Seorang petugas mengecek crane yang digunakan untuk bongkar muat peti kemas di terminal peti kemas Jakarta International Cointainer Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta. (foto: Antara/Wahyu Putro)
Seorang petugas mengecek crane yang digunakan untuk bongkar muat peti kemas di terminal peti kemas Jakarta International Cointainer Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta. (foto: Antara/Wahyu Putro)

Polemik Perpanjangan Konsesi JICT

Medcom Files pelindo
Hardiat Dani Satria • 03 Agustus 2015 21:32
medcom.id, Jakarta: Ratusan pekerja PT Jakarta International Container Terminal (JICT) berunjuk rasa dengan melakukan aksi mogok pada Selasa (28/7/2015). Mereka juga memblokade gerbang masuk JICT, Tanjung Priok, Jakarta.
 
Para pekerja itu memprotes kebijakan PT Pelindo II yang memperpanjang kontrak kerja sama pengelolaan layanan bongkar muat peti kemas pada fasilitas JICT di pelabuhan Tanjung Priok dengan Hutchison Port Holding Group (HPH Group), perusahaan asing asal Hong Kong yang memiliki saham mayoritas (51 persen) PT JICT. Aksi mogok pekerja ini merupakan bentuk penolakan terhadap langkah Dirut Pelindo II Richard Joost Lino yang melakukan perpanjangan konsesi JICT.
 
Serikat Pekerja JICT menilai perpanjangan konsesi ini berpotensi merugikan negara. Mereka pun menuntut kepada pemerintah agar membatalkan konsesi JICT dan memecat RJ Lino.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
"Kami menanti ketegasan sikap dari pemerintah atas aksi kesewenangan Pelindo II," ujar Ketua Umum Serikat Pekerja JICT Nova Hakim di Jakarta Selasa (28/7/2015). Dia menambahkan, Serikat Pekerja JICT juga meminta Presiden Joko Widodo untuk memberi perhatian sekaligus menghentikan proses perpanjangan konsesi ini, karena telah melanggar undang-undang. "Kami akan terus lanjutkan aksi sampai ada keputusan dari Pemerintah," kata Nova.
 
Saat ini, ia melanjutkan, intimidasi Dirut Pelindo II terhadap pekerja JICT gencar dilakukan salah satunya lewat upaya pemecatan. Ada dua karyawan yang sudah dipecat. Menurut Nova, pemecatan itu dilakukan secara sepihak oleh RJ Lino. "kami meminta pemerintah melindungi pekerja dari kesewenangan Lino," kata Nova.
 
Ia pun menjelaskan, unjuk rasa yang dilaksanakan oleh pekerja ini merupakan kritik yang membangun. Sebab, Lino dinilai nekat melanggar undang-undang dengan mengklaim perpanjangan konsesi JICT yang belum disetujui Menteri BUMN.
 
"Dalam hal perpanjangan konsesi JICT, Lino inkonstitusional dan negara merugi," kata dia.
 
Untuk diketahui, kontrak antara Pelindo II dan HPH yang berlaku saat ini akan berakhir pada 2019. Namun, menurut para pekerja, persiapan perpanjangan kontrak ternyata sudah dilakukan oleh Pelindo II namun dengan nilai kontrak yang sangat rendah.
 
Padahal, serikat pekerja memperkirakan pendapatan Pelindo II saat perpanjangan dilakukan akan meningkat lebih dari 300 persen.
 
Menurut Nova, Serikat Pekerja JICT sudah melakukan kajian komprehensif tentang perpanjangan konsesi JICT nilainya terlalu murah dan bisa menyebabkan Indonesia kehilangan potensi pendapatan USD160 juta per tahun atau USD3,2 miliar dalam jangka waktu 20 tahun.
 
"Ini dihitung dari pendapatan JICT dikurangi biaya operasional lalu dikalikan 20 tahun masa perpanjangan konsesi," kata Nova, dalam siaran persnya, Senin (3/8/2015).
 
Sedangkan dengan perpanjangan konsesi yang dilakukan RJ Lino, Pelindo II hanya memperoleh uang muka (up front fee) USD215 juta dari Hutchison dan uang sewa USD85 juta per tahun. Angka tersebut dinilai ganjil karena kondisi JICT saat ini jauh lebih besar daripada 1999 lalu. Dengan kata lain, nilai sewa JICT pada 2014 sebesar USD215 juta atau setara dengan keuntungan JICT selama dua tahun saja.
 
"Uang muka dari Hutchison itu nilainya sama dengan keuntungan JICT selama dua tahun. Itu kecil sekali," kata Nova.
 
Nova menjelaskan, Pelindo II dapat uang sewa USD85 juta per tahun atau USD1,7 miliar dalam 20 tahun masa perpanjangan. Alhasil, jika dibandingkan dengan dikelola sendiri potensi kerugian negara sekitar USD1,5 miliar atau kurang lebih Rp20 triliun dengan kurs Rp13.000 per USD.
 
"Uang sewa USD85 juta per tahun itu dibayar JICT bukan Hutchison tanpa melihat volume naik atau turun. Kami benar-benar heran dan tidak tahu maksud Pelindo II kembali melakukan privatisasi aset nasional yang sangat menguntungkan ini," tegas Nova.
 
Atas dasar itu, Nova ingin agar pemerintah meninjau ulang proses yang serba janggal dan merugikan negara ini. "Kami minta kepada Pak Jokowi untuk meninjau ulang perpanjangan konsesi JICT. Kami ingin ini taat UU dan transparan," kata Nova.
 
Bermasalah sejak awal
 
Catatan Serikat Pekerja mengungkapkan bahwa ikhwal permasalahan proses perpanjangan konsesi JICT ini dimulai dari 1999, ketika JICT diprivatisasi dengan harga jual USD243 juta yang terdiri dari USD215 juta dalam bentuk uang tunai dan USD28 juta dalam bentuk dana in kind.
 
Privatisasi JICT di 1999 belum selesai karena Bahana sekuritas yang ditunjuk secara sepihak sebagai financial advisor JICT dan diduga melanggar ketentuan dalam Kepres nomor 103 tahun 1998 tentang penunjukkan penasihat keuangan yang harus melalui proses seleksi.
 
Hal ini pernah menyeret mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Tanri Abeng sebagai tersangka.
 
Pada 7 Agustus 2014, Serikat Pekerja JICT melakukan aksi demonstrasi karena kejanggalan proses perpanjangan konsesi JICT mengingat harga jualnya di 2014 lebih rendah ketika dilakukan privatisasi. Proses ini hanya sebesar USD200 juta sementara di 1999, konsensi JICT dijual dengan harga USD243 juta.
 
Penunjukkan Hutchison pun tidak melalui tender. Sementara itu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan tim oversight committee yang dibentuk Pelindo II untuk mengawasi proses perpanjangan JICT sudah merekomendasi ekstensi konsesi JICT lewat mekanisme lelang terbuka agar tercapai harga optimum.
 
Proses perpanjangan juga melanggar UU 17 tahun 2008 pasal 92, Pasal 344 ayat (2), Pasal 345 ayat (1) dan (2) dan Surat Menteri BUMN serta rekomendasi dewan komisaris Pelindo II nomor 68/DK/PI.II/III-2015 yang isinya meminta agar Pelindo II memperhatikan kajian hukum untuk memastikan dipenuhinya ketentuan dari otoritas yang berwenang bagi pengoperasian terminal JICT. Selain itu melakukan negosiasi kembali dengan HPH agar merevisi besaran up front fee.
 
Menurut Sekjen Serikat Pekerja JICT, Firmansyah, hasil penjualan JICT tidak jelas peruntukannya. Biaya sewa USD85 juta per tahun dijadikan jaminan utang dan akan meningkat bila tarif ikut naik untuk meningkatkan dividen. Hal ini berpotensi menyebabkan ekonomi biaya tinggi.
 
Selain itu, jika kemampuan dan kapasitas Priok berkurang signifikan karena pembangunan pelabuhan baru yang dekat dengan daerah industri Jawa Barat, maka PT Pelindo II berpotensi default dan meninggalkan warisan yang buruk.
 
Potensi kerugian di masa depan ini jelas menjadi perhatian para pekerja JICT. Sehingga, dengan dasar itu pula Serikat Pekerja JICT mendesak pemerintah untuk membatalkan perpanjangan konsesi JICT dengan HPH.
 
Menurut Firmansyah, sudah saatnya pelayanan pelabuhan, termasuk bongkar muat kontainer, dikelola secara mandiri untuk kepentingan nasional.
 
"Ini bentuk nasionalisme kami untuk mengembalikan aset bangsa ini ke pangkuan ibu pertiwi agar dikelola oleh kami, anak-anak bangsa, secara mandiri. Karena kami menilai kami telah mampu mengelola ini secara mandiri," kata Firmansyah.
 
Usulan kepada pemerintah
 
Lantaran aksi mogok kerja yang dilakukan pekerja JICT mengakibatkan terhentinya proses bongkar muat di pelabuhan Tanjung Priok, Ketua Komisi V Fary Djemy Francis meminta agar pemerintah turun tangan.
 
"Pemerintah diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh PT JICT dengan baik agar arus bongkar muat logistik kembali lancar. Sehingga tidak ada hambatan serta kapasitasnya dapat ditingkatkan,” ujar Fary Djemi Francis dalam konfrensi pers di gedung Nusantara III, Senayan, Kamis (30/7/2015).
 
Fary Djemy mewakili komisi V juga mengusulkan kepada pemerintah agar memberikan penguatan secara kelembagaan kepada Otoritas Pelabuhan.
 
“Komisi V DPR RI mendesak pemerintah untuk melakukan penguatan kelembagaan dan kewenangan Otoritas Pelabuhan sesuai dengan UU 17/2008 tentang Pelayaran,” katanya.
 
Selain itu, Komisi V DPR RI juga mendesak pemerintah untuk meninjau kembali proses pemberian konsesi kepada pihak-pihak terkait sesuai dengan UU 17/2008 tentang Pelayaran.
 
Aksi mogok kerja karyawan JICT yang dilakukan hingga 1 Agustus, ia menambahkan, menimbulkan antrian truk kontainer yang mengular di Jalan Raya Pelabuhan, Jalan Yos Sudarso, Jalan Raya Cilincing Marunda, Jalan RE Martadinata hingga jalan Lodan. Akibatnya, kerugian ekonomi mencapai Rp65 miliar per hari.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan