Sejumlah pengunjung manyaksikan koleksi rokok di Museum Kretek, Kudus, Jawa Tengah. (foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko)
Sejumlah pengunjung manyaksikan koleksi rokok di Museum Kretek, Kudus, Jawa Tengah. (foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko)

Kretek Indonesia dan Perang Industri Rokok Dunia

Medcom Files indonesia dan kretek
Surya Perkasa • 23 Oktober 2015 05:42
medcom.id, Jakarta:
 
Keretek (b) ke·re·tek /keréték/ n rokok yang tembakaunya dicampuri serbuk cacahan cengkih -Kamus Besar Bahasa Indonesia-
 

Kretek merupakan sebuah rokok khas Indonesia. Nama kretek berasal dari bunyi hasil bakaran campuran cengkih dan rempah dalam tembakau di rokok khas Indonesia ini.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Memang, tembakau bukanlah tanaman indegenous (asli) Indonesia. Sejarah mencatat tembakau masuk ke nusantara dibawa oleh Portugis sekitar awal abad ke-16. Namun, dengan cepat tumbuhan tembakau menyebar di nusantara. Gandrung tembakau ini pun mewarnai kerajaan-kerajaan Indonesia. Penduduk asli kemudian memulai menanam tanaman “emas hijau” ini atas inisiatif sendiri. Mereka menanam tembakau untuk konsumsi.
 
Perlahan penduduk asli meracik tembakau ini pun diracik dengan rempah, seperti kemenyan dan cengkih. Rokok kelobot, atau rokok yang dilinting dengan daun jagung muncul.
 
Racikan ini pun membuat bangsa Portugal dan Belanda tertarik dengan tembakau nusantara dan rokok kretek yang khas dengan Indonesia.
 
“Kretek bukan hanya punya sejarah, melainkan – sekali lagi – sejarah itu sendiri,” tulis budayawan Mohammad Sobary dalam penutup buku Divine Kretek, Rokok Sehat.
 
Tembakau dan cengkih Indonesia
 
Tembakau Indonesia tidak bisa berkembang pesat seperti industri tembakau di negara lain. Regulasi di Indonesia terkesan setengah-setengah. Di satu sisi terus berusaha meraup untung besar dari industri tembakau, di sisi lain tidak berusaha menciptakan aturan yang untuk proteksi industri tembakau Indonesia yang berpotensi besar.
 
Hal ini sangat disayangkan. Anggota Komisi IV DPR fraksi Golkar Firman Soebagyo menceritakan betapa komoditas perkebunan Indonesia yang terkait dengan industri rokok yang sempat menjadi primadona. Bahkan tembakau Jember dulu dipakai sebagai bahan baku cerutu kelas dunia asal Bremen, Jerman.
 
“Itu salah satu bukti tembakau menjadi komoditas unggulan Indonesia yang diakui dunia,” kata Firman saat berbincang dengan medcom.id, Senin (19/10/2015).
 
Indonesia memiliki banyak tembakau khas yang berkualitas tinggi. Beberapa daerah bahkan memiliki tembakau khas yang kini semakin dilupakan.
 
“Contohnya itu ada Jember, Kudus, Surabaya. Tapi menurut saya, yang dulu sebagai tembakau terbaik itu tembakau Sumatera, tembakau Deli,” kata Direktur Indonesia for Global Justice (IGJ) Salamuddin Daeng.
 
Perlahan-lahan produksi tembakau Indonesia semakin tidak pasti. Kebijakan pemerintah yang mengatur industri rokok membuat perkebunan tembakau tempat 528 ribu petani menggantungkan hidup jadi tercekik.
 
Tembakau Indonesia yang bekualitas baik namun tidak bisa memenuhi syarat untuk dipakai dalam industri rokok membuat petani terus merugi. Hal ini diperparah dengan kebijakan alih lahan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
 
“Hal ini yang sempat saya kritik. Memangnya bisa petani itu disuruh merubah apa yang telah mereka tanam setelah sekian lama, secara turun temurun. Tidak semudah itu. Bagi petani apa yang mereka tanam itu sudah mendarah daging,” kata Firman.
 
Penurunan produksi tembakau paling terasa terjadi setelah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan dikeluarkan. Secara perlahan jumlah lahan perkebunan tembakau dan volume produksi menurun.
 
PP 81/1999 mengatur soal kandungan zat yang ada dalam rokok seperti kadar tar dan nikotin. Aturan ini berdampak pada peningkatan beban pengusaha atau produsen rokok di Tanah Air. Dengan keharusan mengikuti aturan itu, maka hanya tembakau impor yang bisa jadi bahan baku rokok. Akhirnya, impor tembakau Indonesia pun naik tiap tahun. Tembakau yang diimpor adalah jenis Virginia (AS) asal India dan Tiongkok. Produksi tembakau dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan produsen rokok. Akibatnya, produk tembakau kualitas tertentu (grade rendah) yang dipanen petani lokal jadi tak laku di jual.
 
Kretek Indonesia dan Perang Industri Rokok Dunia
Tidak hanya tembakau, cengkih nusantara juga menjadi salah satu komoditas ternama. Rempah berbau harum khas maluku yang menjadi salah satu bahan baku kretek ini bahkan sempat ingin dimonopoli penjajah.
 
“Sejarahnya, bibit cengkih pernah dibawa bangsa barat ke Afrika untuk dibudidayakan. Akhirnya sekarang terkenal dengan cengkeh Zanzibar. Lahan cengkih di Indonesia pun sempat ingin dibumihanguskan. Namun selama 300 tahun cengkeh nusantara yang dulu pernah ingin dimusnahkan bisa bertahan,” ungkap Firman.
 
Komoditas cengkeh Indonesia pun tidak bisa disepelekan. Indonesia saat ini menjadi negara eksportir terbesar dunia, walaupun produktivitas cengkeh per hektare Indonesia di bawah rata-rata dunia.
 
Perkebunan cengkih Indonesia saat ini menyerap lebih dari 1 juta petani dengan nilai industri di kisaran Rp20 triliun. Tahun ke tahun, lahan cengkih Indonesia juga terus bertambah. Pada tahun 2013 lahan perkebunan cengkih tercatat lebih dari 502 ribu hektare.
 
Indonesia sebenarnya memiliki modal untuk ikut menguasai industri tembakau dunia. Ditambah lagi Indonesia memiliki produk rokok khas dengan nilai budaya yang tinggi kretek namanya.
 
Dewan sempat ingin memasukkan kretek ke dalam RUU Kebudayaan yang sedang dibahas di DPR. Namun pasal kretek yang banyak dikritik karena dianggap bukan budaya Indonesia justru dikritik balik oleh budayawan Mohammad Sobary.
 
Muncul kecurigaan, penolakan ini justru agenda terselubung kaum anti tembakau. Persoalan "kretek sebagai warisan budaya" pun justru membuat Sobary berpikir wakil rakyat itu tak paham kebudayaan.
 
"Bagaimana paham kebudayaan kalau mereka tidak mau tahu terhadap persoalan rakyat yang terinjak-injak," kritik Sobary, Senin (28/9/2015).
 
Mengutip penulis Mark Hanusz, Sobary menyatakan kretek berbeda dengan rokok. Kretek berbeda dengan cerutu. Kretek adalah budaya warisan pendahulu bangsa Indonesia.
 
"Mereka sok tahu. Padahal mereka tidak mencium bau tanah. Tak pernah ikut bergelu dengan masalah keseharian petani. Tapi dengan gampang mengatakan, petani bisa beralih ke produk pertanian lain," kecam Sobary.
 
"Mereka dengan penuh semangat menelan argumentasi ini tanpa mau berpikir kritis. Semua menjilat asing," kritiknya lebih lanjut.
 
Industri kretek Indonesia dan dominasi perusahaan rokok putih asing
 
Potensi industri rokok dunia sangat luar biasa. British American Tobbaco memperkirakan industri rokok dunia saat ini bernilai lebih dari USD 690 miliar dari 5,5 triliun batang rokok yang diproduksi tiap tahunnya.
 
Walau demikian, keuntungan yang besar ini didominasi beberapa perusahaan rokok multinasional dari empat negara saja. Sekitar 69,1 persen pasar rokok dikuasai oleh tiga perusahaan rokok asal Tiongkok, Amerika, dan Inggris.
 
“Dan Tiongkok saat ini paling banyak menguasai pasar rokok global saat ini,” kata Direktur Indonesia for Global Justice (IGJ) Salamuddin Daeng saat berdiskusi dengan medcom.id, Rabu (21/10/2015).

Kretek Indonesia dan Perang Industri Rokok Dunia
China National Tobacco, perusahaan rokok raksasa asal Tiongkok, kini menguasai sekitar 43,2 persen pasar rokok global. Berdasarakan Tobacco Atlas, pendapatan kotor China Tobbaco tahun 2012 mencapai USD95,2 miliar.
 
Posisi kedua diisi oleh Philip Morris International yang bermarkas di New York, Amerika Serikat, dengan menguasai 17,4 persen pasar global. Mereka menikmati pendapatan kotor dari rokok sebesar USD67,7 miliar pada 2012.
 
Sementara itu British American Tobacco yang membayangi Philip Morris International dengan menguasai 11,6 persen pasar global di 2014, dengan pendapatan kotor USD58,1 miliar pada 2012.
 
Upaya memperebutkan pasar rokok semakin keras karena besarnya potensi yang ada. Industri rokok asing yang mapan pun terus berusaha menguasai pasar di negara lain. Negara maju yang telah lama membangun industri rokok berusaha masuk dengan mengakuisisi perusahaan lokal. Industri rokok lokal juga terkena dampak pertarungan perusahaan rokok besar yang berusaha mengusai pasar yang lebih besar.
 
Bahkan negara-negara berkepentingan berusaha menggunakan perangkat aturan International untuk mempengaruhi industri rokok dan perkebunan tembakau lokal. “Salah satunya itu dengan menggunakan FCTC (Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau WHO),” kata Salamuddin.
 
Yang paling merasakan dampak dari regulasi ini adalah industri rokok nasional. Perlahan pasar lokal yang mulai didominasi rokok putih asing menyebababkan banyak pabrik rokok lokal gulung tikar.
 
Dalam enam tahun belakangan jumlah pabrik rokok turun hingga 81,6 persen. Berdasarkan data yang dimiliki Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Jumlah pabrik rokok lokal pada tahun 2009 mencapai 3.225 se-Indonesia. Namun angka itu menurun drastis dari tahun ke tahun. Pada 2012, jumlah pabrik rokok tinggal 1.000. Angka tersebut terus menurun hingga hanya 600 pabrik pada tahun 2014.
 
Kretek sebagai rokok khas Indonesia yang paling merasakan dampaknya. Walaupun volume penjualan rokok dua tahun terakhir relatif tidak berubah, volume penjualan kretek justru beralih ke rokok putih.
 
Volume penjualan rokok segmen kretek mengalami penurunan yang cukup signifikan dimana volume penjualan turun sebesar 12 miliar batang atau 16,5 persen dari tahun 2012 ke tahun 2014. Sedangkan rokok jenis lain justru meningkat 15,5 persen.
 
Anggota Komisi IV DPR fraksi Golkar Firman Soebagyo mengatakan, kretek yang diproduksi oleh perusahaan lokal bisa punah jika rokok khas Indonesia ini tidak dilihat secara komprehensif.
 
“Kita harus melindungi kretek sebagai budayanya. Harus dilindungi dan diupayakan menjadi komoditas unggulan. Karena selain industri kretek itu padat karya ada nilai warisan budaya di dalamnya, Sigaret kretek tangan loh ya,” kata Firman saat berbincang dengan medcom.id, Senin (19/10/2015).
 
Rokok Indonesia juga sulit memasuki pasar negara maju yang telah dikuasai oleh perusahaan besar. Hambatan tarif (tariff barier) dan hambatan non-tarif (non-tariff barrier) yang dibuat negara maju membuat rokok Indonesia sulit masuk.
 
Salah satu satunya pengalaman pahit industri rokok Indonesia saat menghentikan ekspor rokok ke Amerika Serikat karena larangan impor kretek pada 2010. Regulasi yang dikeluarkan oleh BPOM Amerika Serikat (US FDA) terkait rokok aromatik yang dinilai lebih berbahaya bagi kesehatan menyebabkan Indonesia kehilangan potensi pemasukan USD 240 juta per tahun.
 
Tembakau dan kretek Indonesia di tengah pusaran perang nikotin
 
Terlepas dari segala kampanye buruknya rokok dan produk tembakau bagi kesehatan, nikotin telah dibuktikan secara medis memiliki manfaat bagi kesehatan. Beberapa penelitian terkait zat yang terkandung dalam tembakau ini muncul sejak era 1960an.
 
Nikotin dipercaya memiliki khasiat melancarkan pencernaan, meringankan encok, sakit gigi, mencegah infeksi. Dalam beberapa penelitian, sirup dari tembakau yang mengandung nikotin dipercaya dapat mengatasi beragam masalah kesehatan seperti tuberkolosis, batuk, rematik dan beragam penyakit lain.
 
Riset beberapa lembaga farmasi di Amerika Serikat seperti, New York State Pshyciatric Institute Columbia University dan American College of Cardiology, bahkan membuktikan fungsi nikotin untuk penanganan depresi klinis, menangani gagal jantung dan berpotensi by-pass jantung non bedah, menangani trauma syaraf tulang belakang akut, mencegah virus herpes sarkoma Kaposi, serta berbagai potensi klinis lain.
 
Potensi besar dari “emas hijau” ini kemudian dilirik oleh perusahaan farmasi, terutama di Amerika Serikat. Akhirnya, perang nikotin antara industri farmasi dan industri rokok tidak dapat dihindari. Keuntungan potensial yang selama ini dikuasai industri rokok kemudian justru memunculkan kampanye negatif seputar rokok.
 
Nicotine war (perang nikotin) memunculkan beragam kampanye negatif untuk mematikan industri rokok dan tembakau,” kata Anggota Komisi IV DPR fraksi Golkar Firman Soebagyo.
 
Beberapa kelompok medis menyerang industri rokok dengan kampanyekan bahaya rokok dan produk tembakau. Salah satu kampanye yang paling mengena dan banyak dipakai adalah nikotin dalam rokok menyebabkan kecanduan bagi yang konsumennya. Walau demikian, perusahaan farmasi justru membuat beragam produk mengandung nikotin, seperti permen karet dan koyo.
 
Perusahaan farmasi dunia mencoba membujuk perokok untuk menggunakan produk mereka untuk melepaskan ketergantungan terhadap rokok. Namun tidak berhasil. Beragam bentuk untuk memberangus tembakau pun dilakukan.
 
Puncaknya, empat perusahaan farmasi multinasional menyumbang sejumlah besar dana untuk mengadakan Konferensi Dunia tentang Tembakau dan Kesehatan ke-11 di Chicago pada tahun 2000. Keempat perusahaan tersebut yakni Glaxo Wellcome, Novartis, Pharmacia, dan Smithkline Beecham, yang notabene memiliki atau memasarkan produk “pengganti” nikotin.
 
Dalam acara tersebut hadir Direktur WHO Gro Harlem Brundtland yang memberikan pidato pembukaan. Tiga tahun setelah acara akbar untuk menetang industri tembakau ini, WHO menghasilkan FCTA (Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau WHO) yang berusaha mengendalikan industri tembakau dan rokok dunia. Industri rokok pun ditekan lewat aturan yang yang harus diikuti negara-negara PBB.
 
Industri rokok Indonesia ditampar aturan-aturan yang menekan perkembangan industri rokok lokal. Regulasi kandungan tar, nikotin, kemasan serta beragam aturan lain membuat industri tembakau dan rokok lokal kewalahan.
 
Salah satu aturan yang membuat tembakau Indonesia semakin di ujung tanduk yakni Peraturan Pemerintah nomor 81 tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Pada Pasal 12 ayat (1) ditegaskan “tembakau yang digunakan untuk produksi rokok harus diolah agar kadar kandungan nikotin dan tar pada produk yang dihasilkan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (nikotin 1,5 mg dan tar 20 mg)”.
 
“Beberapa aturan yang juga ditekan dari pihak asing ini jelas menekan industri rokok dan pertanian tembakau kita. Indonesia yang tropis, sehingga sulit menghasilkan tembakau yang memenuhi aturan batas nikotin dan tar tersebut. Industri rokok lokal, terutama kretek, jadi tidak bisa memakai tembakau lokal. terpaksa menggunakan tembakau impor,” kata Direktur Indonesia for Globa Justice Salamuddin Daeng saat berbincang dengan medcom.id, Rabu (21/10/2015).
 
Hal inilah yang membuat membuat industri rokok Indonesia bergantung ke impor. Walau diakui Indonesia diakui memiliki tembakau yang baik, aturan produk seputar tembakau membuat tembakau lokal justru tidak laku karena tak bisa dipakai. Perkembangan ekspor-impor tembakau Indonesia dapat memperlihatkan kecenderungan tersebut.
 
Kretek Indonesia dan Perang Industri Rokok Dunia
Anggota Badan Legislasi DPR RI fraksi Golkar, Misbakhun menentang ratifikasi FCTC sebelum Indonesia mampu memproteksi kepentingan nasionalnya dari gempuran asing. Dia meyakini ratifikasi justru dapat mematikan keberlangsungan hidup 6,1 juta pekerja yang terkait dengan industri tembakau.
 
“Sebelum petani tembakau, cengkeh serta industri kretek nasional dilindungi, saya menolak setiap agenda asing dan global untuk melakukan okupasi,” tegas Misbakhun pada Kamis (22/10/2015).
 
Dia melihat FCTC ini sebagai kendaraan asing untuk menjajah Indonesia dengan menggunakan isu kontemporer seperti masalah kesehatan. Padahal industri ini memberikan kontribusi besar bagi negara. “Faktanya, bahwa kontribusi hasil cukai tembakau tiap tahun sekitar Rp139 triliun sebagai sumberpenerimaan negara,” kata dia.
 
Memang secara perbandingan, industri tembakau memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan industri lain. Industri yang pada tahun 2013 ini bernilai Rp248 triliun mampu memberikan pemasukan negara hingga Rp139 triliun. Sekitar 52,7 persen dari besar industri, atau sekitar 10 persen dari anggara negara.
 
Kretek Indonesia dan Perang Industri Rokok Dunia
Firman juga sangat menyayangkan industri rokok Indonesia yang khas dengan kreteknya tidak banyak dipedulikan. Bahkan dia sangat menyayangkan pasal kretek yang sempat masuk dalam RUU Kebudayaan dibuang karena alasan “bukan budaya Indonesia” dan “merusak kesehatan”.
 
“Ada pengertian yang berbeda dari orang-orang yang anti-kretek. Mereka menggunakan negative campaign (kampanye hitam), ‘masa kretek yang merusak kesehatan masuk (budaya)’. Siapa yang bilang kretek itu merusak?” kata Firman.
 
Dia berharap kretek yang berpotensi jaya di pasar global jika dikelola dengan “menjual” kekhasan budaya Indonesia dan keunggulan dibanding rokok putih bisa dilindungi. Hal ini juga diamini oleh Salamuddin.
 
“Pemerintah, dewan dan publik harus melihat kretek ini secara komprehensif. Kepentingan negara harus menjadi yang utama. Masalah kesehatan, perdagangan, itu bisa diatur lewat peraturan lain,” tegas dia.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan