medcom.id, Jakarta: Beberapa waktu yang lalu, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pariwisata (Kemenpar) akan menjadikan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, sebagai ikon pariwisata Indonesia. Pemilihan ikon ini bertujuan mendongkrak kunjungan wisatawan ke Indonesia.
Menurut Menteri Pariwisata Arief Yahya saat di Yogyakarta, Selasa (16/6/2015) pengangkatan Borobudur sebagai ikon diharapkan dapat meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara sebanyak 10 persen dari target nasional di tahun 2016. Seperti diketahui, bahwa pada 2014 wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Borobudur sebanyak 250 ribu orang. Sedangkan jumlah tersebut barulah berkisar 2,5 persen dari target nasional.
Menpar yakin, penunjukan Borobudur sebagai ikon pariwisata nasional akan berpengaruh terhadap kenaikan jumlah wisatawan mancanegara. Namun, target capaian jumlah wisman ini bukan tugas dari Kemenpar saja. Melainkan, semua pihak dan pemangku kepentingan di pemerintahan terkait pariwisata harus menunjang program pariwisata nasional.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, menyambut baik langkah pemerintah pusat tersebut. Ia percaya Presiden Joko Widodo punya pertimbangan dan pemikiran tersendiri dalam menjadikan Borobudur sebagai ikon pariwisata nasional.
Borobudur adalah candi Buddha terbesar di seluruh dunia. Borobudur juga merupakan suatu fenomena yang menjadi perhatian dunia. "Beberapa waktu lalu saya dan Pak Presiden bersama Pak Menteri Pariwisata, kami bertiga mengobrol membandingkan beberapa tempat wisata di seluruh dunia. Kemudian dari situlah muncul pemikiran bagaimana kita menata Borobudur bisa menjadi suatu destinasi wisata yang manageable dan saleable," ujar Ganjar kepada medcom.id, Kamis (18/6/2015).
Pendiri Komunitas Historia Indonesia (KHI), Asep Kambali, menilai bahwa penunjukkan Borobudur sebagai ikon pariwisata nasional pada dasarnya adalah suatu hal yang wajar. Pasalnya, Borobudur juga sempat menjadi bagian dari tujuh keajaiban dunia pada tahun 80—90an. Ditambah lagi, keberadaan Borobudur sendiri yang sudah ikonik di negeri sendiri, menambah penunjukkan candi yang dibangun oleh dinasti Syailendra itu cocok dijadikan ikon pariwisata nasional.
“Saya melihat bahwa Borobudur memiliki nilai universalisme, artinya setiap manusia di manapun percaya bahwa Borobudur memiliki nilai strategis dalam arti ke pariwisata. Hampir setiap orang di seluruh Indonesia pasti tahu dan ingin ke Borobudur. Ketika ini diangkat sebagai ikon Indonesia, saya kira memang sah-sah saja,” kata Asep kepada medcom.id.
Namun Asep juga menyadari, dibutuhkan perjuangan lebih untuk sampai ke kompleks candi itu. Bahkan akan memakan waktu berjam-jam supaya turis asing bisa sampai Borobudur apabila turun dari bandara terdekat, yaitu Yogyakarta dan Solo. Dapat dikatakan, kondisi aksesibilitas menuju ikon Indonesia itu tergolong kurang sesuai standar internasional. Hal ini seperti yang tertera pada data ranking kondisi infrastruktur pariwisata Indonesia yang masih belum layak.
Ketidaklayakan dalam aspek keberlanjutan lingkungan dan infrastruktur ini dibuktikan dengan tidak tertatanya para Pedagang Kaki Lima (PKL) di sekitar Borobudur. Sehingga dampaknya juga akan berpengaruh pada aspek kesehatan dan kebersihan kawasan resort. Sehingga pada tahun 2011, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization/UNESCO) sempat mengancam akan mencabut Candi Borobudur dari warisan budaya dunia (World Heritage Site). UNESCO pun melayangkan ancaman ini terhadap pihak pengelola situs budaya Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Karena menurut Badan PBB itu, warisan budaya dunia harus melalui pemeliharaan secara terus-menerus.
“Saya dengar Borobudur gosipnya terancam statusnya di UNESCO, karena PKL dan pedagangnya kurang kondusif dan itu membuat citra Borobudur menjadi kurang baik,” imbuh Asep.
Menurut Asep, wajar saja apabila UNESCO mengancam pemerintah untuk melakukan pemeliharaan Borobudur itu dengan baik supaya tidak hancur. Sebab, bagi UNESCO, Borobudur merupakan salah satu warisan dunia yang memuat nilai universal karena merepresentasikan agama Budha. Tidak hanya itu, secara konstruksi Borobudur adalah bangunan yang sangat fenomenal. Di dalamnya juga terdapat catatan sejarah peradaban Indonesia.
“Borobudur juga merupakan bangunan yang sangat monumental dan juga itu akan menjadi masterpiece-nya dari Indonesia,” ujar Asep.
Asep menambahkan, secara arsitektur bangunan Borobudur serupa dengan piramida. Dengan konstruksi bangunan yang tinggi, menandakan relevansi terhadap kegiatan spiritual. Dari sisi keakuratannya, Borobudur juga termasuk bangunan yang paling simetris.
Dari sisi reliefnya yang saling bertautan, menceritakan suatu kisah sejarah bangsa Indonesia pada zaman dahulu. Asep menilai, dengan menempatkan Borobudur sebagai ikon pariwisata, dimungkinkan untuk membuka mata dunia bahwa ada bangunan selain Piramida di Mesir yang memuat nilai sejarah bangsanya. Bagi industri pariwisata, cerita sejarah ini penting untuk mendongkrak penjualan. Keunggulan-keunggulan inilah yang menjadi daya tarik wisatawan asing untuk selalu mengunjungi Borobudur.
Namun kembali lagi. Untuk menjadikan Borobudur sebagai ikon pariwisata nasional, seharusnya manajemen pengelolaan dan infrastrukturnya patut diperbaiki terlebih dahulu.
“Jadi kalau itu mau dijadikan ikon seharusnya harus dibenahi dulu baik dari segi manajemennya maupun infrastrukturnya, jalan rayanya, PKL-nya. Karena harusnya ada beberapa kafe dan resort yang representatif yang artinya sangat ramah dan tidak kumuh,” jelas Asep.
Untuk menjawab pertanyaan apakah nantinya Borobudur mampu menarik wisatawan mancanegara dan meningkatkan devisa negara, masih butuh hal-hal yang perlu dibenahi terlebih dahulu. Pertama, kita harus sadar bahwa lokasi Borobudur berada di tempat yang notabene bukan pintu utama wisman masuk. Wisman belum menjadikan Borobudur sebagai kunjungan untama ketika mengunjungi Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh akses terhadap keberadaan bandara internasional di sekitarnya.
Jika dilihat, turis asing yang berkunjung ke Borobudur sebagian besar adalah yang transit dari bandara Yogyakarta. Padahal Yogyakarta sendiri, hanya mendapati jumlah turis sebanyak 86.020 di tahun 2013. Jumlah itu hanya berkisar tidak lebih dari satu persen (0,98 persen) dari total turis yang ada di Indonesia. Ditambah lagi, akses langsung ke dunia internasional dari Bandara di Yogyakarta hanyalah bisa menjangkau Singapura.
Seperti diketahui, jumlah kunjungan turis asing yang ada di Yogyakarta sendiri masih terpaut jauh jika dibandingkan dengan kunjungan turis yang datang ke Jakarta, Bali atau Batam. Berdasarkan data dari Kemenpar, ada tiga pintu utama (dari 19 pintu) masuknya wisatawan mancanegara di Indonesia. Mereka adalah Bali, Jakarta dan Batam yang menyumbang sebesar 77% dari total turis asing yang ada.
Di tahun 2013, jumlah wisatawan mancanegara yang masuk Bali sebanyak 3.241.889 orang. Sedangkan jumlah wisatawan mancanegara yang masuk Jakarta sebesar 2.240.502 orang. Selanjutnya, barulah disusul oleh Batam yang dimasuki sebanyak 1.336.430. Pemasukan kedatangan turus asing dari ketiga tempat tersebut menguasai 77% dari total 8.802.129 turis asing yang ada di Indonesia pada tahun 2013.
“Kebanyakan wisatawan mancanegara yang datang ke Jogja itu biasanya pintu masuknya itu antara Jakarta atau Bali, baru ke Jogjakarta atau ke Solo dan seterusnya. Jadi itu seperti penumpang domestik yang tidak dihitung jumlah,” ujar sumber medcom.id di Kemenpar.
Menjadikan Borobudur sebagai ikon, berarti menjadikan kompleks candi itu sebagai representasi pariwisata nasional. Pertanyaannya adalah, apakah infrastruktur pariwisata di Borobudur sudah memenuhi standar internasional untuk dapat dikatakan sebagai tujuan wisata dunia dan andalan Indonesia?
Dalam upaya itu, menurut Ganjar, pemerintah memang perlu melakukan serangkaian penataan dan pembenahan. Dalam hal ini, pemerintah harus membuat kesepakatan baru dengan UNESCO terkait kerja sama yang sesuai persetujuan internasional untuk melestarikan Borobudur sebagai suatu warisan dunia.
Apabila kesepakatan baru itu terwujud, maka Borobudur dapat dilengkapi dengan wahana-wahana lain untuk paket wisata yang lebih menarik. Sehingga wisatawan tidak hanya akan melihat Borobudur ini sekedar bangunan, tapi apa sisi arkeologinya, budaya yang muncul, karakter sosialnya. "Harapan kami itu bisa dieksplorasi lebih banyak," kata Ganjar.
Dukungan infrastruktur untuk menunjang program pariwisata ini, menurut Ganjar, amat penting. "Kita maksudkan sebagai penataan kawasan, temasuk akomodasinya," kata Ganjar.
Jika memang memungkinkan membangun bandara di Magelang untuk memudahkan akses transportasi langsung bagi wisatawan mengunjungi Borobudur, pemerintah sudah siap. "Itu bukan tidak mungkin. Saya sudah ngomong ke bupatinya soal lahan untuk itu ada atau tidak. Kalau memang ada lahan yang memenuhi target dan perhitungannya memungkinkan, maka bukan tidak mungkin kami buatkan (bandara) itu," kata Ganjar.
Jika memang tidak ada lahan untuk membangun bandara di Magelang, menurut Ganjar, mungkin wisatawan bisa dimudahkan dengan akses menggunakan kereta maupun shuttle bus dari bandara di Yogyakarta, Solo, maupun Semarang.
"Semacam wisata jarak pendek saja seperti misalnya Borobudur-Yogya menggunakan kereta atau mungkin menggunakan shuttle bus yang lebih enak dan bisa menarik lebih banyak orang datang dan menginap di situ (Borobudur)," kata Ganjar.
Potensi luar biasa
Penentuan ikon pariwisata nasional ini agaknya upaya mendukung pencapaian target kunjungan 10 juta wisman di tahun 2015. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Indroyono Soesilo, menyatakan bahwa apabila target ini tercapai, maka sasaran pemerintah berikutnya untuk mencapai kunjungan 20 juta wisman pada 2019 bukan suatu hal mustahil untuk diwujudkan.
Berdasarkan data dari Kemenko Kemaritiman, total pendapatan negara dari sektor pariwisata sepanjang tahun 2014 mencapai US$12 miliar. Pemerintah pun optimis, pendapatan negara akan bertambah seiring diberlakukannya bebas visa bagi 30 negara baru pada bulan Maret lalu.
Indroyono menilai bahwa keputusan pemerintah untuk memberi bebas visa kepada 30 negara merupakan langkah paling rasional dan mudah bagi Indonesia meningkatkan devisa dalam waktu dekat. Ia bahkan optimistis target menaikkan devisa negara dari sektor pariwisata menjadi US$24 miliar di tahun 2019 bisa tercapai.
“Pariwisata adalah sesuatu yang harus dibangun supaya ekonomi negara membaik,” ujar Menko Kemaritiman Indroyono Soesilo di kantornya, Selasa (16/6/2015).
Senada dengan Indroyono, Ganjar memandang peran industri pariwisata bagi pertumbuhan ekonomi memang tidak bisa dianggap remeh. Itu sangat jelas. Karena orang menganggap wisata itu sudah merupakan suatu kemewahan alias kebutuhan tersier. Artinya, orang yang berwisata adalah orang yang levelnya berkecukupan. Karena kebutuhan primer (pokok) dan sekunder (pelengkap) sudah terpenuhi.
Ketika orang sudah ingin memenuhi kebutuhan tersiernya, tentu ia ingin bersenang-senang untuk mendapatkan hal-hal baru, sehingga orang itu tentu sudah menyiapkan pengeluaran ekstra untuk keperluan itu.
"Maka kalau ditanya apakah potensi sektor pariwisata ini menarik? Saya bisa katakan, itu luar biasa. Karena kalau memang ini bisa dikelola dengan baik, maka ekonomi kreatif akan muncul, perajin menciptakan produk-produk souvenir berkembang dengan kualitas yang semakin bagus, menghidupkan bisnis kuliner, hotel dan akomodasi lainnya bisa kian menjamur. Kemudian masyarakat sekitar Borobudur itu juga misalnya mungkin akan kami latih berbahasa asing. Desa wisata kan di sana (Borobudur) sudah ada," papar Ganjar.
Desa wisata itu yang masyarakatnya sudah terlatih berbahasa asing, juga ada rumah-rumah singgah atau homestay di sana. Masalahnya, banyak orang yang menggunakan rumahnya kemudian dijadikan bisnis homestay tapi tidak kena pajak atau ada orang asing beli rumah di sana. "Ini yang saya maksudkan perlu ditata."
Umat Buddha itu saja yang saya ketahui punya lima kegiatan keagamaan dalam setiap tahunnya. Bayangkan kalau masing-masing itu bisa dikemas sebagai suatu destinasi wisata, maka orang akan datang berbondong-bondong. Wah ini tentu multiplier efect yang diciptakannya akan luar biasa. "Daripada kita bicara Jawa Tengah eksploitasi alam kan repot, kayak industri semen misalnya, nanti orang jadi geger. Tapi kalau pariwisata, ini tambah tua akan tambah menarik," kata Ganjar.
Tahun 2014, ia melanjutkan, kunjungan wisatawan mancanegara ke Borobudur hanya berkisar 200 ribu orang. Tahun ini, pemerintah berniat peningkatan devisa dengan menggenjot target kunjungan turis asing naik sepuluh kali lipat. "Tahun kemarin hanya 200 ribuan kunjungan wisman, Presiden mendorong kalau bisa tahun ini turis asing ini ditingkatkan hingga mencapai 2 juta orang," kata Ganjar.
Menurut Ganjar, apabila target itu tercapai dengan asumsi setiap wisman membelanjakan uangnya minimal US$50 per hari, maka dengan hitungan kasar saja itu sudah menambah pemasukan US$100 juta di sektor pariwisata Jateng. "Itu kalau mereka tinggal dan belanja US$50 sehari. Nah, kalau kita bisa membuat mereka stay lebih lama jadi tiga hari saja, itu kan sudah lebih nggilani (menggegerkan-red) lagi angkanya. Kami melihatnya seperti itu," kata Ganjar.
Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Jateng melihat sektor pariwisata sebagai suatu potensi yang menarik untuk dikembangkan dan bisa diandalkan di masa depan. "Sekarang saya justru ingin mengembangkan ini dan pada 2016 kami mau mendorong untuk membangun infrastruktur yang mendukung pariwisata," kata Ganjar.
Ia berencana menambah wahana bertajuk seni dan budaya untuk menjadi suatu destinasi menarik bagi wisatawan asing ke Borobudur. Bahkan, bukan tidak mungkin penyelengaraan acara-acara kesenian berskala internasional diadakan demi lebih mempopulerkan Borobudur sebagai lambang warisan peradaban dunia yang dimiliki Indonesia. "Bayangkan saja kalau konten wisata itu bisa ditambahkan dengan adanya pagelaran-pagelaran seni, budaya, musik yang berlatar belakang candi, tentu itu sangat menarik," kata Ganjar.
Tidak Hanya Borobudur
Menurut Asep, sekitar empat tahun yang lalu, ada suatu pencanangan bagi komunitas lokal untuk menunjang destinasi pariwisata daerah. Paradigma baru pengelolaan pariwisata daerah tersebut dinamakan dengan Destination Management Organization (DMO). Dengan dibentuknya DMO, diharapkan setiap daerah didorong supaya memiliki ikon pariwisatanya masing-masing.
Jadi nantinya, ikon wisata akan memiliki beberapa versi dan kategori. Kategori ikon tersebut mungkin dapat dibagi berdasarkan historical heritage yang menonjolkan objek wisata bernilai sejarah, natural heritage atau yang berunsur alam, dan cultural heritage yang dekat dengan kebudayaan. Tidak hanya itu, ikon wisata juga dapat dibagi atas tangible heritage atau objek wisata yang dapat diraba, seperi monumen dan artefak. Sedangkan intangible heritage atau objek wisata yang tidak dapat diraba, dapat seperti kesenian masyarakat.
“Saya kira tidak hanya satu ikonnya itu. Tetapi kita coba membut ikon yang representasi. Seperti historical heritage, natural heritage dan bisa kemudian ke cultural heritage. Ini juga bisa dibagi menjadi intantigble heritage dan tangible heritage,” tambah Asep.
Asep berpendapat, kategorisasi ikon pariwisata ini penting dilakukan. Mengingat di Indoneisia begitu banyak sumber daya pariwisatanya. Setelah ditentukan masing-masing ikon wisatanya, perlu dilakukan pengelolaan yang keberlanjutan bagi resort itu. Dalam hal ini, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian mengelola ikon pariwisata yang ada. Perlu adanya koordinasi antara pemerintah dan swasta untuk menunjang pengelolaan pariwisata tersebut.
Menurut Ganjar, Jawa Tengah sebenarnya memiliki dua peninggalan candi besar yang menjadi kebanggaan. Selain Borobudur di Magelang yang merupakan candi Buddha terbesar, Jateng juga punya Candi Prambanan yang dikenal sebagai kompleks candi Hindu terbesar. Prambanan berada di Klaten, wilayah perbatasan Jawa Tengah dengan Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Di Prambanan itu ada pertunjukan sendratari Ramayana yang selalu menarik minat wisatawan mancanegara," kata Ganjar.
Tak hanya itu, ada empat situs petilasan sejarah Wali Songo di Jawa Tengah yang bisa menjadi destinasi wisata bagi umat Islam yang ingin melakukan ziarah religi.
Dari segi wisata alam, Jateng memiliki dataran tinggi Dieng di Wonosobo yang menyuguhkan pesona panorama dan pengalaman yang mengesankan bagi para pelancongnya. Begitu juga dengan paket wisata pulau Karimunjawa untuk menikmati keindahan pantai, air laut yang jernih, langit biru, dan hawa segar di utara Jepara.
Ada juga penyelenggaraan Loenpia Jazz sebagai destinasi wisata terkait pagelaran pentas musik. Menurut Ganjar, Loenpia Jazz merupakan festival jazz tahunan yang unik di kota Semarang, ibukota Jawa Tengah. Pertunjukan musik ini merepresentasikan Semarang sebagai kota dengan percampuran budaya Jawa, Arab, Tionghoa dan India dan senantiasa dikenal dengan kuliner yang beragam. Lunpia yang merupakan makan khas Semarang itu melambangkan keberhasilan mengadaptasikan kreasi hidangan ala Tionghoa yang sesuai selera masyarakat lokal.
"Loenpia Jazz ini pertunjukan musik yang menarik, para pemain jazz kumpul semua. Tagline-nya itu 'aku nge-jazz karena kamu'. Keren toh," Ganjar mempromosikan.
Kini, menurut Ganjar, masing-masing kabupaten dan kota mulai menunjukan potensi wisata daerahnya. Seperti di Purbalingga, yang dalam beberapa waktu terakhir ini ramai dikunjungi karena punya objek wisata air Bojongsari atau Owabong Waterboom.
"Setelah Borobudur, ternyata Purbalingga yang pendatang wisatawannya juga ramai, ada Owabong di sana," kata Ganjar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News