Malahan, ada yang membuat beduk dari styrofoam untuk sekadar dipasang di sudut gedung, kantor, maupun pusat perbelanjaan. Ada pula dalam bentuk cetak yang menempel dan menghiasi kartu ucapan, amplop angpau, maupun buah tangan grafis yang bertebaran di media sosial.
Nyatanya, beduk tidak serta merta diakui sebagai simbol tradisi keislaman dalam sekali pukul saja. Perjalanan cerita yang ditempuh cukup panjang, bahkan disertai sedikit banyak pertentangan.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Sumber suara
Beduk termasuk alat musik pukul semacam gendang. Cuma dalam keumumannya memiliki diameter dan bentuk lebih besar. Sebutan beduk, mengacu pada aturan baku berbahasa Indonesia. Sebagian besar orang menyebutnya dengan mengganti akhiran 'k' dengan huruf 'g', bedug.
Dalam catatan sejarah Indonesia, ada tiga asal negara yang dinyana kuat berperan mengenalkan alat musik beduk ke Nusantara. Yakni, Tiongkok, Korea, juga Jepang.
Dengan Tiongkok, keberadaan beduk di Indonesia sering dikait-pautkan dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho di Semarang pada abad ke-15. Kabarnya, Cheng Ho gemar menghadiahi raja-raja Jawa dengan beduk, seiring itu beduk juga digunakan di klenteng, maupun kuil agama Hindu dan Budha.
Untuk Korea dan Jepang, memang tak memiliki banyak cerita tentang bagaimana kedua negara itu membekasi Indonesia dengan tradisi beduk. Tapi, dalam Musik dan Kosmos: Sebuah Pengantar Etnomusikologi (2000), Shin Nakagawa menyebut benda serupa beduk merupakan tradisi tua di 'negeri-negeri matahari terbit'.
Di Jepang tempo dulu, beduk digunakan sebagai kode dibuka dan ditutupnya gerbang kerajaan. Beduk juga ditabuh setiap dua jam sekali sebagai penanda waktu.
"Oleh karena itu orang-orang yang bertempat tinggal di sekitar Heiankyo akan mendengar suara beduk 16 kali sehari," tulis Nakagawa.
Di Korea dan Jepang, beduk juga digunakan sebagai instrumen peribadatan. Akan tetapi, kehadiran beduk di Indonesia memang lebih banyak dipengaruhi kebudayaan Tiongkok.
Masih dalam riwayat ekspedisi Cheng Ho, misalnya, pengenalan tradisi beduk melalui utusan Dinasti Ming yang beragama Islam itu kemudian digetok-tular sebagai alat syiar Islamisasi yang kian massif pada abad ke 15 hingga 16 Masehi.
Beduk dipasang di langgar, musala, dan di masjid sebagai penanda masuknya waktu salat. Alat tabuh yang terbuat dari kayu dan balutan kulit kerbau atau binatang lainnya itu terkadang ditemani dengan satu alat pukul lain yang disebut kentung, kentong, atau kentongan.
"Sebelum abad ke-20 masjid-masjid di Asia Tenggara tak memiliki menara untuk mengumandangkan azan. Sebagai gantinya, masjid-masjid dilengkapi sebuah genderang besar (bedug), yang dipukul sebelum azan dikumandangkan," tulis Peter JM. Nas, dalam Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia (2009).

Pengrajin sedang membuat beduk di kawasan Pasar Kambing, Tanah Abang, Jakarta Pusat/ANTARA/Pradita Utama
Sawala
Beduk memang tidak pernah terekam keberadaannya di masa kenabian Rasulullah Muhammad SAW. Maka, tak ayal, kehadiran beduk di masjid pada mulanya memunculkan pertentangan antarkomunitas Islam di Indonesia.
Beduk, oleh sebagian kelompok dianggap bidah yang menyimpang. Gambaran ini agak sedikit jelas ketika menyimak satu babak dalam film garapan Rhoma Irama berjudul Sajadah Ka'bah yang dirilis pada 2011.
Ketika berkunjung ke sebuah musala, Rhoma menanyakan keberadaan beduk yang ditutup terpal dan tidak digunakan Ustaz Hasan yang diperankan pelawak senior, H Komar.
Komar menganggap beduk tak layak digunakan lantaran bidah. Akan tetapi ketika ia hendak menggunakan pengeras suara untuk mengumandangkan Azan, Rhoma cepat-cepat mematikan sepeaker tersebut dan menyindir dengan perkataan serupa.
"Ini bidah. Nabi tidak pernah memakai speaker," jawab Rhoma ketika ditanya Hasan.
Pertentangan seperti ini cukup memanas di era 1970 hingga 1990-an. Kedua kelompok yang berhadapan itu adalah komunitas tradisionalis yang diwakili Nahdlatul Ulama (NU), serta kelompok modernis seperti Muhammadiyah dan lain-lain.
NU, sejak Muktamar ke-11 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada 1936 sudah meneguhkan penggunaan beduk sebagai media syiar dan dakwah keislaman. Pemasangan beduk di masjid dan di musala, bukan sesuatu yang layak dipermasalahkan.
"Baik beduk maupun azan dua kali dalam salat Jumat dianggap bidah kelompok modernis karena keduanya adalah hal baru yang tidak pernah ditemukan dalam kehidupan Nabi," tulis Endang Turmudi, dalam Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan (2004).
Di tengah pertentangan berlangsung, Pemerintah Orde Baru juga mulai menggunakan beduk dalam acara-acara peresmian bernuansa keagamaan. Seiring waktu, perbedaan pendapat itu bergeming dikalahkan pengeras suara yang nyaris terpasang di seluruh masjid dan musala.
Beduk, menjadi bagian penting dalam sejarah penyebaran Islam di Indonesia. Terlebih dalam perayaan hari-hari besar, sejatinya kehadiran alat pukul ini sudah dianggap penting sejak dulu kala.
"Pukulan bedug juga menandai awal dan akhir puasa serta hari raya haji. Kebiasaan itu umum berlaku di seluruh pelosok Nusantara,” tulis Denys Lombard, dalam Nusa Jawa: Silang Budaya 2 (2005).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News (SBH)