Berita tentang informasi Ramadan 2024 terkini dan terlengkap

Ilustrasi - Malam Penghormatan Sitor Situmorang. (ANTARA FOTO/Teresia May)
Ilustrasi - Malam Penghormatan Sitor Situmorang. (ANTARA FOTO/Teresia May)

Mudik dan Puisi Malam Lebaran Sitor Situmorang

Sobih AW Adnan • 24 Juni 2017 19:54
medcom.id, Jakarta: Puisi sebaris 'Bulan di atas kuburan' dalam judul Malam Lebaran pernah membuat geger dunia kesusasteraan Indonesia. Sejumlah tanya tentang makna jelasnya bertubi-tubi menyerang sang pengarang, Sitor Situmorang.
 
Puisi fenomenal itu termaktub pada kumpulan Dalam Sajak (1955).
 
Kemustahilan

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Kritikus sastra Maman S. Mahayana dalam Kitab Kritik Sastra (2015) mengatakan, karya Sitor ini termasuk puisi pendek yang memiliki citraan yang kuat.
 
"Dalam banyak puisi, pemanfaatan bulan untuk menghadirkan citraan penglihatan atau penciptaan suasana, memang efektif," tulis Maman.
 
Dari segi pemaknaan sederhana, Malam Lebaran, tidak sekadar menunjukkan waktu sebuah perayaan keagamaan. Menurut Maman, puisi itu juga mempertegas tentang kesia-siaan.
 
"Dalam konteks puisi tadi, logika puisi tentu saja tidak harus selalu sejalan dengan logika atau penalaran dalam realitas kehidupan yang sebenarnya," tulis Maman masih dalam buku yang sama.
 
Memang benar. Bagaimana bisa malam Idulfitri yang jatuh pada 1 Syawal dalam penanggalan Hijriah menampakkan bulan selain yang cuma segaris tipis. Puisi Sitor, secara kasat mata amat membelakangi kenyataan.
 
Penyair Ahmad Gaus, dalam Kutunggu Kamu di Cisadane: Antologi Puisi Esai (2012) menyebut, bahwa sejati puisi adalah tak terang dalam mengantarkan arti.
 
"Membaca puisi ialah memasuki lorong-lorong gelap yang saya tidak tahu apakah di kiri-kanannya ada ranjau dan di ujung sana ada jurang," tulis Gaus.
 
Puisi Sitor yang satu ini, menurut Gaus, pantas jika menimbulkan banyak tafsir. Banyak penafsiran, justru menunjukkan puisi itu kian baik.
 
"Karena itu, puisi tersebut sangat kaya makna," tulis dia.
 
Kaum urban
 
Dua kali puisi Bulan di atas kuburan diangkat ke layar lebar. Dua kali pula, ceritanya serupa, soal kehidupan liar di ibu kota.
 
Film pertama, disutradarai Asrul Sani yang pemutaran pertamanya dilakukan pada 1973. Kisahnya, memuat tentang kehidupan urban perkawanan pemuda Batak yang diperankan aktor kawakan Muni Cader dan Rachmat Hidayat.
 
Drama ini, digarap ulang dengan judul yang sama pada 2015 lalu. Artis sekelas Rio Dewanto, Donny Alamsyah, Atiqah Hasiholan, Tio Pakusadewo, dan Ria Irawan turut meramaikan film di bawah arahan sutradara Edo W.F Sitanggang.
 
Mudik dan Puisi Malam Lebaran Sitor Situmorang
Kru dan pemain film Bulan di Atas Kuburan (Foto:Metrotvnews.com/Agustinus Shindu A)
 
Meski ada perbedaan dan pengembangan di beberapa liuk alur, namun sejatinya sama. Kedua film itu bercerita tentang tiga sahabat yang meninggalkan kampung halaman mereka di Samosir, Sumatra Utara.
 
Cerita dimulai ketika ketiganya sampai di Jakarta. Mereka terpisah dan menempuh hidup masing-masing. Dalam beberapa adegan, tampak pesan kerasnya kehidupan yang dialami para kaum urban. Persahabatan dan kemanusiaan rawan dikorbankan.
 
Asrul Sani, memang pernah diceritakan menggarap dan memutar film itu tanpa sepengetahuan Sitor. Tapi dari tema yang diangkat, sepertinya memang terinspirasi penjelasan sang penyair dalam Kongres Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional pada 1957 di Bali.
 
Dalam sebuah sesi dialog, Sitor sedikit banyak bercerita tentang latar belakang penulisan Malam Lebaran. Katanya, inspirasi itu muncul ketika ia berjalan di malam suci itu untuk mengunjungi seorang kawan.
 
Sitor, semacam menikmati sekaligus mengomentari kehidupan rantaunya. Ia tak sempat banyak bermudik-ria, serupa hiruk pikuk yang melengkapi malam Idulfitri.
 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(SBH)
LEAVE A COMMENT
LOADING
social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif