medcom.id, Jakarta: Birokrat di negara Indonesia bukanlah priayi atau bangsawan yang diberi keistimewaan untuk mengatur negara. Mereka memiliki kewajiban untuk memastikan harapan masyarakat umum untuk hidup layak, nyaman, tentram dapat terlaksana. Ketika mereka dinobatkan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pun, sebenarnya mereka telah bersumpah untuk mengabdi kepada bangsa dan negara. Bukan kelompok golongan ataupun diri sendiri.
Namun pada kenyataannya, birokrat masih banyak yang salah kaprah dengan status PNS yang mereka miliki. Terbuai oleh jaminan hidup layak semenjak diangkat hingga kala pensiun nanti, banyak birokrat yang justru minta dilayani dan bukannya melayani. Tak sedikit pula yang justru melihat birokrasi sebagai ladang uang. Jargon “jika bisa dibikin ribet, kenapa dipermudah?” pun dianggap hal yang lumrah.
Potret nyata ini diakui oleh Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan. Menurut dia, orang-orang yang dipercaya untuk menjalankan birokrasi negara ini justru banyak keluar jalur dari cita-cita luhur PNS itu sendiri.
“Kalau konsep birokrasi kan pas sebetulnya. Birokrat itu kan aparatur negara yang sekarang diberi nama aparatur sipil negara yang tugasnya menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Delivering services,” kata Djohermanyah ketika berbincang dengan medcom.id, Kamis (10/3/2016).
Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri ini melihat beberapa permasalahan birokrasi yang bermunculan di Indonesia. Pertama, struktur birokrasi pemerintahan yang masih gemuk. Setidaknya saat ini ada 4,5 juta PNS yang dipekerjakan oleh uang rakyat. Namun pada kenyataannya, tidak semuanya memiliki beban kerja seimbang. Ada PNS yang jungkir balik dalam mengerjakan tugasnya, ada pula PNS yang akhirnya cuma bermain game atau sosial media karena tidak memiliki tugas.
Seorang sumber medcom.id yang berstatus PNS di salah satu kementerian bercerita, dia pernah diberi tugas oleh sang atasan. Dia langsung menyelesaikan tugas tersebut dalam waktu kurang dari seminggu karena masih membawa skema bekerja di swasta. Alih-alih dipuji sang atasan, sang PNS yang masih golongan IV ini justru memancing emosi sang atasan. “Ini kan kerjaan kamu untuk sebulan ke depan! Begitu kata bos saya,” ungkap sumber tersebut. Itu adalah bukti kecil dari ketimpangan beban kerja di birokrasi Indonesia.
Bisa jadi ini juga disebabkan oleh masalah kedua birokrasi Indonesia. Semakin banyaknya nomenklatur lembaga di Indonesia juga menyebabkan banyak tumpah tindih kewenangan. Hal ini menyebabkan tarik ulur tugas dan pertanggungjawaban dalam pelaksanaan birokrasi. Hal ini diperparah dengan sistem, metode dan prosedur kerja yang belum tertib.
Ketiga, prosedur yang lamban, berbelit-belit dan memakan waktu serta biaya tidak sedikit juga menjadi potret nyata birokrasi Indonesia selama ini. Fenomena kemarahan Presiden Joko Widodo dalam menyaksikan proses rumitnya perizinan bongkar muat penyebab dwelling time hingga berminggu-minggu di Pelabuhan Tanjung Priok menjadi contoh betapa ruwetnya birokrasi Indonesia.
Hal ini kemudian berujung kepada praktek pungutan liar, atau uang pelicin. Praktek pungutan liar ini banyak dilakukan oleh PNS yang terlibat langsung dalam pengurusan administrasi. Sudah menjadi rahasia umum ‘uang setoran’ harus diberi bila masyarakat ingin mempercepat urusan perizinan dan administrasi. Dengan modal Rp100 ribu urusan buat KTP yang memakan waktu seminggu bisa dipangkas menjadi sehari selesai. Masyarakat pun sempat dikejutkan oleh amukan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang terkenal santun dan tenang saat menemukan petugas jembatan timbang yang melakukan pungutan liar.
Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme memang menjadi hal yang dekat dengan kelompok birokrat. Potret keempat birokrasi Indonesia ini juga tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Bukan hal aneh bila pertanyaan “anda anak siapa?” atau “siapa yang merekomendasikan anda?” dilontarkan oleh penguji dalam rekrutmen PNS. Orang dekat dengan pejabat berpengaruh atau orang penting memang memiliki jalan yang cenderung mulus ketimbang orang biasa tanpa jaringan.
Akhirnya profesionalitas dan kualitas pelayanan bukan satuan utama. PNS yang tugasnya melayani pun akhirnya justru banyak yang minta dilayani. “Padahal, birokrasi yang sehat itu adalah birokrasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan harapan publik. Lewat pelayana yang cepat, murah dan tak berbelit,” kata Djohermansyah.
UU ASN dan reformasi birokrasi
Potret bermasalah birokrasi dan birokrat inilah yang tengah berusaha diubah oleh pemerintah. Reformasi birokrasi dilakukan pemerintahan dengan menelurkan beberapa aturan. Salah satu yang akan cukup berdampak bila dijalankan dengan baik adalah Undang-Undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Menurut Djohermansyah, keberadaan UU ASN ini bertujuan untuk membentuk birokrasi yang profesional dan bertujuan untuk melayani publik.
“Tentu pemerintah harus mengupayakan menciptakan birokrat yang profesional. Nah, Birokrat yang profesional itu dimulai dari rekruitmennya,” kata pria yang kini aktif sebagai Presiden Institut Otonomi Daerah tersebut.
Untuk menciptakan birokrasi yang bersih dan baik, harus diisi oleh birokrat yang punya kompetensi, rekam jejak bagus, serta berintegritas. Proses mutasi dan pengangkatan pejabat birokrat yang selama ini melalui Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) tidak lagi dilakukan. Proses dalam Baperjakat yang tertutup ini membuka peluang kongkalikong dan praktek KKN dilakukan. Orang dekat semakin cepat naik dan duduk di kursi jabatan.
“Bahkan dulu Baperjakat diplesetkan menjadi Badan Pertimbangan Jauh dan Dekat. Kalau dekat orang menteri, bupati dan gubernur jadilah dia diangkat,” canda Djohermansyah.
Skema tertutup ini, kata Djohermansyah, diubah menjadi seleksi terbuka dengan adanya UU ASN. Proses mencari orang yang benar di posisi yang tepat (right man in the right place) bisa dilakukan. Dengan seleksi terbuka nan dikenal dengan istilah lelang jabatan ini, menghilangkan kemungkinan orang tidak kompeten, rekam jejak buruk, pendidikan tak cukup, pangkat rendah, dan pengalaman minim tidak bisa dipilih.
Tak ada lagi pejabat diangkat karena unsur suka atau tidak. Dan kasus ini terjadi di Jawa Tengah yang dipimpin Ganjar Pranowo.
“Saya dulu pernah lelang jabatan. Nah, saya pernah ada suka dengan kinerja satu orang. Cuma dia tidak lolos di proses seleksi. Ya, jujur saja saya bilang ke dia. Dia terima kok,” ungkap Ganjar sangat dihubungi, Kamis (10/3/2016).
Lewat UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, sistem tata kelola birokrasi diubah lebih profesional. Mirip cara kerja swasta. Dimulai dari proses rekruitmen yang dibuat secara terbuka dan transparan. Selain itu rekrutmen juga lebih terdata dan dilakukan oleh panitia yang independen serta diajuhkan dari faktor kedekatan personal.
Djohermansyah menyebut proses reformasi birokrasi dan tata kelola UU ASN ini telah benar secara konsep. Proses perubahan tata kelola dan birokrasi dimulai dengan mengisi orang yang tepat di posisi yang tepat. Terutama di posisi penting. “Diperbaiki dulu 13 ribu pejabat penting. Tiga ribu di pusat, dan sepuluh ribu di daerah. Nanti baru akan ada dampak domino ke bawah. Itu akan terdorong untuk berubah,” kata dia.
Pemerintah memang harus menentukan menentukan prioritas karena reformasi harus dilakukan perlahan. Apalagi permasalahan birokrasi di Indonesia sudah mengakar terlalu lama dan sudah menjadi budaya. Walau masih banyak kekurangan dan terkesan lamban, reformasi harus terus dilakukan dan dikawal ketat. Ini menjadi pekerjaan rumah dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), didukung penuh Presiden, serta diawasi oleh publik.
“Agar Indonesia mendapat tenaga birokrat yang profesional dan handal. Jika ini berjalan dan terus disempurnakan, maka kita mendapat pemimpin birokrat yang profesional dan netral. Betul-betul melayani dan bukannya minta dilayani,” pungkas Djohermansyah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News