Aku seorang perempuan yang mudah jenuh dalam sebuah hubungan. Walaupun kata orang, hubungan pacaran saat masih putih biru dan putih abu-abu itu cinta monyet, tapi tak semua orang sepertiku yang mudah bosan dan berganti pasangan.
Ya, dahulu kala aku masih berstatus pelajar, gonta ganti kekasih menjadi hobiku.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Teman-temanku hanya bisa geleng-geleng kepala atas kelakuanku yang tidak tahan untuk berpacaran dalam waktu yang lama.
Setiap kali merasa bosan, aku menyudahi hubungan itu. Tak pernah ada keinginan untuk mempertahankan hubungan dalam waktu yang lama.
Top record ku saat masih SMP maupun SMA paling lama menjalin hubungan dalam kurun waktu 7 bulan saja. Aku pun pernah berpacaran yang waktunya hanya satu hari saja.
Ketika ditanya mengapa begitu, aku tak tahu jawabannya. Namun, semua itu berubah ketika memasuki jenjang yang lebih tinggi yakni status mahasiswa.
Perkenalanku dengan seseorang yang menemaniku selama kuliah, diawali dari sebuah kegiatan organisasi kampus.
Kala itu, aku tak berpikir bahwa dia akan menjadi kekasihku atau bahkan akan memberikan warna tersendiri dalam hidupku.
Perasaan saling melirik dan menaruh hati mulai tumbuh saat kami bermain kartu dengan peralatan make-up yang menjadi hukuman apabila kalah dalam permainan.
Aku pun masih ingat kala dia memintaku untuk menjadi kekasih dan mendampinginya. Permintaan itu pun diajukan dihadapan teman-teman kami yang saat itu sedang bermain truth or dare.
Berdegub kencang dadaku kala itu saat dia memintaku untuk mendampinginya. Perut ini pun terasa seperti banyak kupu-kupu yang terbang. Rasa senang memenuhi diriku. Kata 'ya' terucap dari bibirku untuk bersedia menjadi kekasih pertamanya.
Kami menjalani hubungan dengan penuh warna. Tak segan-segan kami mengumbar kemesraan dan aku pun tak malu untuk bermanja di depan teman-teman kami. Kami saling mengisi walaupun perbedaan usia kami terpaut 2 tahun.
Dalam menjalani hubungan, kami sering bertengkar. Masalah-masalah yang sepele pun menjadi hal yang besar.

Ilustrasi: IST
Aku pun kerap kali berpikir untuk menyudahi hubungan kami. Tapi, setiap kali bertengkar, aku melawan egoku untuk menyerah dalam hubungan.
Setiap kali merasa bosan, aku selalu berusaha menghilangkan rasa jenuh itu dengan mencoba variasi hubungan seperti travelling bersama. Aku berusaha keras mempertahankan hubungan kami.
Tak jarang, banyak godaan dalam hubungan kami. Godaan bersama laki-laki lain pun tak hanya satu dua kali menghampiriku. Hati kecil ini berkata untuk bertahan. Ku tepis semua itu karena aku yakin dia terbaik untukku.
Aku bertahan dan berhasil melewati tahun pertama, tahun kedua, dan tahun ketiga. Aplause dan ancungan jempol dari para sahabatku pun aku peroleh karena aku bisa bertahan lebih dari track record pacaran yakni lebih dari 7 bulan dan bahkan bisa menginjak usia tahun ketiga dalam pacaran.
Tahun ketiga, kami lalui dengan warna yang mencolok. Travelling berdua ke luar kota menjadi hobi kami ketika libur di akhir pekan. Kami pun sering bersama mengikuti acara keluarga besarku maupun dia.
Perjuanganku untuk bertahan dalam hubungan bersamanya membuahkan hasil yakni restu kedua orangtuaku yang menyetujui ke jenjang berikutnya walaupun keyakinan kami berbeda.
Tak pernah terbesit sedikit pun, hubungan kami berakhir. Semua terasa baik-baik saja dan indah yang kami lalui.
Empat tahun sudah aku mengenyam status mahasiswa. Gelar sarjana disematkan pada namaku dan menjadi pertanda aku harus kembali ke kota asal untuk memulai tingkat selanjutnya setelah 7 tahun merantau.
Kami tak mempermasalahkan hubungan yang jarak jauh atau long distance relationship. Janji untuk setia dan tetap bersama walaupun jarak memisahkan terucap dari kedua bibir kami. Kami tak ragu. Toh, kami sudah merasakan LDR yang hanya akhir pekan bertemu, saat menginjak tahun kedua pacaran kami.
Satu bulan LDR kami lalui. Memang sulit, rindu tak tertahankan untuk ingin bertemu. Saat itu, aku tak merasa aneh dalam hubungan dengannya sampai suatu ketika dia mulai jarang membalas pesan dan mengangkat teleponku.
Bulan kedua LDR, sikapnya mulai berubah. Tak ada kata-kata sayang, tak ada kata semangat untukku yang kala itu sedang berjuang memperoleh pekerjaan yang aku impikan.
Hingga suatu ketika, aku mendapatkan telepon darinya. Senang rasanya dia mulai meneleponku. Senyumku mengembang kala melihat nama dia pada layar handphone ini menelepon.
Tak sabar aku untuk mendengar suaranya. Namun, hati ini mengisyaratkan sesuatu yang buruk dalam hubungan kami. Ku tepis rasa gelisah itu.
Saling sapa, menanyakan kabar dan test yang telah aku lalui untuk peroleh pekerjaan, dia tanyakan kepadaku. Obrolan pun lancar dan masih baik-baik saja.
Lalu, intonasi suaranya pun mulai berubah. Terdengar ragu dan takut untuk mengatakannya. "Mmm... mmmm," katanya.
"Ada apa?," tanyaku
Ungkapan kejujuran dia yang jarang memberiku kabar selama sebulan terakhir meluncur dari mulutnya. Dia telah membohongiku.
Masih teringat jelas dalam benak ini kejadian 1 tahun 7 bulan lalu pada Sabtu malam. "Aku mau jujur sama kamu. Maaf. Aku jalan sama cewek," ucapnya perlahan.
Tenggorokan ini tercekat, air liur pun tak mampu aku telan. Hatiku berdegub dengan cepat, tanganku bergetar, dan mataku pun mulai berair.
Ku tarik nafas ini dan kembali bertanya kepada dia. "Sudah berapa lama?" Kataku.
"Sudah sebulan pacaran. Kita jadi teman ya," jawabnya.
Bagaikan bom waktu yang meledak di diriku. Duniaku saat itu berhenti bergerak.
Hati ini terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Perih. Tangisku pun pecah. Semua yang ku pertahankan dan mimpi untuk membangun keluarga bersamanya hancur seketika.
Aku lalu memintanya menelepon ku kembali. Aku menangis sekeras-kerasnya. Kutumpahkan rasa kecewa dan sakit ini. Ya Tuhan, inikah akhir hubungan tiga tahun 10 bulan yang telah aku pertahankan.
Memori bersamanya pun mulai bermunculan dalam pikiranku, dari mulai hubungan kami hingga saat itu, semua bergerak cepat, cepat, dan cepat.
Tak ada pilihan lain selain aku mengikhlaskan semua hubungan ini dan mimpi yang telah aku bangun.
Butuh waktu tiga jam untuk ku berusaha menangkan diri dan mulai kembali berbicara dengan dia.
Aku berusaha tenang tanpa ada sedikit pun isak tangis. Ya aku tak mau terlihat lemah.

Ilustrasi: IST
Aku pun meminta bertemu dengannya untuk terakhir kali dan menyelesaikan hubungan kami secara baik-baik. Memang susah untuk menuju ke kotanya, karena aku perlu izin dari kedua orangtua ku untuk bertemu dengan dia.
Kami bertemu di sebuah cafe yang sering kami kunjungi kala kami masih bersama. Gelisah menghantuiku dan rasa dingin mulai menjalari tubuhku. Aku berusaha setengah mati untuk menenangkan detakkan sedih hati ini.
Kami bertemu dan aku pun meminta dia menceritakan semuanya. Oh Tuhan, dia menangis menceritakan semua itu. Aku tak tahan membendung pulir air mata yang sudah berada di sudut untuk tidak jatuh.
Aku beranikan diri meminta izin untuk memeluknya terakhir kali.
Pelukan rasa sayang, kecewa, sakit, terimakasih telah menemaniku, ku berikan kepadanya. Berat rasanya, tapi aku mencoba ikhlas dan merelakan dia untuk berbahagia dengan perempuan yang pilihnya.
Perih hati ini untuk menerima kenyataan itu. Tapi apa yang bisa ku buat, apa yang bisa aku pilih selain merelakannya bersama dengan orang lain.
Keyakinan yang aku pegang hanya satu yakni semua yang terjadi dalam hidup ini adalah kehendak Tuhan dan rencana indah dalam hidupku.
Aku pun mengucapkan kata terakhir kepadanya untuk menutup kisah kami.
"Pergilah bersama dengan dia. Bahagiakan dia, jangan kamu sakiti dia seperti yang aku rasakan. Pertahanankan dia. Pergilah. Aku memaafkan dan mengikhlaskan kamu. Kebahagianmu juga kebahagianku. Maaf bila aku ada salah selama kita berpacaran dan terimakasih menemaniku selama 3 tahun 10 bulan ini," ucapku.
Tangisan deras meluncur dari kedua mata ini. Aku tak dapat menahan tangisan dan raunganku. Tangisan perjuangan ku untuk bertahan dalam hubungan. Tangisan kepercayaan, tangisan kecewa, tangisan mimpi yang hancur aku tumpahkan. Aku tak peduli dengan tatapan para pengunjung cafe saat itu yang melihat kami berpelukan dan menangis.
Hubungan yang aku pertahankan, perjuangkan, dan banggakan hancur berkeping-keping.
Sekarang sudah setahun lebih tujuh bulan peristiwa itu berlalu. Luka hati ini pun belum sepenuhnya terobati. Goresan masih terlihat, nyeri masih terasa.
Ku coba tegar menghadapi kenyataan itu dan menjalani lembaran baru, namun aku tahu, aku masih rapuh.
Aku tak memungkiri rasa sayang ini masih ada di hati ini. Ya tak bisa ku lupakan hubungan yang telah lama aku jalani seperti mudahnya membalikkan telapak tangan.
Walaupun aku menjalin hubungan dengan pria, tapi tetap saja hati ini terasa hampa.
Aku tak tahu bagaimana memulai bermimpi kembali untuk akhir yang indah dalam sebuah hubungan asmara.
Aku tak tahu bagaimana membuat hati ini kembali mencintai sepenuh hati atau 100% setelah terluka.
Aku tak tahu bagaimana membuat hati ini kembali percaya. Aku pun tak tahu bagaimana aku dapat melawan sifatku yang bosan dan mempertahankan sebuah hubungan.
Aku terjebak dalam ketakutan dan rasa sakitku. Semua terasa gelap tanpa ada sinar sedikit pun di hati ini. (EVN, Jakarta)
Di era 80'an atau 90'an, para remaja biasa menuangkan perasaan dan pengalaman pribadi di buku (diary). Saat ini mediumnya lebih beragam. Dengan perkembangan teknologi, orang bisa menulis di blog, media sosial, atau lembar catatan di ponsel cerdas.
Menulis adalah salah satu terapi bermanfaat untuk menyegarkan pikiran dan perasaan. Sejumlah pakar psikologi percaya bahwa menulis bisa membantu meluruhkan tekanan pikiran dan emosi. Seiring kata-kata berjatuhan dari pikiran dan hati ke atas kertas atau layar komputer, orang akan merasa lebih baik setelahnya.
Menuangkan curahan hati dalam tulisan juga bisa menjadi pelajaran berharga bagi orang lain yang membacanya. Sebab, setiap orang sesungguhnya adalah guru kehidupan bagi orang lain.
Rona.metrotvnews.com membuka ruang untuk Anda berbagi kisah, dan pengalaman. Anda bisa berpartisipasi untuk berbagi kisah ke email kami diaryrona@gmail.com.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News(FIT)
