Berita tentang informasi Ramadan 2024 terkini dan terlengkap

Karnaval Dugderan di Semarang, Jawa Tengah/Ant/R Rekotomo.
Karnaval Dugderan di Semarang, Jawa Tengah/Ant/R Rekotomo.

Menyatukan Awal Puasa Lewat Dugderan

23 Juni 2014 15:44
medcom.id, Semarang: Ramadan begitu besar maknanya bagi umat Islam. Tidak heran apabila masyarakat menyambut kedatangan bulan suci itu dengan penuh suka-cita. Rasa itu dituangkan dalam bentuk perayaan dengan cara atau aktivitas yang unik.
 
Warga Kota Semarang, Jawa Tengah, misalnya, biasanya mengadakan dugderan sebagai tanda awal puasa. Atau masyarakat Sunda Tasikmalaya, menyambut Ramadan dengan kegiatan munggahan dan warga Banjar yang mengadakan Pekan Ramadan dengan menjual penganan berupa kue-kue tradisional khas di Kota Banjarmasin. Bentuk-bentuk perayaan ini sudah lama dilakukan warga setiap tahun, bahkan telah menjadi tradisi.
 
Berbeda dengan ngabuburit yang dilaksanakan setiap hari sepanjang bulan Puasa, beberapa perayaan tradisional dan turun-temurun, seperti dugderan, biasanya digelar untuk menyambut datangnya bulan Ramadan. Paling lama juga hanya berlangsung seminggu.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Tradisi dugderan muncul pada awal tahun 1800-an. Saat itu warga Kota Semarang sering berbeda pendapat dalam menentukan hari pertama puasa. Perbedaan pelaksanaan dalam berpuasa akhirnya bermuara pada perbedaan hari dalam peringatan Idul Fitri atau Lebaran.
 
Kejadian itu mengundang keprihatinan para ulama dan adipati. Mereka kemudian berembuk menentukan awal hari pertama puasa. Pada tahun 1881, Adipati (setingkat bupati) Kota Semarang yang saat itu dijabat Raden Mas Tumenggung Arya Purbaningrat mengumumkan bahwa awal Ramadan ditandai dengan bunyi beduk yang dipukul oleh para ulama di Masjid Kauman Semarang, lalu diikuti penyulutan meriam oleh para prajurit kadipaten di alun-alun.
 
Warga berbondong-bondong datang ke alun-alun yang lokasinya persis di depan masjid dan kadipaten. Bunyi dug-dug yang bertalu dari beduk yang ditabuh serta der-der yang keras menggelegar dari letusan meriam akhirnya diambil untuk menamakan kejadian itu: dugderan.
 
Tradisi itu masih berlanjut sampai sekarang, bahkan kian semarak. Akibatnya, alun-alun yang luasnya sekitar 500 x 500 meter itu tak mampu menampung warga yang ingin menyambut dugderan. Apalagi kini sebagian tanahnya digunakan sebagai kawasan Pasar Yaik Indah dan Pasar Kanjengan.
 
Pantaslah tradisi ini ramai ditonton warga, selain kedua atraksi menabuh beduk dan menyulut meriam biasanya digelar kesenian yang penuh dengan nuansa Islami, seperti kasidahan dan permainan anak-anak yang dinamakan Warak Ngedho. Selain itu, berbagai penjaja penganan tadisional khas setempat banyak dijual di alun-alun, seperti untir-untir, kue enten-enten, punar ketan ijo, martabak Arab, sate jagung, dan bolang-baling. (MI)
 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(DOR)
LEAVE A COMMENT
LOADING
social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif