"Bahayanya banyak sekali. Karena sebenarnya obat-obatan yang beredar harus ada izin BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)," ujar dr. Andri, Sp.KJ, FACLP selaku Ahli Psikosomatik di Pullman Hotel Thamrin, Jakarta Pusat.
Sedangkan kalau beli obat secara online, kata dr. Andri, tidak terlihat dengan jelas apakah obat tersebut ada izin BPOM. Khususnya, untuk obat antidepresan.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Obat ini sendiri tak sembarang bisa diberikan kepada siapapun.
Sebab, calon peminumnya harus diperiksa terlebih dahulu oleh sang ahli, katakanlah psikiater atau dokter dengan spesialis kedokteran jiwa (Sp.KJ). Kondisi gangguan jiwa pun ada tingkatannya dan setiap orang tidaklah sama.
.jpg)
(Berkonsultasi dengan psikiater itu loving dan touching. Sehingga pasien dengan depresi tidak bisa dilakukan secara online, ditambah lagi dengan pembelian obat antidepresi secara daring yang belum tentu tepat dan berizin BPOM. Foto: Pexels.com)
"Ada indikasi tertentu ketika memberikan obat. Tidak bisa tuh identifikasi secara online. Salah satu obatnya deluxetine. Itu enggak bisa (asal dikonsumsi) karena tanggung jawabnya ke dokter," tuturnya.
Apabila dijual di e-commerce, khawatir obat tersebut malah palsu. Manfaat obat yang diharapkan orang yang mengonsumsinya pun bisa berbeda. Bahkan, bisa menyebabkan masalah lain.
"Kedua, bisa mengalami masalah lain seperti ketergantungan atau enggak bisa lepas," tuturnya.
Sepaham dengannya, Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Dr. dr. Diah Setia Utami, Sp.KJ, MARS, menyatakan ada keterbatasan. Apabila melakukan konsultasi secara online akan berbeda dibandingkan secara langsung.
"Terbatas. Psikiater itu loving dan touching. Bayangkan kalau hubungannya pakai gadget. Psikoterapi itu tidak bisa pakai gadget, harus ada orangnya," papar Dr. Diah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News(TIN)