh Indroyono.
Kondisi ini sungguh memprihatinkan, ia menambahkan, mengingat daya saing harga dalam industri pariwisata di Indonesia yang dapat dikatakan terbaik di dunia. Seluruh dunia akan dapat mengakses wisata di Indonesia karena harganya yang murah. Ditambah lagi sumber daya alamnya yang potensial menduduki posisi enam besar di dunia. Ini menandakan bahwa pemerintah Indonesia kurang bisa mengelola potensi sumber daya pariwisatanya dengan baik untuk dijadikan sektor prioritas. Sehingga, jangankan di dunia, di kancah Asia Tenggara saja sektor pariwisata Indonesia menduduki peringkat keempat. Indonesia kalah dengan Singapura, Malaysia dan Thailand.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Panowo, mengakui kendala itu memang kenyataan yang terjadi. Maka dari itu pembahasan mengenai penataan industri pariwisata harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan di dalamnya. Karena, peran menjaga kewibawaan dalam industri wisata ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah.
"Kita memang harus lakukan edukasi terhadap kesadaran orang tentang wisata. Karena sadar wisata ini yang belum ada. Misalnya semua sadar bahwa lingkungan harus bersih, sadar harus menguasai bahasa asing, dan lain sebagainya," kata Ganjar kepada medcom.id.
Kemudian, soal perilaku dan etika sebagai prinsip utama menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam industri pariwisata pun perlu dipelihara. Misalnya di Candi Borobudur, perilaku para penjual di kawasan wisata itu sudah mulai diubah. "Kalau dulu kan perilaku menjualnya memaksa, satu orang dikeroyok para penjual begitu, sekarang sudah tidak begitu lagi. Jadi baguslah, kalau menurut saya. Nah, ini yang memang perlu dibangun, upaya kita memang harus tinggi untuk persoalan ini," kata Ganjar.
Mengapa kondisi ini dapat terjadi?
Beberapa pihak menilai tata kelola sektor pariwisata Indonesia lah yang masih kurang baik. Menurut Pendiri Komunitas Historia Indonesia (KHI) Asep Kambali, buruknya infrastruktur pariwisata dan masalah kesehatan-kebersihan resort, terjadi karena belum adanya koordinasi antara stakeholder di sektor pariwisata. Seperti halnya, ketika menangani masalah kebersihan dan kesehatan lokasi resort, seharusnya ada koordinasi dari Pemda yang dalam hal ini Dinas Kebersihan, Dinas Pariwisata dan pihak pengamanan untuk bekerjasama mengkondusifkan tempat wisata yang menjadi tanggungjawabnya.
Selain itu, pemerintah juga tidak bisa bekerja sendirian dalam mengelola tempat pariwisata yang ada. Perlu adanya koordinasi antara pemerintah dan swasta untuk menunjang pengelolaan pariwisata tersebut. Hal ini dikarenakan, dengan tidak adanya koordinasi inilah yang nantinya malah justru menyulitkan dalam mengeksplorasi tempat wisata secara optimal, baik itu wisata alam, dunia, atau museum. Sebagai contoh, akibatnya, tempat wisata itu tidak memiliki penyediaan lahan parkir yang baik, sampah dimana-mana, dan sulitnya akses tempat makan dan penginapan. Di Indonesia, standarisasi baik infrastruktur maupun pelayanan adalah hal yang perlu diperbaiki terus-menerus.
Menanggapi anggapan tata kelola sektor pariwisata yang buruk, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) angkat bicara. Menurut Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Industri Pariwisata Kemenpar, Dadang Rizki Ratman, dalam tata kelola di sektor pariwisata Kemenpar sudah menjalin kerjasama yang erat dengan Kementerian Perhubungan dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan terkait masalah infrastruktur. Infrastruktur untuk menunjang sektor pariwisata tersebut antara lain berupa akses terhadap bandara, pelabuhan laut dan jalan raya.
“Kita mencoba berkoordinasi dengan kementerian lain untuk memperbaiki kinerja dan layanan pariwisata. Memang membutuhkan waktu yang agak lama untuk menyiapkan itu, misalnya seperti untuk menyiapkan Tanjung Lesung kan nanti akan ada jalan tol, nah itu kan jalan tol baru selesai 2018. Dengan berhasilnya jalan tol itu nanti akan memberikan kemudahan wisatawan berkunjung ke situ. Artinya intinya kita koordinasi sinergi lintas sektor untuk mendukung satu kawasan pariwisata,” ujar Dadang kepada medcom.id di kantornya, Jumat (19/6/2015).
Menanggapi data dari travel and tourism competitiveness report 2013 yang menempatkan infrastruktur pariwisata, keberlanjutan lingkungan, kesehatan dan kebersihan pada posisi yang kurang baik, Dadang justru mengkritiknya. Dadang menyarankan supaya masyarakat tidak secara mentah-mentah mencerna data itu tanpa melihat kondisi sebenarnya. Sebab, hasil survei tersebut juga semestinya perlu dikritisi indikator yang dipakainya.
“Belum tentu buruk itu seperti yang dibayangkan oleh orang biasa. Karena indikator yang dipakai berbeda. Jadi harus di dilihat, bisa dikatakan buruk itu kalau indikatornya apa dulu?,” imbuh Dadang.
Dadang menambahkan,saat ini kebijakan yang dikeluarkan pemerintah memang bertujuan untuk meningkatkan kunjungan wisatwan mancanegara. Sebab, dengan meningkatnya kunjungan wisatawan mancanegara, devisa akan meningkat. Seiring bertambahnya pemasukan devisa ini secara langsung atau tidak langsung juga akan berdampak kepada perbaikan layanan-layanan (infrastruktur dan tenaga kerja) di tempat pariwisata. Tidak hanya itu, dampak kebijakan ini juga akan berpengaruh terhadap kondisi ekonomi masyarakat setempat dan budayanya yang pastinya berpotensi menjadi terkenal.
Ketidakjelasan konsep wisata nasional
Kebijakan pemerintah yang berambisi meningkatkan jumlah wisatawan mancanegara patut diapresiasi. Ditambah lagi dengan kebijakan pembebasan visa bagi 45 negara, yang membuka peluang tercapainya target itu. Namun Asep menghimbau, jangan sampai program ini tidak dibarengi dengan upaya pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia.
“Soalnya kalau ini sudah dibuka dan digratiskan, maka takutnya nanti akan banyak wisatawan yang kecewa, yang istilahnya dia (wisman) dapat zonk. Ini jadi akan merugikan kita,” ujar Asep.
Asep menjelaskan bahwa kesan dari para wisatawan mancanegara sangat memiiki nilai yang strategis dalam komunikasi publik dan promosi. Apabila para wisatawan mancanegara mendapatkan kesan negatif, tentunya juga akan membuat citra buruk bangsa.
Oleh sebab itu, lanjut Asep, kesan pertama harus dibangun dari bandara, jalan raya dan dari agen-agenya wisatanya. Bahkan, pemerintah juga perlu mengonsepkan untuk memberikan sambutan yang meriah di destinasi wisata, keramahan pelayanan dan fasilitas pendukung seperti restoran, toliet serta hotel atau penginapan. Akan tetapi, konsep ini nampaknya sulit untuk diterapkan secara menyeluruh di tempat wisata seluruh Indonesia.
“Kalau Indonesia menjual wisata glamour saya kira sangat susah. Tetapi ada ide yang baik, dari Indonesia yang menjual sisi petualangannya. Jadi ketika turis berhadapan dengan jalan raya yang rusak, ‘ini baru adventure’,” tukas Asep.
Supaya tidak menimbulkan kekecewaan bagi wisatawan mancanegara, seharusnya pemerintah membuat grand design konsep pariwisata Indonesia yang jelas. Nantinya secara umum wisata di Indonesia akan terlihat seperti apa bentuknya. Apakah pemerintah akan membuatnya dalam kategori glamor ataukah akan membuatnya terlihat lebih adventure. Karena selama ini konsep wisata di Indonesia di satu tempat dengan yang lainnya memiliki konsep yang berbeda-beda. Upaya ini perlu dicanangkan, mengingat kondisi aksesibilitas dari bandara ke tempat-tempat wisata di Indonesia yang sebagian besar sangat memprihatinkan. Maka dari itu, menurut Asep, konsep wisata glamor di Indonesia sulit dterapkan.
“Selain banyaknya jalan rusak, juga ada jalan yang belum diaspal dan artinya banyak hal yang belum kita benahi terlebih dahulu. Tetapi, kita sebenernya bisa akal-akalan saja kalau mau nekat dan berani bilang bahwa Indonesia mempersembahkan petualangan. Jadi jangan dibikin senyaman-nyamannya,” jelas Asep.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News