Aksi yang digelar Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) itu kini memasuki episode ke-468. Sejak dihelat kali pertama pada 18 Januari 2007, gerakan yang dinamai Aksi Kamisan itu menyuarakan beragam tuntutan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu. Mereka, yang terdiri dari puluhan orang tua dan anak muda itu tak pernah alpa. Terkecuali ketika Kamis yang mereka agendakan bertepatan dengan hari-hari besar.
Paling tidak, ada tujuh isu besar yang disorot, yakni terkait peristiwa pembantaian sepanjang 1965-1966, kasus penembakan misterius (petrus) 1982-1985, kasus penghilangan paksa beberapa aktivis pada 1997-1998, tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II pada 1998 dan 1999, peristiwa berdarah di Talangsari pada 1989, serta kasus pelanggaran HAM di Timor Timur.
Seorang nenek bernama Maria Catarina Sumarsih hadir di tengah aksi. Perempuan yang kini berusia 64 tahun itu sama sekali tak menampakkan air muka lelah atau pun bosan. Ia adalah ibunda Bernardus Realino Norma Irmawan alias Wawan. Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya, Jakarta, yang tewas tertembak aparat dalam unjuk rasa menolak Sidang Istimewa, 13 November 1998 silam. "Ini karena semangat cinta. Jika tidak mempunyai rasa cinta, mungkin saya akan memilih menikmati kegiatan di rumah,” kata Maria kepada medcom.id, di seberang Istana Negara, Jakarta, Kamis (17/11/2016).
Masih gelap
Tak ada yang diinginkan Maria selain peristiwa yang merenggut nyawa putra tercintanya itu menjadi benderang. Menurut Maria, sejak berita duka ia terima 18 tahun lalu, belum tampak niat baik negara dalam mengungkap siapa dalang penembakan. Rezim berganti, hasil yang ditunjukkan hampir selalu sama; nihil.
Maria mengidamkan proses hukum yang adil dan terbuka. Menurut dia, persoalan yang ia perjuangkan bukanlah semata-mata lantaran Wawan yang menjadi korban. Maria menganggap hal itu merupakan pelajaran berharga tentang sikap negara terhadap kemanusiaan yang akan dicatat dalam perjalanan sejarah. Siapa rela anaknya mati, kata Maria. Tapi, yang jauh lebih penting ialah nyawa Wawan melayang berkaitan dengan tanggung jawab negara.
“Semangat saya adalah semangat kemanusiaan. Cinta kepada sesama manusia,” ujar Maria.

Maria ikut aksi Kamisan, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta. (MTVN)
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar, menceritakan keluarga korban kerap menerima kekecewaan atas ketidak-seriusan negara dalam upaya menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Pemerintah, hanya mengacu pada hasil dari Pengadilan Militer yang memutuskan hukuman kepada delapan perwira pertama Polri terkait kasus Trisakti 1998, dan sembilan anggota Gegana/Resimen II Korps Brimob Polri pada sidang 2002. Sementara pada sidang 2003, sama sekali tidak menunjukkan hasil yang jelas.
Sudah barang tentu, kata Haris, proses hukum yang diinginkan keluarga korban bersifat mengakar dan menyeluruh. Sasaran tembak konsekuensi hukum tidak hanya terhenti pada perwira bawahan, melainkan mampu memberikan ganjaran setimpal bagi penanggung jawab utama tragedi tersebut.
Pada tahun 2000, mahasiswa dan keluarga korban mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) penuntasan kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (TSS). Sayangnya, kata Haris, Pansus justru memberikan penegasan bahwa tragedi nahas itu tidak termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.
Bersama Komisi Nasional (Komnas) HAM, usaha keluarga korban kembali ditempuh melalui pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) HAM pada 2001. Hanya saja, proses penyelidikan mengalami hambatan terutama dalam mengakses informasi lembaga-lembaga negara, juga sikap non-kooperatif institusi TNI dan Polri atas pemeriksaan anggota-anggotanya.
“Pada 2002, Komnas HAM menetapkan tragedi tersebut sebagai pelanggaran HAM berat,” kata Haris saat ditemui di kantor KontraS, Jalan Kramat II, Jakarta, Kamis (17/11/2016).
Hasil penyelidikan Komnas HAM kemudian diserahkan kepada Jaksa Agung guna dilanjutkan menjadi penyidikan. Namun hingga sebanyak tiga kali, terjadi pengembalian berkas dengan alasan-alasan yang tidak mudah diterima keluarga korban. Hingga 2004, berkas laporan mengendap di tahap penyidikan Jaksa Agung.
Pada 14 Februari 2007, keluarga korban juga menggugat putusan politik DPR RI melalui Komisi III. Mereka menuntut agar segera direkomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Faktanya, langkah ini kembali gagal lantaran rekomendasi itu terganjal putusan voting Badan Musyawarah pada 6 Maret 2007. Sebagian besar anggota DPR menolak menyeret kasus tersebut ke dalam Sidang Paripurna.
Ketidak-jelasan proses pengusutan tak lantas membuat KontraS dan keluarga korban putus asa. Pada 28 September 2010, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya berjanji akan menyampaikan persoalan tersebut kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Namun lagi-lagi, kata Haris, hal itu tak menghadirkan perkembangan yang menggembirakan.
“Sampai hari ini, era Presiden Jokowi (Joko Widodo) pun, nol besar,” ujar Haris.
Haris sempat memberikan apresiasi di kala Presiden Joko Widodo mengungkapkan niat kembali membuka penelusuran kasus HAM 1998. Bahkan, kata Haris, semangat itu tertera dalam Nawa Cita alias sembilan program prioritas pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Namun kata dia, nyatanya itu tidak dibarengi dengan tindakan nyata.
“Sifatnya hanya statement-statement belaka,” kata dia.
Haris mengingat, setidaknya Presiden Jokowi pernah menjanjikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM sebanyak tiga kali. Yakni, saat pelantikan presiden 20 Oktober 2014, sambutan hari HAM 2 Desember 2015, dan pada rapat kabinet terbatas 8 Januari 2016.
Baca: Jokowi Jamin Kasus Pelanggaran HAM Tuntas Pada 2016
“Presiden tidak punya ketegasan,” kata Haris.
Dukungan politik
Yang tampak hari ini, menurut Haris, tak ubahnya seperti kepemimpinan sebelumnya. Ada budaya saling lempar tanggung jawab. Bahkan, kata dia, Presiden Jokowi lebih banyak melimpahkan kesalahan atau ketidak-tegasan itu merupakan dampak dari kinerja pemerintahan sebelumnya.
“Rezim hari ini tidak usah melimpahkan ke pimpinan zaman dulu. Tak bisa dilempar-lempar. Siapapun yang berdiri sebagai perwakilan negara, dia harus menyelesaikan,” tegas Haris.
Bersama keluarga korban, KontraS telah berulang kali mengusulkan komite kepresidenan. Dalam bayangan Haris, komite inilah yang nantinya diberikan mandat guna menanggulangi kesimpang-siuran tugas. Selain itu, mereka juga berhak mengambil alih penelusuran, serta menjadi semacam penasihat Presiden guna mendorong rekomendasi-rekomendasi HAM sebagai acuan dalam mengeluarkan kebijakan.
“Mereka berada langsung di bawah Presiden. Bisa lima sampai tujuh orang,” saran Haris.
Desakan itu pun bak angin lalu. Haris memastikan, karut marut penuntasan kasus HAM hari ini tak lebih disumbangkan atas pengaruh hiruk pikuk politik kekuasaan yang terjadi di lingkar pemerintahan. Belum lagi, kata Haris, Komnas HAM sebagai motor pendorong terlihat lesu.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Imdadun Rakhmat tak memungkiri peran politik cukup besar dalam proses pengusutan pelanggaran HAM 1998. Perlunya sikap kehati-hatian membuat Komnas HAM tidak bisa mengambil jalan selain negoisasi secara perlahan.
“Silakan menilai Komnas HAM melempem, kondisi politik yang dihadapi memang sangat berat,” kata Imdad kepada medcom.id, Jumat (18/11/016).
Imdad menjelaskan, posisi penyidikan saat ini masih berada di Kejaksaan Agung (Kejagung) RI. Kemandekan tersebut terjadi lantaran adanya beda pendapat antara Komnas HAM dan Kejagung mengenai apakah peristiwa TSS termasuk pelanggaran HAM berat atau tidak.
“Sejak dulu, pengembalian berkas oleh Kejagung itu karena lemahnya dukungan politik secara nasional. Sehingga tidak ada keberanian untuk menuntaskan,” kata Imdad.
Mengingat peluang semakin sulit, maka Komnas HAM mau tidak mau menempuh jalan lain secara non-judicial. Proses ini diawali ketika berupaya mengurai kasus pelanggaran HAM 1965. “Kita sama-sama tahu, itu pun respon publik keras sekali,” ujar Imdad.
Perkara paling pelik dalam membuat kasus ini menjadi benderang adalah dugaan terseretnya nama-nama petinggi militer masih menjabat posisi penting. Meski begitu, Imdad berjanji, Komnas HAM akan terus berteriak demi mengungkap fakta dan kebenaran.
Tentang jalur tempuh non-judicial yang kebanyakan ditolak keluarga korban, menurut Imdad, itu karena keterbatasan kewenangan yang dimiliki Komnas HAM. Menurut dia, Komnas HAM bisa saja terus berjuang melalui jalur judicial, akan tetapi langkah itu dinilai percuma sebab akan bertabrakan dengan tugas dan tanggung jawab Kejagung.
“Komnas HAM hanya dimandati penyelidikan. Jika saja diberi keleluasaan penyidikan, pasti akan kita lakukan,” kata Imdad.
Menimbang jalan tengah
Fakta politik memang rumit, kata Imdad. Namun perjuangan ini juga mesti mendapatkan dorongan publik secara luas. Imdad mengidamkan jika suara keadilan itu tidak hanya disuarakan keluarga korban dan organisasi pendamping.
“Hari ini, organisasi-organisasi penyeru moral juga diam seribu bahasa. Di dalamya bisa intelektual, tokoh agama, dan negarawan,” kata Imdad.
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo membantah jika pemerintah dikatakan tidak memiliki keberanian dan keseriusan dalam mengungkap fakta pelanggaran HAM masa lalu, terlebih pada kasus TSS. Menurut dia, saat ini upaya penuntasan terus dilakukan melalui koordinasi dan konsolidasi.
“Memang segera harus diselesaikan,” kata Prasetyo kepada medcom.id, Minggu (20/11/2016).
Prasetyo mengatakan, dalam upaya penuntasan kasus masa lalu, Kejagung menghadapi kendala yang tidak sederhana. Salah satunya, rentang waktu kejadian yang sudah cukup lama. “Ini butuh kesabaran dalam pengumpulan bukti dan saksi,” kata dia.
Selain itu, kata Presetyo, Kejagung juga tengah menjalin komunikasi guna menyamakan perspektif agar sebaiknya bisa diselesaikan melalui jalur non-judicial. Proses ini dinilainya bisa menjadi jalur cepat dalam menyelesaikan perkara kemanusiaan tersebut.
“Rekonsiliasi lebih realistis,” ujar dia.
Rekonsiliasi dianggap sebagai jalan tengah. Kejagung saat ini sudah merumuskan tahapan yang akan dilalui dalam proses rekonsiliasi pelanggaran HAM. Prasetyo menyebutkan tiga tahapan yang akan dilalui dalam babak rekonsiliasi itu. Pertama, pernyataan atau pengakuan adanya pelanggaran HAM berat masa lalu. Kedua, pernyataan dan pembuatan komitmen untuk pelanggaran-pelanggaran serupa agar tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
“Dan ketiga, permintaan maaf dari negara kepada korban dari pelanggaran HAM,” kata Prasetyo.
Bagi korban yang tidak terima dengan jalur tempuh rekonsiliasi, Prasetyo mengaku maklum. Menurut dia, Kejagung telah lama menimbang bahwa keputusan ini akan menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.
“Kalau memaksakan jalur judicial, pelaku-pelakunya sudah diadili. Hanya membuka luka lama. Semangatnya apa?” tanya Prasetyo.
Jika proses hukum tetap dipaksakan, kata Prasetyo, rentang waktu yang dibutuhkan akan lebih lama lagi. Komnas HAM harus kembali melakukan penyelidikan dengan bukti dan saksi yang akurat, setelah itu, baru diserahkan kepada Jaksa guna memasuki tahap penyidikan.
“Kami ingin memberikan yang terbaik bagi bangsa. Sekali lagi, ini harus segera dituntaskan. Tujuannya agar kita tidak terus tersandera sejarah kelam masa lalu,” kata Prasetyo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News