Kejanggalan ini dirasakan oleh banyak perempuan termasuk Abby Gina, seorang perempuan yang akhirnya menerjukan dirinya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.
Dia mulai mengendus ketidakadilan ketika ada sebuah pandangan dari lingkarannya sendiri yang menyatakan bahwa perempuan dianggap tidak perlu mengenyam pendidikan yang tinggi layaknya laki-laki.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
“Berdasarkan pengalaman saya, di keluarga besar ada pertanyaan ‘untuk apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi, toh ujungnya jadi istri orang juga. Investasi pada anak perempuan tidak akan memberikan banyak kontribusi buat keluarga’ cara pikir demikian amatlah bias dan diskriminatif," katanya.
"Mengapa masa depan perempuan direduksi pada hal-hal yang sifatnya domestik saja padahal sebetulnya kalau perempuan dapat mengenyam pendidikan tinggi otomatis itu akan membuka peluang lebih baik baginya dalam pasar kerja. Oleh sebab itu pendidikan menjadi penting sebab melalui pendidikan tinggi secara tidak langsung perempuan diberdayakan baik secara ekonomi, sosial, dan politik."
"Pendidikan bagi perempuan dengan demikian amat bermanfaat baik untuk pemenuhan dirinya sebagai individu, bagi keluarga, dan juga masyarakat,” ungkapnya pada Medcom.id.
Menurutnya, penting adanya kesempatan yang setara bagi setiap orang. Kesempatan baik itu pendidikan, kerja, politik dan lain sebagainya seharusnya terbuka bagi tiap orang tanpa mendiskriminasi jenis kelamin, gender, seksualitas, suku, ras dan lain sebagainya.
Abby mulai mengidentifikasi secara lebih serius permasalahan perempuan sejak dia masuk kuliah jurusan Filsafat di Universitas Indonesia. Di sini dia tertarik untuk mendalami teori-teori feminisme.
“Salah satu mata kuliah yang paling berkesan adalah mata kuliah paradigma feminisme. Di sana ada berbagai teori pemikiran feminis yang membahas tentang ketidakadilan terhadap perempuan dari segi ilmu pengetahuan, ekonomi, pendidikan, politik, dan lain sebagainya," paparnya.
"Dan pemikiran tersebut memberikan perspektif baru dan kemungkinan untuk menjawab soal ketimpangan gender dalam keluarga dan juga masyaraat. Pemikiran feminisme memungkinkan adanya tatanan masyarakat yang setara bagi perempuan dan berbagai kelompok marjinal lainnya. Sebab pemikiran ini, menyuarakan suara-suara liyan yang selama ini didiamkan dan dibuat tidak terlihat."
"Belajar dari kelas itu saya lebih menyadari pentingnya menyuarakan isu-isu kemanusiaan dan soal kesetaraan, dan saya terpanggil untuk ambil bagian di dalamnya,” jelasnya.
(“Dalam perjalanan saya menemukan bahwa pandangan masyarakat tentang keterbatasan perempuan atau tidak pentingnya perempuan mengenyam pendidikan yang tinggi sudah terpatahkan," kata Abby. Foto: Dok. Abby Gina)
Dunia aktivisme
Belajar di ruang-ruang kelas tidaklah cukup. Abby menyadari adanya gap antara teori dengan realitas keseharian. Memahami teori tentu penting untuk bagian dari advokasi keadilan gender, tetapi pengalaman konkret mereka yang mengalaminya langsung juga adalah sumber pengetahuan yang sama pentingnya untuk dipahami.Baginya pemahaman di tataran teori saja tidaklah cukup. Alhasil dia berkeinginan untuk terlibat langsung dalam mendengar pengalaman para perempuan korban kekerasan berbasis gender dengan bergabung menjadi relawan Komnas Perempuan.
“Tapi ternyata mengetahui teori saja tidak cukup. Setelah lulus saya memutuskan bergabung menjadi relawan di Komnas Perempuan dan mengetahui bahwa bahkan banyak sekali kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan jauh lebih kompleks dari apa yang saya pelajari dalam teori,” ungkapnya.
Menerima laporan kekerasan membukakan pandangannya bahwa permasalahan ketidakadilan perempuan sungguhlah nyata. Dia memahami bahwa semakin lemah posisi perempuan, maka semakin rentan juga keamanannya.
“Paling menyedihkannya, kekerasan pada perempuan itu paling tinggi terjadi di ranah keluarga, padahal harusnya rumah adalah tempat yang aman bagi setiap orang,” jelasnya.
“Latar belakang kekerasan ini sebetulnya bermacam-macam. Pelakunya juga macam-macam dari tingkat pendidikan, umur, profesi, dan lain-lain. Namun tentunya mereka yang tidak berdaya secara ekonomi menjadi lebih rentan posisinya di dalam siklus kekerasan tersebut,” ungkapnya.
Tak hanya itu, saya juga mengikuti aksi-aksi damai bersama kelompok perempuan untuk menyuarakan kepentingan perempuan.
Suara yang datang dari berbagai kalangan dengan masalahnya yang berlapis-lapis itu semakin memberikan pemahaman bahwa ada banyak hal yang perlu dilakukan untuk menegakan suasana yang lebih adil untuk para perempuan.
“Saya senang terlibat dalam proses mendorong keadilan gender dalam konteks praktis. Di sini saya berperan untuk memberikan pelayanan dan pendampingan. Akan tetapi, lagi-lagi ada yang terasa kurang dan tak terpenuhi,” ungkapnya.
“Saya merasa mungkin ada cara di mana saya bisa berkontribusi tentang kesetaraan gender dengan cakupan yang lebih luas. artinya tidak hanya berdampak pada orang perorangan, tetapi pada audiens yang lebih luas, yaitu lewat tulisan dan ruang-ruang pembelajaran” jelasnya.
(Abby mengambil S2 di jurusan filsafat lagi dengan mengambil fokus feminisme untuk memperkaya pemahamannya tentang permasalahan perempuan. Foto: Dok. Abby Gina)
Memperkaya pemahaman tentang permasalah perempuan
Akhirnya Abby memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya. Dia mengambil S2 di jurusan filsafat lagi dengan mengambil fokus feminisme untuk memperkaya pemahamannya tentang permasalahan perempuan.“Yang menarik di sini jadi punya kesempatan untuk terlibat dalam penelitian ilmiah terkait isu-isu perempuan. Dalam prosesnya, saya jadi yakin bahwa salah satu cara untuk memenuhi misi kesetaraan gender adalah melalui dunia pendidikan,” ujarnya.
Dia mendapat kesempatan untuk membagi apa yang dia pelajari ke mahasiwa dan mahasiswi. “Dari sana saya mendapatkan kesempatan untuk membantu dosen saya mengajar di Universitas Indonesia untuk mengajar mata kuliah feminisme,” ungkapnya.
“Di situ saya melihat, banyak mahsiswa yang menghadapi tantangan yang serupa soal ketidakadilan. Bahkan beberapa dari mereka ingin memfokuskan diri atau melakukan penelitian lebih dalam tentang isu tersebut dengan mengaitkannya dengan pengalaman dan keterkaitannya masing-masing,” ujarnya.
Momen ini memberikan dirinya keyakinan untuk membantu menegakan keadilan gender melalui pendidikan.
“Dari sana saya yakin, akan lebih menarik kalau saya ambil bidang pendidikan untuk mendorong isu kesetaraan gender. Di situ kita bisa ambil peran mengubah cara pandang, membangun kesadaran dan cara pandang banyak orang (setidaknya mahasiswa-mashasiwa itu),” jelasnya.
Mengangkat pengalaman yang sebelumnya abstrak bisa diterima kalangan lebih luas
Permasalahan pada perempuan begitu beragam, berlapis-lapis, personal, dan konkret. Ketika seorang perempuan hadir dengan permasalahan seperti itu, suaranya akan sulit untuk dipertimbangkan karena dianggap tidak valid.
Abby merasa bahwa di sinilah pengetahuan memiliki peranan yang besar dalam membuat suatu perubahan.
“Kekuatan ini (pengetahuan) menjadi sangat penting karena kita bisa mengangkat pengalaman ketidakadilan terhadap minoritas perempuan secara sistematis, logis, kritis agar kita bisa membangun saran atau masukan yang secara rasional bisa diterima oleh kalangan lebih luas,” jelasnya.
Akademisi atau peneliti bisa membunyikan persoalan yang sebelumnya dianggap bukan persoalan menjadi sesuatu yang penting untuk diperhatikan. Langkah ini tentunya bisa sedikit demi sedikit mendorong orang-orang untuk melakukan perubahan.
Abby pun terus melanjutkan perjuangannya dengan bergabung dengan organisasi non profit bernama Jurnal Perempuan (JP) yang sudah berdiri sejak 1996 .
Tempat yang mengankat isu gender ini menjadi wadahnya untuk mengelaborasi hal-hal yang telah dilakukannya selama ini dalam memperjuangkan keadilan terhadap perempuan seperti menolong individu per individu, menyampaikan aspirasi melalui aksi damai, meneliti, memproduksi jurnal ilmiah, memberikan pendidikan publik dan masih banyak lagi.
“JP itu sebetulnya sintesis antara kerja aktivisme dan kerja akdemik. Dalam hal ini teori dan praktik bukan menjadi hal yang berbeda, mereka menjadi integral. Mengingat komitmen feminisme sendiri bahwa perubahan tataran teoritis harus pula menghasilkan perubahan di tataran praktis,” jelasnya.
Dia turut mengikuti berbagai penelitian antara lain penelitian kawin kontrak, perempuan nelayan, perempuan dan kesehatan, perempuan dalam SAINTEK, seksualitas perempuan, kesehatan reproduksi, perempuan dan demokrasi, dan masih banyak lagi.
Abby pun terus terdorong memperkaya pengetahuan tentang pengetahuan feminisnya secara lebih kritis. “Saya merasa ada kebutuhan lagi untuk menambah pengetahuan saya lewat pendidikan yang lebih tinggi. Saya lanjut mengambil doktoral di filsafat UI dengan isu yang sama tentang etika feminisme,” ungkapnya.
("Dalam prosesnya, saya jadi yakin bahwa salah satu cara untuk memenuhi misi kesetaraan gender adalah melalui dunia pendidikan,” ujar Abby. Foto: Dok. Abby Gina)
Perempuan menginspirasi perempuan
Satu hal yang tak boleh terlupakan bahwa satu pergerakan yang dilakukan seorang perempuan akan memengaruhi perempuan lainnya. Seperti yang sebelumnya disebutkan oleh aktivis kemanusiaan asal Amerika, Maya Angelou bahwa setiap kali seorang perempuan membela dirinya sendiri, tanpa menyadarinya, tanpa mengklaimnya, dia membela semua perempuan.Abby terus melakukan perjuangannya ini karena terinspirasi oleh seorang aktivis gerakan perempuan yang juga adalah dosennya yaitu Gadis Arivia.
Dia melihat bahwa perempuan bisa mengambil peran cukup banyak, bahwa perempuan memiliki kepasitas besar untuk melakukan perubahan, dan bagaimana perempuan bisa saling mendorong perempuan lainnya untuk maju.
“Gadis Arivia, salah satu dosen yang paling inspiratif yang selalu menyertakan isu perempuan dalam setiap mata kuliah yang diampunya, mengangkat pengalaman konkret menjadi sumber pengetahuan, dan memperjuangkan perempuan dan kelompok-kelompok terdiskriminasi. Dia sosok yang inspiratif, di kelompok terkecil bahkan ke skala yang cukup besar,” jelasnya.
Dia percaya bahwa setiap perempuan yang berusaha untuk melakukan perubahan dan mau berjuang untuk dirinya sendiri maupun orang lain bisa memengaruhi perempuan-perempuan lainnya untuk melakukan hal yang sama.
Pengetahuan adalah sarana untuk melampaui pemaknaan yang ditentukan oleh masyarakat
Bila sebelumnya Abby pernah menemukan masalah tentang perempuan tak usah sekolah tinggi-tinggi karena dianggap usahanya itu tak berguna, sekarang Abby meminta pada orang yang menerima ujaran tersebut untuk tidak mendengarkannya.
“Dalam perjalanan saya menemukan bahwa pandangan masyarakat tentang keterbatasan perempuan atau tidak pentingnya perempuan mengenyam pendidikan yang tinggi sudah terpatahkan, terbukti di mana banyak perempuan inspiratif di sekitar saya yang bisa berdiri untuk dirinya sendiri, keluarganya, kelompoknya, dan masyarakatnya. Mereka punya daya yang besar untuk mendorong dan menghasilkan perubahan lebih baik,” ujarnya.
Percayalah setiap dari kita punya kesempatan untuk mengambil peran. “Buat saya pribadi pendidikan atau pengetahuan membantu saya melampaui pemaknaan yang ditentukan oleh masyarakat,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News(TIN)