Seorang perawat yang bertugas menangani pasien covid-19 di RSUD Cengkareng, Sudarman, menceritakan bagaimana ia yang sebelumnya bertugas di bagian bedah harus diperbantukan ke bagian ICU oleh karena bertambah banyaknya pasien Covid-19.
Bangga bisa terpilih menjadi perawat pasien covid-19
“Semenjak RSUD Cengkareng menjadi rumah sakit rujukan untuk covid-19, saya diperbantukan untuk merawat pasien di ruang ICU untuk pasien covid-19. Saya merasa senang karena bisa terpilih menjadi perawat yang merawat pasien covid-19 di ICU,” tutur Sudarman.Sudarman juga merasa bangga karena dirinya bisa terpilih menjadi perawat pasien covid-19. Pemberitaan di berbagai media mengenai perjuangan para tenaga kesehatan yang menangani covid-19 juga menambah kebanggan Sudarman mengingat tidak semua orang bisa merawat pasien covid-19.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
“Ada kriteria yang dipilih untuk menangani pasien covid-19. Di antaranya adalah usia yang harus dibawah 40 tahun, tidak memiliki sakit apapun, dan juga yang mempunyai keahlian merawat dan memang ada pelatihannya terlebih dahulu sebelum bisa merawat pasien,” ujar Sudarman.
Cerita saat merawat pasien covid-19
Pada awalnya, Sudarman mengakui bahwa ia sempat merasa khawatir. “Manusiawi ya, khawatir terkena paparan, juga pada saat awal-awal covid-19 ini memang kekuarangan APD, kekurangan masker juga, sehingga kita merasa khawatir,” ujar Sudarman.“Namun sekarang ini sudah ada banyak bantuan dan dari Pemda juga ada bantuan sehingga APD mulai tercukupi dan kami merasa lebih nyaman dan tidak khawatir lagi,” tambah Sudarman.
Ia juga menceritakan bahwa memakai APD sangatlah tidak nyaman tetapi harus dilakukan demi keselamatan.
Selain itu, mengingat Sudarman bertugas di ICU sehingga pasien yang dirawat biasanya sudah dalam kondisi yang cukup berat.
“Karena saya di ruang ICU khusus covid-19, pasiennya memang yang benar-benar membutuhkan perawatan total.selain memberikan perawatan, kami juga harus menjaga kebersihan pasien seperti membantu mereka mandi namun tetap memakai APD,” ujar Sudarman.
“Menggunakan APD itu kan tidak nyaman ya, aktivitas juga jadi terbatas, ditambah gerah dan sesak. Pernah waktu itu saya baru satu jam memakai APD langsung merasa pusing. Ditambah juga pada awal-awal, pasien bahkan ada yang muntah, sehingga kami harus membersihkan semuanya. Meskipun begitu kami tetap melakukan semaksimal mungkin karena itu kewajiban,” tuturnya.
Pernah sempat ingin menyerah
Pada saat awal-awal menangani pasien covid-19, Sudarman bercerita bahwa dirinya sempat ingin menyerah, apalagi rasa tidak nyaman karena APD yang membuat ia merasa sangat sesak.“Ingin melepas semuanya, tetapi saya tahan karena biasanya kami berjaga paling lama empat jam dan biasanya bergantian dengan rekan yang lain,” tutur Sudarman.
Selain rasa tidak nyaman, Sudarman juga merasa khawatir ketika harus pulang ke rumah dan stigma negatif dari tetangga sekitar rumahnya.
“Pada awalnya saya pulang ke rumah setiap habis bekerja, tetapi karena di rumah ada anak bayi saya merasa sangat khawatir. Meskipun pakai APD tetap saja merasa khawatir. Stigma negatif itu juga ada dari tetangga sekitar,” tuturnya.
“Saya sadar diri dengan stigma negatif tersebut, saya kan terjun langsung menangani pasien covid-19 sehingga saya pun selalu membatasi diri dalam melakukan sosialisasi. Bahkan anak saya pun dititipkan ke tetangga agar tidak ada kontak langsung. Jadi meskipun saya pulang ke rumah, saya tidak bisa bertemu anak,” tutur Sudarman.
Kampanye #TempatSingahPejuangMedis
Selain Alat Pelindung Diri (APD) dan asupan gizi, hal lain yang tidak kalah penting dibutuhkan para pejuang medis adalah tempat tinggal sementara. Selain untuk beristirahat dengan nyaman, juga mencegah potensi penyebaran virus kepada orang lain, seperti keluarga maupun masyarakat.Dari situlah, Habitat for Humanity Indonesia menginisiasi campaign #TempatSingahPejuangMedis untuk mendukung para Pejuang Medis memperoleh tempat istirahat yang aman dan nyaman.
Sejak 13 April 2020 memulai program ini, Habitat berusaha untuk dapat melayani 600 pejuang medis dari beberapa rumah sakit rujukan penanganan pasien covid-19 di Jakarta dan Surabaya.
Direktur Nasional Habitat for Humanity Indonesia, Susanto, menuturkan “Kami sangat mengapresiasi segenap masyarakat yang turut bekerja bersama kami melakukan misi ini. Pandemi ini masih belum usai, para pejuang medis tetap berjaga di garda depan dan kami kembali mengajak kita semua untuk melanjutkan perjuangan ini bersama-sama,” ujarnya dalam acara Virtual Press Conference Gerakan “Tempat Singgah” Bagi Tenaga Medis, Rabu, 10 Juni 2020.
“Habitat for Humanity Indonesia berencana untuk memperluas bantuan kepada lebih banyak rumah sakit rujukan di beberapa kota. Untuk itu kami mengajak masyarakat untuk tetap memberi dukungan agar kita dapat melayani setidaknya 1.200 pejuang medis di garda terdepan”.
Perasaan Sudarman setelah mendapatkan tempat singgah
Sudarman menceritakan bahwa dengan adanya program Tempat Singgah bagi Para Tenaga Medis ini membuat dirinya merasa nyaman dan tenang.“Sekarang sudah tidak merasa was-was lagi, habis pulang kerja kami langsung pulang ke hotel. Meskipun memang tidak bisa bertemu dengan keluarga. Ada perasaan kangen dan sedih, tetapi untungnya masih bisa berkomunikasi melalui handphone dengan mereka,” tuturnya.
“Kami juga mengucapkan banyak terima kasih untuk tim dari Nasional Habitat for Humanity Indonesia, seluruh masyarakat dan donatur atas semua bantuan untuk kami dalam menyediakan fasilitas rumah singgah. Sehingga kami bisa merasa nyaman dan akomodasi untuk ke rumah sakit bisa lebih cepat. Kami berharap program ini bisa terus berlanjut nantinya,” tutup Sudarman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News(TIN)