Pedagang menata cabai rawit merah di Pasar Induk Sayur Buah Kramat Jati, Jakarta. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma).
Pedagang menata cabai rawit merah di Pasar Induk Sayur Buah Kramat Jati, Jakarta. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma).

Bandar Cabai Untung Besar

Medcom Files harga cabai
Sobih AW Adnan • 16 Januari 2017 16:35
medcom.id, Jakarta: Dagangannya masih tetap dikerumuni ibu-ibu, seperti kemarin hari. Yang berbeda, Soleh, penjual sayur yang karib disapa Bang Kumis itu sedikit menggeser strategi. Ia tak akan langsung menjawab pelanggannya yang menanyakan berapa harga cabai rawit, semisal seperempat kilo gram (kg) saja.
 
"Sepuluh ribu saja ya, Bu? Campur bawang merah, dan bawang putih," tawar balik Bang Kumis kepada pelanggannya, Ning.
 
Hampir genap 11 tahun Bang Kumis mangkal di salah satu gang di Jalan Sawah Balong, Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat. Ia menyadari betul, jika mengungkap harga sebenarnya, bisa bubar si ibu-ibu tanpa menggondol sedikit pun belanjaan dari lapak andalannya.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
"Seperempat (kg) Rp35 ribu. Normalnya cuma Rp10 ribu. Itu naiknya cukup terasa," kata Soleh kepada medcom.id, Kamis (12/1/2017). Sementara bagi Ning, ibu asal Madura yang sebenarnya sudah mengetahui kabar kenaikan harga cabai juga merasa diuntungkan. Sebab, kata dia, sekali dayung, dua tiga bawang terlampaui.
 
"Meski cabainya tidak sampai setengah ons," kata Ning.
 
Sejak pekan pertama 2017, masyarakat dihebohkan dengan kenaikan harga cabai.
 
Presiden Joko Widodo tak tinggal diam. Kala berkunjung ke Pasar Kajen Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa 9 Januari 2017, ia merespon gejolak pasar.
 
Menurutnya, kenaikan harga cabai murni akibat buruknya cuaca pada 2016. Tanaman cabai membusuk, petani gagal panen, terang, stok pun jadi terbatas. Itu pun, ujar Jokowi, hanya jenis cabai merah besar yang mengalami lonjakan harga cukup signifikan. Untuk cabai jenis lainnya, semisal rawit merah yang terkerek hingga Rp100 ribu/kg, atau cabai merah dan hijau sekitar Rp45-50 ribu/kg, masih bisa dikatakan wajar.
 
Tidak hanya cuaca buruk. Menteri Perdagangan (Mendag) Enggar Enggartiasto Lukita mengatakan kenaikan harga juga disumbang petani yang ngotot memetik lebih awal. Sayangnya, hal itu malah justru membuat cabai rawit merah cepat mengalami pembusukan.
 
Belum lagi, kondisi ini diperparah dengan distribusi yang kerap terlambat. Pengambilan keuntungan berlebih di tingkat pedagang pun tak luput dari komentar Enggar.
 
Lonjakan harga cabai di tingkat konsumen memang diduga kuat lantaran adanya masalah di jalur distribusi. Tidak semua daerah menghasilkan cabai. Distribusi ke daerah-daerah bukan penghasil cabai terkendala infrastruktur yang tidak merata, baik sarana transportasi, jalan, pelabuhan maupun infrastruktur non-fisik.
 
cabai
 
Lebih parah lagi, adanya dugaan permainan dari data yang diungkap Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian Spudnik Sujono di Media Indonesia, pada 29 Desember 2016 lalu.
 
Spudnik membeberkan hasil pengamatan di dua pasar: Pasar Induk Cibitung, Kabupaten Bekasi, dan Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Di Pasar Cibitung, harga cabai pekan pertama September Rp38.333/kg dengan pasokan 664 ton. Di pekan kedua, pasokan turun menjadi 442 ton, tapi harga turun dan kembali turun di pekan ketiga menjadi Rp28.338/kg dengan pasokan 530 ton. Pada Oktober-November 2016 harga naik dengan pasokan stabil 570-635 ton.
 
Di Pasar Induk Kramat Jati, harga cabai pekan kedua September Rp33.475/kg dengan pasokan 661 ton. Harga turun menjadi Rp22.429 pada pekan ketiga dengan pasokan yang naik jadi 686 ton. Setelah itu, harga cabai terus merambat naik setiap minggunya. Padahal pasokan stabil 585-707 ton.
 
Panjangnya rantai distribusi juga bisa dibaca dari hasil Survei pola distribusi perdagangan pangan pokok dan strategis di 34 provinsi dan 186 kabupaten/kota (BPS, 2015). Distribusi perdagangan beras, cabai merah, bawang merah, jagung pipilan, dan daging ayam ras dari produsen sampai ke konsumen akhir melibatkan 2-9 fungsi kelembagaan usaha perdagangan. Marjin perdagangan dan pengangkutan amat variatif, masing-masing komoditas berturut-turut beras sebesar 10,42%, cabai merah 25,33%, bawang merah 22,61%, jagung pipilan 31,90%, dan daging ayam ras 11,63%. Margin yang dinikmati pedagang cabai dan jagung terlalu besar.
 
Baca: Memutus Jalan Panjang Distribusi Pangan
 
Rawan permainan kartel
 
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Tradisional Indonesia (IKAPPI), Abdullah Mansuri menghitung, kenaikan harga cabai beberapa pekan terakhir justru menjadi pukulan bagi pedagang tradisional. Pengambilan keuntungan pedagang yang disinggung Mendag, kata Abdullah, masih terbilang wajar.
 
“Kami menerima dari pengepul sudah tinggi,” kata Abdulah kepada medcom.id, Senin (9/1/2017).
 
Harga melambung, pedagang merugi lantaran modal yang dikeluarkan makin tinggi. Sementara hasil yang diperoleh dari penjualan tidak seimbang. “Semisal, harusnya menjual satu ton perhari, tapi hanya bisa terjual setengah ton. Karena daya beli masyarakat menurun,” kata dia.
 
Yang disorot pemerintah, kata Abdullah, adalah adanya dugaan kartel yang bermain di tengah panjangnya mata rantai distribusi cabai. “Ada indikasi ‘tangan gaib’. Harga sengaja dimainkan. Targetnya keran impor dibuka,” kata dia.
 
Dugaan serupa diungkapkan Koordinator Departemen Serikat Petani dari Aliansi Petani Indonesia (API), Nur Lodzi Hady. Menurut dia, sudah sangat lazim bahwa dalam kenaikan harga produk pertanian kerap disumbang permainan dalam rantai distribusi. "Kecenderungannya sama. Yang berbeda hanya pola dan pemainnya," kata Lodzi kepada medcom.id, Sabtu (14/1/2017).
 
Selama tidak ada niat dari pemerintah untuk memperbaiki tata kelola niaga pertanian, maka hal itu bakal terus terulang. Pemerintah, kata Lodzi, tidak usah mengkambing-hitamkan alam atau cuaca jika belum bisa meyakinkan tidak adanya pemain dalam rantai distribusi yang terlalu panjang.
 
"Panjangnya pos dalam jalur distribusi perlu dipangkas," kata dia.
 
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Syarkawi Rauf membenarkan bahwa selain cuaca, tingginya harga cabai dipengaruhi panjangnya mata rantai distribusi.
 
KPPU melakukan pemantauan ke empat pasar induk. Cibitung, Kramat Jati, Pasar Soreang, dan Tangerang. Dari data yang terekam, rantai panjang itu dimulai dari pengepul yang menjual ke bandar Rp65 ribu/kg. Sementara tingkat bandar menjual ke agen hingga Rp105/kg. Agen ke pedagang menjadi Rp110/kg. Sedangkan di tangan pedagang, cabai dijual rata-rata Rp120/kg.
 
“Dari temuan kami, pengambilan keuntungan terbesar ada di pihak bandar,” kata Syarkawi kepada medcom.id, Minggu (15/1/2017).
 
Dalam perhitungan tim KPPU, pengaruh cuaca buruk semestinya cuma membanderol cabai maksimal Rp80 ribu/Kg. “Tidak sampai lebih dari Rp100 ribu,” ujar dia.
 
Bandar juga menentukan ke mana barang akan disalurkan. Informasi terakhir, cabai dari Yogyakarta dan Jawa Tengah justru dipasok ke Sumatera, terutama di Padang. "Karena menarget harga jual lebih besar," kata Syarkawi.
 
Potensi persekongkolan dalam penetapan harga, kata Syarkawi, sangat mungkin dilakukan di ranah distribusi dan serta melibatkan titik kekuatan pasar, yakni di level bandar.
 
Tren baru ditemukan KPPU. Menurut Syarkawi, salah satu bandar di Jawa Timur bahkan mempersilakan siapa pun yang bisa menyalurkan barang ke pasar tanpa kewajiban pembayaran di muka. Bandar rela melepas barang demi mendapatkan perluasan akses pasar.
 
"Jadi, mungkin sekali ada kelompok-kelompok tertentu yang menguasai penyaluran barang," kata dia.
 
Selain meningkatkan pemantauan, pemerintah mesti melakukan resi gudang. Ketika memasuki masa panen, hasilnya harus selekasnya ditampung ke gudang sehingga bisa mengatur pasokan dengan lebih baik.
 
Strategi berikutnya, pemerintah harus secara tegas melakukan pengendalian harga melalui penegakan hukum. Dalam hal ini, pedoman pelaksanaanya cukup mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
 
“Penegakan hukum dan sanksi bagi yang melanggar harus dilakukan,” kata Syarkawi.
 
Syarkawi memprediksi, harga cabai bisa kembali stabil Februari mendatang, tepatnya di panen raya dan meningkatnya produksi. “Tapi lagi-lagi masalah datang, pasokan banyak, petani merugi lagi. Pemerintah harus ngebut membenahi tata niaga,” kata dia.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan