Panen garam. (foto: Antara/Aditya Pradana Putra)
Panen garam. (foto: Antara/Aditya Pradana Putra)

Gelagat Kartel Impor Garam

Medcom Files telusur kartel impor garam
Hardiat Dani Satria, Mohammad Adam • 04 September 2015 23:50
medcom.id, Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencurigai perusahaan-perusahaan pengimpor garam membangun suatu kartel. Tujuh perusahaan importir garam industri diduga bekerja sama untuk mengendalikan harga garam di dalam negeri. Indikasinya adalah harga garam di pasaran melonjak, sementara harga garam di tingkat petani jatuh.
 
Tujuh perusahaan importir garam industri menguasai pasar dan menikmati keuntungan tahunan yang lumayan besar. Mau tahu hitungannya? Kebutuhan garam nasional adalah 4 juta ton per tahun. Dengan rincian 2,25 juta ton garam untuk kalangan industri dan 1,9 juta ton untuk konsumsi masyarakat.
 
Selama ini, garam industri diimpor. Adapun garam untuk rumah tangga tidak boleh diimpor alias harus dipenuhi dari produksi domestik.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Sebanyak 80-90 persen impor garam itu berasal dari Australia dengan harga Rp500 per kilogram (kg). Namun, harga jual garam impor di pasaran mencapai Rp1.250-Rp1.500 per kg. Selain itu, diduga, garam petani dioplos dengan garam impor dengan biaya produksi Rp500 per kg, tetapi garam tetap dijual dengan harga Rp1.500 per kg. Dengan margin keuntungan impor garam sebesar Rp1.000 per kg, keuntungan yang didapat dari impor garam industri 2,25 juta ton adalah Rp2,25 triliun. Menurut Ketua KPPU Syarkawi Rauf, impor garam industri rawan diselewengkan karena kurang pengawasan. Seharusnya Kementerian Perindustrian mengaudit para importir garam, terutama terkait kebutuhan dan distribusi garam industri. Karena, bisa jadi para pengimpor ini mendatangkan garam dari luar negeri yang melebihi kebutuhan industri. Apalagi harga garam asal Australia terbilang murah.
 
Kalau ternyata itu yang dilakukan, berarti ada kelebihan stok dan ini menjadi peluang bagi perusahaan-perusahaan itu untuk merembeskan garam impor ke pasar konsumsi. "Nah, itu yang menyebabkan harga garam lokal di Indonesia menjadi sangat murah," ujar Syarkawi kepada medcom.id, Rabu (2/9/2015).
 
Gelagat importasi garam industri yang melebihi kebutuhan ini semakin santer terbukti setelah polisi menemukan fakta baru dalam mengungkap kasus dugaan suap perizinan bongkar muat barang (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Penyidik kepolisian Polda Metro Jaya yang dilibatkan dalam Satuan Tugas (Satgas) khusus untuk mengusut kasus ini melihat ada penyimpangan dalam proses impor garam yang melibatkan Kementerian Perindustrian.
 
Keterangan dua orang tersangka kasus dwelling time telah menguak kasus baru terkait praktik kartel importasi garam industri. Sehingga Polda Metro Jaya pun membentuk Tim Satuan Tugas Penyalahgunaan Proses Impor atau Satgas Kartel Garam guna menuntaskan kasus ini.
 
Dalam penggeledahan yang dilakukan Polda Metro pada Senin (10/8/2015) di Direktorat Industri Kimia Dasar Kemenperin, Satgas Kartel Garam menyita surat permohonan penambahan kuota impor yang diajukan perusahaan importir garam, PT Unichem Candi Indonesia.
 
Unichem diduga menyogok pihak-pihak pada instansi tekait, yaitu Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian, agar kuota impornya ditambah. Harapannya, ada timbal balik dari Kementerian Perindustrian berupa penerbitan surat rekomendasi tambah kuota impor garam dan Kementerian Perdagangan berupa penerbitan Surat Perizinan Impor (SPI)-nya.
 
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol Krishna Murti, yang juga bertindak sebagai Koordinator Satgas Kartel Garam memaparkan bahwa kuota impor garam Unichem telah diatur berdasarkan ketentuan Kementerian Koordiantor Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) dan rumus perhitungan Asosiasi Impor Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) adalah sebesar 27.500 ton.
 
Merasa tidak cukup dengan jatah segitu, Unichem pun mengajukan surat permohonan penambahan kuota impor kepada Kemenperin. Langkah inilah yang diduga menjadi pemicu Unichem mengguyur uang-uang pelicin ke dua kementerian terkait tadi.
 
"Agar jumlah kuota impor Unichem bertambah, dan total kuota impor garam sesuai aturan Kementerian Koordinasi Perekonomian yaitu 397 ribu ton, maka perusahaan importir garam yang lain dipangkas kuotanya sekitar 5 persen untuk diberikan ke Unichem," kata Krishna usai menggeledah kantor PT Unichem Candi Indonesia di Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (26/8/2015).
 
Dari penggeledahan itu, Satgas Kartel Garam menyita dua kardus dokumen terkait importasi garam dan keuangan perusahaan, serta menyita sebuah CPU. "Kami akan analisa dokumen-dokumen ini untuk melihat ada unsur perbuatan melawan hukumnya atau tidak," kata Krishna.
 
Krishna menjelaskan, ada dua hal yang melandasi Satgas menggeledah Unichem. Pertama, terkait keterangan tersangka skandal suap perizinan dwelling time, yaitu Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan nonaktif Partogi Pangaribuan, yang mengaku menerima aliran dana US$ 20 ribu dari petinggi Unichem.
 
Kedua, terkait keterangan Direktur PT Garindo Sejahtera Abadi (GSA) berinisial L yang kini ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap kepada Partogi. Tersangka L diduga memperjuangkan hak kuota impor garamnya yang terancam dipangkas Direktorat Jenderal (Ditjen) Industri Kimia, Tekstil dan Aneka Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk diberikan ke Unichem. Satgas juga sudah menggeledah kantor Garindo pada 11 Agustus 2015.
 
Tudingan
 
KPPU akan memanggil tujuh perusahaan yang mendapat izin impor garam industri. Karena, garam impor bahkan ditengarai merembes ke pasar lokal dan berlangsung saat panen raya sehingga memukul harga jual garam petani. Sedikitnya 30.000 petani garam terkena dampak dari impor garam yang merembes ke pasar lokal.
 
Syarkawi menjelaskan, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian semestinya melakukan audit ketat tehadap tujuh perusahaan importir garam. Karena, besar kemungkinannya garam yang diimpor lebih dari kebutuhan industri. Tujuannya, untuk menciptakan persediaan yang berlimpah saat musim panen di dalam negeri.
 
Kemudian, tujuh perusahaan itu membuat persetujuan untuk menjual rembesan garam industri itu dengan harga yang rendah. “Kartelnya itu adalah kesepakatan harga antar importir untuk menjualnya ke konsumen akhir atau merembeskan ke konsumen akhir,” kata Syarkawi.
 
Akibatnya, petani lokal tidak dapat menikmati keuntungan ketika panen. Petani justru merugi karena harga garam di pasar lebih rendah dari ongkos produksi.
 
Saat ini, harga garam di tingkat petani anjlok di kisaran Rp275-Rp300 per kg. Harga itu lebih rendah dibandingkan dengan harga garam petani yang dipatok pemerintah (HPP), yaitu kualitas satu (k1) Rp750 per kg dan garam kualitas dua (k2) Rp550 per kg.
 
“Nah, ini juga kartel, ini yang sedang kami lihat,” kata Syarkawi.
 
Salah satu perusahaan pengimpor garam, PT Cheetam Garam Indonesia, mengaku siap dipanggil KPPU untuk memberikan keterangan. Presiden Direktur Cheetam, Arthur Tanudjadja, menjelaskan bahwa tudingan mengenai importir melakukan praktik kartel tidak memiliki dasar yang jelas.
 
Ia mengaku tidak paham definisi kartel seperti yang dituduhkan oleh KPPU. Arthur pun menampik anggapan miring bahwa perusahaannya telah menyebabkan harga garam begitu tinggi.
 
“Siap dipanggil KPPU, kami sudah mendapatkan suratnya. Ya, kami dengan bagian legal kami, kami proses iyu, tidak masalah,” ujar Arthur kepada medcom.id, Kamis (3/9/2015).
 
Arthur menjelaskan, selama ini perusahaannya hanya pernah didatangi KPPU saja. Baru kali ini perusahaan diperiksa terkait kasus kartel garam. Ia berharap, pertemuan dengan KPPU nanti bisa menjelaskan secara jelas perihal modus kartelisasi garam yang dimaksud KPPU. Sebab, selama 15 tahun Cheetam diberi izin mengimpor garam, tidak ada istilah kartel tersebut. Bahkan jika dilihat dari perkembangan kuota impor garam, dari tahun ke tahun mengalami penurunan.
 
“Saya sebenarnya tidak mengerti kartelnya dimana. Saya tidak tahu kartel yang dimaksud KPPU itu kartel pembelian garam petani,atau kartel penjualannya, saya kurang mengerti,” imbuh Arthur.
 
Meskipun ada penurunan kuota impor garam, Cheetam tetap berusaha menyuplainya secara merata ke semua perusahaan makanan industri industri besar. Bahkan, garam-garam dari Cheetam juga diekspor ekspor negara tetangga seperti Filipina dan Malaysia.
 
“Paling kalau jual garamnya ke industri makanan kan Rp1.900 perkilo. Tapi itu kan sudah dikirim, diproses, tentu ada energi, tentu ada proses pengeringan. Jadi kalau lihat margin itu ya lihat tergantung industri maufakturnya sendiri,” kata Arthur.
 
Selain mengimpor garam, Cheetam juga menyerap atau membeli garam produksi petani lokal. Daerah penyerapannya yaitu di Cirebon dan Madura. Arthur menargetkan, perusahaannya mampu menyerap sebanyak 40 ribu ton dari petani di Cirebon dan Madura di tahun 2015.
 
Tidak hanya itu, di tahun 2015 ini Cheetam juga akan memproduksi garam sendiri meskipun tidak banyak. Targetnya, mereka akan memproduksi sekitar 10 ribu ton. Salah satu sentra produksi garam yang saat ini dikembangkan PT Cheetam berlokasi di Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Mereka menargetkan produksi sekitar 200 ribu ton pertahunnya.
 
“Khususnya itu di kabupaten Nagegeo, jadi saya ini kemari dalam rangka permulaan untuk kerjasama dengan masyarakat daerah. Terutama kepada tiga suku adat untuk memulai dengan 60 hektar dulu untuk bisa produksi 10 ribu ton,” kata Arthur.
 
Pembenahan tata niaga
 
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti telah mengusulkan pembatasan impor garam industri. Ia meminta Kementerian Perdagangan memangkas kuota impor garam tahun ini. Besarannya tidak tanggung-tanggung, dari 2,2 juta ton menjadi 1,1 juta ton.
 
Artinya, Susi menginginkan importasi garam industri dikurangi 50 persen dari kuota tahun lalu.
 
Alasannya, belum ada pembedaan pos tarif untuk garam industri aneka pangan. Sehingga dikhawatirkan justru akan terjadi penyalahgunaan izin impor. Selain itu, adanya impor garam industri untuk aneka pangan juga akan memberikan celah bagi penyelewengan garam impor untuk garam konsumsi.
 
"pengawasan terhadap distribusi dan pengunaan yang tidak ketat akan memungkinkan penyalahgunaan dan merembesnya garam impor ke pasar," ujar Susi di Jakarta, Senin (10/8/2015).
 
Menurut Susi, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 58 tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Garam perlu direvisi lantaran ketentuan impor garam yang dilakukan satu bulan setelah masa panen hanya akan menyebabkan kelebihan suplai garam di masyarakat dan membuat harga garam petani anjlok. Dengan kata lain, regulasi ini justru berpotensi merugikan petani kecil.
 
Peraturan tersebut memang melarang importir mengimpor garam dalam masa satu bulan sebelum masa panen raya hingga dua bulan sesudah panen. Namun, kata Susi, jarak singkat antara penghentian impor dan panen raya akan menyebabkan garam berlimpah dan membuat harga garam konsumsi produksi petani turun di pasaran.
 
Oleh karena itu, ia menilai kebijakan impor garam harus dikaji ulang demi kepentingan melindungi harga garam produksi petani. Dengan mendatangkan garam dari luar negeri yang harganya sangat murah, para importir juga terkesan sengaja menjatuhkan harga di pasaran dan tidak peduli pada kerugian para petani.
 
Menurut Susi, dengan berkurangnya impor garam industri, maka garam produksi petani bisa lebih diberdayakan. Dengan lahan garam prouduktif 33 ribu hektar plus 10 ribu hektar lahan cadangan, maka kekurangan stok 1,1 juta ton garam produksi itu bisa dicukupi dari industri rakyat.
 
Susi mengingatkan, fungsi garam strategis sebagai penopang ketahanan pangan. Ironisnya, tidak ada kemauan dan niat baik dari perusahaan importir garam untuk mengendalikan harga impor. Pengusaha berkeras bahwa kualitas garam petani tidak bagus dan belum sesuai kebutuhan industri.
 
Padahal seharusnya industri aneka pangan dalam negeri sudah bisa dipenuhi dengan produksi garam pangan lokal. "Memang kalau produksi garam kita disuruh penuhi semua industri belum cukup. Tapi kalau untuk industri aneka pangan sangat cukup," kata Susi.
 
Harapan kini ditautkan ke PT Garam, perusahaan badan usaha milik negara (BUMN), untuk menyangga harga petani. Pemerintah melalui Kementerian BUMN telah menggelontorkan anggaran Rp300 miliar dalam bentuk Penyertaan Modal Negara untuk menyangga harga dan menyerap garam petani.
 
Namun, dana itu dianggap belum belum cukup untuk kita menjaga garam. Direktur Utama PT Garam, Usman Perdanakusuma, menyatakan idealnya 50 persen produksi garam nasional bisa diserap untuk menjaga harga. Kenyataannya PT Garam sudah menghabiskan Rp222 miliar dari PMN itu untuk menyerap sekitar 400 ribu ton garam petani dalam negeri atau hanya kurang lebih 16 persen dari produksi garam rakyat sebesar 2,5 juta ton.
 
PT Garam juga ditugaskan membentuk konsorsium bersama dengan koperasi petani garam sebagai satu-satunya pintu untuk mengimpor garam. Namun, pembentukan konsorsium terganjal. Usman mengakui, hampir tidak ada niat baik dari para importir garam untuk menerapkan transparansi impor dan mengendalikan impor.
 
Menurut Usman, kondisi ini terjadi karena pemerintah belum membenahi tata niaga garam dan tidak mengatur pembatasan kuota untuk perusahaan. Selama ini, tak ada transparansi dalam penentuan perusahaan mana yang boleh mengimpor dengan berapa jumlah kuota impornya.
 
Makanya, Usman mendukung usulan perubahan Permendag Nomor 58 tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Garam "Peraturan yang ada itu perlu direvisi," kata Usman kepada medcom.id, Kamis (4/9/2015).
 
Usman juga menyatakan pemerintah perlu lebih serius dalam pengawasan terhadap importasi garam industri. Pemerintah diminta melakukan audit kepada industri pengguna garam impor. Audit itu menyangkut spesifikasi teknis yang diperlukan, berapa kebutuhan sesungguhnya, dan jenis-jenis industri apa saja yang membutuhkan garam industri.
 
"Ini kan masih belum jelas industri apa saja yang butuh. Nah, yang paling penting dalam tata niaga impor ini adalah mengeluarkan aneka pangan dari kluster garam industri. Kebutuhan aneka pangan ini kan sejatinya bisa dipenuhi oleh garam lokal," kata Usman.
 
Memang, ia melanjutkan, ada industri-industri yang memang memerlukan garam berkualitas tinggi seperti kadar NaCl di atas 97 persen. Nah, masalahnya Indonesia belum bisa swasembada dalam memenuhi kebutuhan garam berkualitas tinggi itu.
 
Meski begitu, Usman meyakini swasembada itu bisa tercapai apabila ada lahan yang disediakan di dalam negeri untuk kepentingan peningkatan kapasitas dan pengembangan kualitas produksi garam.
 
"Saya rasa, tidak menutup kemungkinan kita bisa mengatasi itu. Kita harus bisa swasembada, harus bekerja keras, dan ada pembenahan. Tapi, sebelumnya kita harus punya solusi untuk permasalahan impor. Strategi ini penting supaya kita ke depan bisa berdaulat, tidak bisa seperti sekarang," kata Usman.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan