Sayangnya, momen lebaran seringkali bukan hanya sebagai ajang silaturahmi saja, melainkan juga unjuk 'kesuksesan' seseorang yang mampu membeli segala hal dalam bentuk baru untuk dipamerkan. Baju baru, mobil baru, perhiasan baru, bahkan jika mungkin rumah baru.
Padahal menurut Passion Coach Dedi Dahlan, ketika pulang kampung esensi yang ingin didapatkan adalah silaturahmi dan rasa syukur dapat kembali bertemu dengan Idul Fitri. Hanya saja makna itu sepertinya sudah bergeser dari ajang silaturahmi menjadi ajang pamer kekayaan.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Awalnya kalau saya lihat perlambang sesuatu yang barunya sendiri adalah Idul Fitri, kebersihan kita menyambut sesuatu yang bersih tapi lama-lama jadi sekadar baju koko baru, berubah jadi jam baru, mobil baru, kesannya semua (barang) harus baru," ujarnya dalam Metro Plus,Kamis 15 Juni 2017.
Hal seperti itu menurut Dedi kemungkinan wajar saja terjadi. Pasalnya secara struktural manusia mencoba memenuhi segala kebutuhan dari yang paling sederhana hingga paling tinggi. Seperti mengutip piramida kebutuhan Maslow.
Menurut Dedi, dalam piramida itu secara strukturlal manusia akan memenuhi kebutuhan paling dasar seperti sandang, papan, dan pangan. Ketika sudah terpenuhi akan mengejar level yang lebih atas lagi yakni rasa aman. Kemudian di atasnya adalah kebutuhan akan cinta dan hubungan serta sense of belonging.
"Dan dua tertinggi adalah aktualisasi diri. Self esteem atau membanggakan diri dan self actualization," katanya.
Dari kebutuhan untuk membanggakan diri inilah timbul keinginan untuk memiliki benda-benda atau barang baru sebagai bentuk kebanggaan. Hal ini untuk menunjukkan bahwa mereka telah melewati tiga tahap terendah dan sadar tidak sadar akan masuk pada kebutuhan untuk membanggakan diri.
Sifat untuk membanggakan diri dengan perilaku konsumtif yang memakan banyak dana itu, kata Dedi, tak jadi soal ketika memang seseorang itu mampu untuk memenuhinya. Namun akan jadi masalah jika untuk memenuhi itu harus mengorbankan diri agar mendapat pengakuan orang lain, misalnya dengan berhutang.
Menurut Dedi, cukup banyak orang yang memilih pekerjaan tidak sesuai passion atau minatnya. Mereka hanya bekerja karena gengsi tinggi dan kemudian menghasilkan uang untuk kebutuhan yang tidak perlu.
Kebanyakan dari mereka membelanjakan uangnya untuk hal-hal yang sifatnya agar bisa ditunjukkan kepada orang lain untuk membuktikan bahwa dia sukses padahal kenyataannya tidak menikmati keadaan sebenarnya.
"Sayangnya ini masih menjadi budaya, kebiasaan masyarakat Indonesia. Suka hanya melihat kulitnya saja," kata Dedi.
Dedi menyebut bahwa gaya hidup semacam itu tak lain ditularkan dari tayangan televisi, utamanya sinetron yang menunjukkan bahwa mereka yang memiliki kendaraan mentereng dan berpakaian bagus adalah contoh dari lambang kesuksesan.
Jika hal itu terus terjadi, lama-lama orang tidak lagi melihat kesuksesan, keberhasilan seseorang dalam bekerja. Ujung-ujungnya yang dilihat hanya uang dan sesuatu yang dibeli dengan uang.
Padahal jika diingat kembali, bahwa harga diri itu tidak tergoyahkan. Berkarya sesuai dorongan hati, selalu memilih yang baik diantara yang buruk walaupun sulit, itulah yang seharusnya dibanggakan.
"Sebaiknya secukupnya saja, yang penting esensi yang kita tampilkan adalah apa yang telah kita raih sehingga kita tidak menipu diri sendiri. Kembali kita perlahan mengingat prosesnya, seringkali kita hanya mengingat goal-nya saja, prosesnya kita lupakan," jelas Dedi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News (MEL)
