Hal ini diakui oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). “Jumlah daerah aliran sungai (DAS) yang kritis semakin bertambah dari masa ke masa,” ujar Kepala Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho kepaada medcom.id di Jakarta, Selasa (27/9/2016).
Menurut dia, kerusakan DAS bakal terus meluas selama pemerintah dan publik tak peduli dengan lingkungan. "Kerusakan sungai ini bencana bagi manusia. Bencana banjir dan longsor di waktu hujan, kekeringan di waktu kemarau. Krisis pangan dan air bersih sangat mungkin terjadi,” kata dia.
Baca: Banjir Bandang Garut Potret Buruknya DAS Cimanuk
DAS mempunyai peran penting bagi penciptaan kesejahteraan dalam pengertian yang luas. Jika kita membuka lagi buku-buku sejarah, dengan mudah kita memahami peradaban manusia dimulai dari daerah-daerah sungai. Sekitar 6.000-8.000 tahun yang lampau, di mana orang sudah mengenal manfaat sungai dan air, mereka menetap di kawasan itu untuk bercocok tanam dan memelihara ternak. Akhirnya, dari daerah itu tumbuh peradaban.
Sumber peradaban Mesir adalah sungai Nil. Demikian pula, yang terjadi dengan sungai Mesopotamia di Sumeria, sungai Eufrat di Inggris, dan sungai Indus di Pakistan-India. Sungai Kuning di Tiongkok pada 3.000 tahun lampau juga tumbuh kerajaan kekaisaran dengan peradaban tinggi.
Untuk itu, harus dipahami bahwa kepentingan tidak hanya dengan mengenal DAS sebagai bagian yang penting bagi pertanian, tetapi juga kehidupan dalam arti luas. Sungai telah sejak lama menjadi acuan utama dalam membangun pemukiman, kota, serta peradaban. Dari sungai, manusia memanfaatkan airnya untuk mencukupi kebutuhan hidup seperti air bersih, irigasi, transportasi, perikanan, pariwisata, serta menjadi sumber pembangkit listrik.
Namun, LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencermati kenyataan meprihatinkan yang menjadi fenomena beberapa dekade terakhir ini. Bahwa hampir semua sungai telah berubah fungsi. Perilaku manusia modern justru bertentangan dengan misi peradaban dan keberadaan sungai.
Pengkampanye Perkotaan dan Energi Walhi, Dwi Sawung, menjelaskan alih fungsi DAS di sejumlah kabupaten/kota antara lain menjadi perumahan, kawasan industri, pariwisata, dan pabrikan. Akibat praktik ini, sungai menjadi kotor, sedimentasi terjadi dan sungai cepat tinggi. Bencana seperti banjir dan longsor pun terjadi dari tahun ke tahun.
.jpg)
Boleh dibilang, seolah sungai tidak lagi diperlakukan sebagai sumbu kehidupan yang harus dirawat dan dilestarikan. Namun, sebaliknya sungai dirusak dan dicemari, dan sungai sudah berubah fungsi dan diperlakukan sebagai tempat pembuangan sampah, pelimbahan dan dianggap sebagai salah satu sumber bencana
“Sungai-sungai dibeton dan diluruskan. Pohon-pohon keras yang menyerap air tidak lagi ditanam di hulu, wilayah flood plan untuk menahan air dikala banjir pun dibangun perumahan,” ujar Dwi kepada medcom.id di Jakarta, Rabu (28/9/2016).
Penyusutan area hutan pun menjadi perihal yang patut dicemaskan. Karena, hutan berfungsi menyerap hujan dan menjaga aliran
air. Untuk melindungi siklus air di tanah dan penampang sungai, idealnya 30 persen daratan ditutupi hutan. Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) mendata perbandingan hutan dengan daratan tinggal sekitar 20 persen.
Menurut Walhi, hutan lindung yang seharusnya dijaga berubah fungsi. Kurang berjalannya usaha konservasi tanah dan air juga jadi persoalan. Lereng-lereng gunung dan bukit yang seharusnya ditanami pepohonan berubah fungsi menjadi permukiman atau perkebunan.
"Pada sekitar hulu Sungai Citarum dan Sungai Cimanuk itu sudah banyak yang berubah menjadi kebun kentang. Itu baru di Cimanuk. Pada beberapa hutan produksi milik BUMN bahkan Kami menemukan tambang,” beber Dwi.
Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dalam sebuah seminar bertajuk Indonesia Water Learning Week pada tahun 2014 pernah mengungkapkan banyak sungai di Indonesia yang debit airnya tidak stabil. Apabila musim hujan debitnya besar, Sedangkan di musim kemarau, justru sangat kering. Artinya, banyak sungai yang sudah dalam kondisi rusak parah.
Kondisi tersebut membuat sungai-sungai di Indonesia cenderung tidak bisa diandalkan untuk mengairi irigasi lahan-lahan pertanian. Pertanyaannya, bagaimana mungkin Indonesia bisa mewujudkan swasembada pangan dengan kondisi seperti itu?
Hal ini pernah disinggung oleh Wakil Presiden Boediono dalam pidatonya saat membuka Rapat Kerja Nasional Pengelolaan DAS di Jakarta pada Mei 2012. Pemeliharaan alam, termasuk DAS, menjadi faktor paling penting demi ketahanan pangan. Karena dari situlah sumber bahan makan manusia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang.
"Kebutuhan manusia terhadap makanan atau bahan pangan itu akhirnya tergantung pada alam. Betapa pun tinggi kemajuan industri suatu negara, tidak akan bisa menggantikan peran dari pertanian dalam arti luas untuk mendukung kebutuhan bahan pangannya," kata Boediono.
Pembenahan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS memang sudah memberikan landasan yang bagus bagi semua pihak untuk membuat kebijakan program, baik di tingkat pusat maupun daerah. Namun, hingga saat ini belum ada blueprint pengelolaan DAS untuk jangka panjang.
Sutopo menyebut ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengelola DAS. Pertama, penggunaan sumber daya lahan secara rasional untuk mencapai produksi maksimum namun tetap lestari. Kedua, menekan kerusakan tanah dan air menjadi seminimal mungkin.
Banyak hal yang dapat dilakukan. Mendorong manusia di sekitar sungai untuk “Contohnya dengan melarang penggunaan pupuk kimia di pertanian hulu sungai, tapi memberi insentif kepada petani untuk menutupi kurangnya pendapatan mereka. Ini dilakukan di Belanda,” kata Sutopo.
Ketiga, menjaga distribusi air yang merata sepanjang tahun dan tersedianya air pada musim kemarau. Keempat, berusaha mempertahankan DAS yang bersifat lentur (resilient) serta menjaga pendapatan (equity) masyarakat dalam DAS.
Menurut Walhi, tiap sungai di Indonesia itu unik. Oleh karena itu, perlakuannya tidak bisa diseragamkam. "Sungai itu hidup, dan dia terus berubah. Sekarang persoalannya, bisa tidak manusia berubah dan berdamai dengan alam?” kata Dwi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News