medcom.id, Jakarta: Awal Februari 2009, sebuah pesan singkat (short massage service/SMS) terkirim ke telepon genggam NokiaE-90. "Masalah ini cukup kita berdua saja yang tahu. Kalau sampai terbongkar, tahu sendiri konsekuensinya”, bunyi isi SMS itu.
Si empunya ponsel tersebut, Nasrudin Zulkarnaen, sekonyong-konyong kaget saat membaca SMS teror itu. Hatinya gusar, tak tenang. Apalagi, dia melihat si pengirim pesan adalah temannya sendiri, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar.
Kecemasan Nasrudin menjadi-jadi. Pada 20 Februari 2009, Nasrudin yang saat itu menjabat Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran (PRB), menunjukkan SMS teror kepada kerabat dekatnya, Jeffry Lumempouw dan Etza Imelda Fitri. Nasrudin takut sesuatu akan terjadi kepadanya.
Firasat Nasarudin nyatanya benar. Sabtu 14 Maret 2009 sekira jam 14.30 WIB, Nasrudin tewas ditembak pembunuh bayaran. Lokasi Penembakan di Jalan Hartono Raya Modern Land, Tangerang. Almarhum mengalami dua luka tembak di bagian pelipis kiri.
Hasil Visum et RepertumNomor: 1030/SK.II/03/2-2009 tertanggal 30 Maret 2009 yang dikeluarkan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menunjukkan, luka tembak merupakan luka tembak jarak jauh. Anak peluru berasal dari senjata api caliber 0,38 tipe S & W.
Polisi langsung mengusut kasus penembakan Nasrudin. Nama Antasari terendus. Satu setengah bulan pascapenembakan, Antasari ditetapkan sebagai tersangka bersama delapan tersangka lainnya. Dia disangka menjadi otak di balik pembunuhan. Dia terancam hukuman mati. Bukti yang menguatkan, Antasari pernah mengirim SMS bermuatan ancaman ke handphone milik korban.
Kasus Antasari sontak menjadi topik utama pemberitaan media. Publik dibuat geger. Antasari yang dielu-elukan karena keberhasilannya membongkar sejumlah kasus korupsi yang dilakukan pejabat harus terlilit kasus kejahatan.
Merasa tak bersalah atas kasus pidana yang menewaskan Nasrudin, Antasari mencoba membela diri. Berbagai upaya hukum sudah ditempuh hingga tingkat kasasi. Tapi, hasilnya nihil. Mahkamah Agung (MA) juga menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukannya. Antasari tetap harus menjalani vonis 18 tahun penjara sesuai putusan Pengadilan tingkat pertama.
Bantah kirim SMS
Gara-gara SMS teror, Antasari harus merasakan dinginnya lantai penjara. Pada Kamis 10 November 2016, ia dinyatakan bebas bersyarat. Namun, mantan Ketua Dema FH Unsri Palembang ini tetap tak merasa bersalah. Alasannya, ia tak pernah mengirim SMS ancaman ke ponsel korban. Antasari hakul yakin, ada aktor lain yang sengaja merancang skenario untuk menjerumuskannya.
“Kapan saya bikin SMS kayak begitu?,” kata Antasari kepada medcom.id, Sabtu 18 Februari 2017.
Antasari punya kebiasaan. Dia mengaku tak pernah menulis SMS dengan kalimat panjang. Dia selalu menulis dan membalas SMS dengan kalimat singkat, sekenanya saja. “Nah, kok panjang banget seperti itu? Saya (biasanya) mengetik SMS singkat-singkat saja,” imbuh dia.
Antasari mengakui pernah berkomunikasi dengan Nasrudin melalui SMS dan telepon. Tapi, obrolan keduanya terkait upaya pemberantasan korupsi. Nasrudin punya banyak jaringan, dia sering menyuplai informasi dugaan korupsi di berbagai instansi.
“Dia pemasok informasi korupsi, sering memberikan data-data korupsi kepada saya, itu saja. Terakhir dia memberikan informasi korupsi di PT RNI (Rajawali Nusantara Indonesia),” ungkap Antasari.
Kini Antasari sudah menghirup udara bebas. Presiden Joko Widodo mengabulkan grasinya. Segala bentuk hak warga negara telah kembali, baik hak sipil maupun hak politik. Dia menolak anggapan bahwa mengajukan grasi bermakna mengakui kesalahan. “Itu adalah persepsi keliru,” kata dia.
Benang Kusut
Seperti ingin membuka kotak pandora. Rasa penasaran itu masih kuat. Antasari ingin kasusnya. Terungkap secara gamblang. Ia menilai, persidangan terhadap kasus yang menjeratnya delapan tahun lalu penuh konspirasi.
Tak berlama-lama, 20 hari setelah bebas murni, Antasari langsung mengambil ancang-ancang. Didiampingi Andi Syamsudin, adik Nasrudin, dan tim kuasa hukum, Antasari menyambangi Bareskrim Mabes Polri. Mereka melaporkan dua kasus berbeda. Pertama, terkait perkara dugaan penyalahgunaan teknologi informasi (TI) melalui SMS dan dugaan saksi palsu yang mengaku melihat SMS ancaman tersebut.
Antasari yakin betul ada kejanggalan dalam kasusnya. Kejanggalan yang paling mencolok adalah tentang keberadaan SMS ancaman dan saksi yang melihat SMS tersebut. Saat penyidikan, pria kelahiran Pangkal Pinang itu mengaku tidak pernah dikonfirmasi terkait SMS bernada ancaman. Tahu-tahu, SMS ancaman muncul di surat dakwaan.
“Saya tidak pernah dikonfirmasi masalah itu (SMS ancaman). Ketika dakwaan dibacakan, muncul itu. Sedangkan sebagai jaksa, saya kan (mantan) jaksa, JPU-nya waktu itu Cirus Sinaga membacakan dakwaanya menyebut itu, bahwa terdakwa lah yang menghendaki matinya korban,” ujar Antasari.
Bertambah aneh, penyidik tidak berupaya membuktikan keberadaan SMS bernada ancaman itu. Kata Antasari, penyidik hanya menggunakan keterangan dua saksi yakni Jeffry dan Etza. Penyidik tak menggunakan keterangan ahli.
“Katakanlah dia (Jeffry dan Etza) pernah melihat, tapi itu tidak menjawab bahwa yang membuat SMS itu saya. Kenapa tidak ada ahli saat penyidikan? Saya juga berpikir kalau dipanggil saat penyidikan, ahli membuktikan tidak ada, saya kan tidak jadi dipenjara,” kata Antasari.
SMS tanpa nomor
Ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. SMS ancaman itu antara ada dan tiada. Pembuktian keberadaan sms itu pun disebut lemah. Dua saksi memang mengaku melihat SMS ancaman itu. Apa lacur, saksi tidak mengantongi bukti keberadaan SMS misterius itu. Saksi juga tidak menerima forward SMS ancaman dari Nasrudin.
Di dalam surat dakwaan, saksi Jeffry dan Etza mengaku diperlihatkan sms bernada ancaman oleh Nasrudin. Di bawah sumpah, saksi Etza mengatakan melihat SMS bernada ancaman, ada nama Antasari tanpa nomor.
"Bahwa Pak Jeffrey bilang, ini lho, Ca (Etza). Pak Zul (Nasrudin) lagi ada masalah. Lalu Pak Zul bilang, ini lho Mbak, saya punya masalah dan langsung membuka telepon Nokia E-90 memperlihatkan SMS yang isinya tidak saksi ingat keseluruhan. Tapi, yang saksi ingat, (bunyi sms itu)maaf Mas, masalah ini yang tahu hanya kita berdua kalau sampai terblow up tahu konsekuensinya, ada nama Antasari tanpa nomor, saksi baca dalam keadaan layar terbuka." Isi pernyataan Etza.
Ada yang aneh pada SMS bernada ancaman itu. SMS tanpa nomor, hanya nama saja. Jenis SMS ini bukan layanan SMS biasa. SMS tanpa nomor merupakan layanan SMS Masking. Perusahaan provider tidak menyediakan fasilitas SMS Masking kepada individu.
SMS Masking juga dikenal dengan istilah SMS Broadcast, SMS Blast, SMS Bulk, dan SMS Gateway. Layanan SMS Masking biasanya untuk kepentingan korporasi, seperti untuk promosi dan sosialisasi. SMS Masking tidak bisa dibalas.
Pengiriman SMS Masking menggunakan alpha sender ID, yakni nama pengirim adalah abjad yang biasanya nama perusahaan, bukan nomor handphone. Pengiriman SMS Masking membutuhkan koneksi internet.
Umumnya, pendaftaran SMS Masking bisa melalui dua cara; Pertama, melalui jejaring (website) di internet, dan melalui software.
Pendaftaran SMS Masking melalui website terbagi dua cara, bisa mendaftar secara mandiri dan melalui penyedia jasa layanan SMS Masking. Pendaftaran mandiri lebih praktis dan mudah, cukup login dengan username dan password, bisa langsung mengirim SMS Masking. Bahkan, beberapa website tidak memungut biaya pengiriman SMS, namun pengiriman SMS dibatasi.
Jika melalui penyedia jasa lebih rumit. Ada syarat pendaftaran. Berkas persyaratan harus melalui pemeriksaan perusahaan provider. Pendaftar SMS Masking betul-betul diawasi.
Dhanny, salah seorang penyedia jasa SMS Masking mengungkapkan, pendaftaran SMS Masking harus korporasi yang dibuktikan dengan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan syarat lainnya. Jika syarat terpenuhi, maka pendaftar akan mendapat username dan pin. Pendaftar akan menerima sebuah link dan diminta memasukkan username dan pin untuk memilih fitur layanan SMS Masking.
Tarif SMS Masking berbasis paket dan fitur SMS yang dipilih. Penyedia jasa menawarkan paket per bulan, enam bulan dan satu tahun. Harga setiap paket berbeda-beda.
“ID sender maksimal 11 karakter, termasuk spasi, bisa apa saja. Kalau mau ganti ID sender kalau paketnya sudah habis,” jelas Dhany.
Gayung bersambut, keterangan saksi Etza seakan memperkuat keterangan saksi ahli Agung Harsoyo. Agung adalah Pakar teknologi informasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Dia pernah menjadi saksi meringankan untuk Antasari. Di hadapan hakim, dia sempat melakukan demontrasi berupa mengirim SMS tanpa diketahui nomor pengirim.
Ketika itu, Agung meminta sukarelawan yang bersedia menyerahkan handphone untuk bahan peraga. Pengacara Antasari Azhar, Juniver Girsang dan seorang wartawan menjadi sukarelawan.
Nomor handphone Juniver digunakan sebagai pengirim dan nomor wartawan sebagai penerima. Kedua handpone tersebut dalam keadaan mati.
Agung menawarkan Hakim Ketua Heri Suwantoro pesan apa yang hendak dikirim. Hakim Heri meminta pesan berisi ‘Hari ini cerah’. Agung pun mengetik SMS sesuai permintaan hakim di perangkat laptop yang terhubungan dengan internet. Agung memngetik SMS pada sebuah website yang dia rahasiakan.
Ketika ponsel wartawan dinyalakan, maka muncul notifikasi SMS masuk berisi ‘Hari ini cerah’. Cukup mengejutkan, SMS itu berasal dari Juniver. Sementara ponsel Juniver masih dalam keadaan tidak menyala.
Saat itu, istilah SMS Making atau semacamnya belum populer. Agung menyebut mengirim SMS tanpa diketahui nomor pengirimnya bisa dilakukan melalui web server.
Lagi pula, kata Agung, berdasarkan hasil analisa pada call detail record (CDR) tidak ditemukan SMS dari Antasari yang bernada ancaman kepada Nasrudin. Dia mengungkapkan, semua aktivitas komunikasi tercatat di CDR setiap operator, baik itu SMS, telepon masuk, telepon tak terjawab (miss call), telepon keluar, bahkan SMS atau telepon yang tidak memiliki nomor. CDR juga mencatat aktivitas komunikasi yang berasal dari perangkat laptop dan perangkat lain. Bahkan jika riwayat SMS dan telepon dihapus sekalipun, tetap akan terlacak di CDR.
Sayangnya, Agung hanya diperintahkan pengadilan untuk menganlisa komunikasi antara Antasari dan Nasrudin beberapa bulan sebelum penembakan terjadi. Agung tidak diminta melacak nomor atau ID sender lainnya di dalam CDR milik Nasrudin. Dengan kata lain, Agung tidak melacak komunikasi antara Nasrudin dengan pihak lain.
“Karena CDR yang saya terima tidak ditemukan sampai detil alamat pengirim yang dari website. Yang saya lakukan adalah perintah pengadilan, diperintah untuk melakukan analisis apakah ada SMS (ancaman) dari arah nomor A ke arah nomor B, tidak ke C. Karena kepentingannya tidak untuk itu,” ungkap Agung.
Etika berteknologi
Teknologi terus berkembang di tengah arus kemajuan jaman. Bagai dua mata pisau, di satu sisi banyak digunakan untuk kemaslahatan, di sisi lain disalahgunakan segelintir orang yang tidak bertanggung jawab.
Kemajuan teknologi memiliki hubungan linier dengan tingkat kejahatan. Teknologi semakin canggih, modus kejahatan juga ikut berevolusi. Terutama kejahatan di dunia maya (cybercrime). Karena itu, para penegak hukum harus melek teknologi. Penegak hukum harus mampu mengatasi dan mengusut tuntaskejahatandunia maya.
“Jaman sekarang kalau kita tidak tahu teknologi, ya ketinggalan. Jadi teknologi itu harus dikelola dengan baik. Perlu ada regulasi, jadi ada etika dalam memanfaatkan teknologi” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai perangkat hukum untuk menangkal kejahatan dunia maya dinilai belum menyentuh akar permasalahan. UU ITE perlu direvisi, disesuaikan kondisi kekinian.
“Perlu ada penambahan, sekarang yang berinisiatif siapa? Pemerintah atau DPR, Polisi tidak bisa. Kalau kita setiap ada laporan ya tetap kita selesaikan,” pungkas Kabid Humas Polda Jawa Timu itur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News