Hari transaksi tiba. Jarir bertatap muka secara langsung dengan pemilik sekaligus kudanya. Setelah menimbang apa yang ia lihat, muncul sesuatu yang mengganjal di benak Jarir. Tiba-tiba Jarir berkeyakinan bahwa harga yang ia tawarkan tempo hari tidak berbanding lurus dengan kualitas tunggangan yang akan dibelinya.
"Wahai saudaraku," kata Jarir kepada si penjual. "Kuda milikmu ini saya kira lebih tinggi harganya dibanding 300 dirham. Apakah boleh jika saya membelinya dengan seharga 400 dirham?," tanya Jarir.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Meski terdengar aneh, sang pemilik kuda menjawab, "Terserah engkau, wahai Abu Abdillah (nama lain Jarir)."
Sahabat Jarir terdiam. Diamatinya kembali dengan saksama kuda yang telah menawan hatinya itu. Jarir masih gamang, sampai ia berkata lagi, "Tidak, kudamu ini saya kira lebih pantas dihargakan di atas 400 dirham. Bagaimana jika kau menjualnya kepadaku seharga 500 dirham?."
"Terserah engkau, Abu Abdillah," jawab si pemilik kuda, lagi.
Tawar menawar terus berulang dengan harga yang semakin meninggi. Hingga keduanya tiba di kesepakatan harga sebesar 800 dirham. Kali ini Jarir mantap, diberikannya uang itu kepada sang penjual kuda.
Seiring menerima uang yang disepakati, sang penjual pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, "Kenapa engkau berbuat sedemikian rupa (meninggikan harga), wahai Abu Abdillah?."
Jarir menjawab, "Sesungguhnya aku telah berbaiat kepada Rasulullah untuk bersikap an-nasihah (jujur, berlaku adil, dan memberikan kabar/kondisi yang baik) kepada setiap muslim."
Sumber: Disarikan dari riwayat At-Tabarany, dalam Syarah Sahih Muslim
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News (SBH)