Presiden Soekarno beberapa kali diasingkan bersama dengan beberapa toko pergerakan nasional lainnya. Meski diasingkan, semangat mereka tak pernah terhenti.
Berikut ini beberapa rumah pengasingan Soekarno dan tokoh nasional lainnya yang dirangkum Medcom.id.
1. Rumah di Rengasdengklok
Peristiwa Rengasdengklok tak bisa dipisahkan dari Proklamasi Kemerdekaan negeri ini. Di sebuah rumah seorang Tionghoa di bantaran Citarum, sekelompok pemuda mendesak Soekarno dan Hatta segera memproklamirkan Kemerdekaan RI.Pada saat itu rumah tersebut tempat tinggal keluarga Djiauw Kie Siong. Fatmawati dan bayinya ikut dijemput paksa oleh Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh yang mengasingkan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945.
Rumah berdinding kayu tersebut dipilih karena dekat dengan markas PETA (Pembela Tanah Air, pasukan paramiliter bentukan Jepang). Selain itu Djiauw Kie Siong yang sehari-harinya adalah petani juga salah seorang prajurit PETA.
2. Rumah di Menteng
Drama 'penculikan' ini diketahui Ahmad Subardjo dan Soediro. Keduanya bergegas menjemput Soekarno dan Hatta dari sana lalu mengantar kembali ke Jakarta. Bukan diantar ke rumah, melainkan ke tempat tinggal Laksamana Muda Tadashi Maeda - seorang perwira AL Jepang yang bersimpati kepada perjuangan Kemerdekaan RI.Sayuti Melik menyusul ke rumah berarsitektur art-deco yang dibangun pada 1920 itu. Dialah yang membantu pengetikan, hingga penandatangan naskah Proklamasi Kemerdekaan RI untuk dibacakan Soekarno pada 17 Agustus 1945 pagi.
Setelah mundurnya Jepang dari Indonesia, Maeda pun kembali ke Jepang. Rumah seluas 1.138 meter persegi ini dengan bunker kecil di halaman belakang itu diambil alih Inggris yang menjadikannya sebagai markas komando pasukannya.
Rumah yang kini adalah Museum Perumusan Naskah Proklamasi tersebut juga memiliki balkon yang menghadap Taman Suropati, Menteng.
3. Rumah di Banda
Pulau mungil yang terletak di tengah Laut Banda tersebut menyimpan kenangan masa perjuangan Mohammad Hatta bersama Sutan Sjahrir. Rumah sederhana menjadi saksi dua pejuang kemerdekaan yang hidup dalam pengasingan.Banda menjadi salah satu tempat pengasingan Bung Hatta dan Bung Sjahrir mulai 1936 hingga 1942. Mereka dipindahkan ke sana setelah sebelumnya diasingkan Belanda di Boven Digoel, Papua.
Setibanya di Banda pada 11 Februari 1936, keduanya dititipkan di di kediaman Mr. Iwa Koesoemasoemantri. Seminggu kemudian mereka pindah ke tempat tinggal sendiri yang disewa dari seorang perkenier (tuan tanah) bernama De Vries.
Di bagian tengah terdapat halaman terbuka. Di terasnya ada tujuh pasang bangku dan papan tulis. Di situlah setiap sore Bung Hatta dan Bung Sjahrir mengajarkan membaca dan menulis kepada warga sekitar.
Tujuh pasang meja dan bangku, serta papan tulis yang masih terbaca bekas tulisan Hatta ”Sedjarah Perdjoeangan Indonesia Setelah Soempa Pemoeda di Batavia Pada Tahun 1928”.
4. Rumah di Danau Toba
Bangunan megah di tepi Danau Toba pernah menjadi tempat pembuangan bagi Presiden Soekarno. Bila rumah pengasingan lain dijadikan museum, yang ini dikelola Pemprov Sumatera Utara sebagai tempat menginap bagi para tamu.Ini pula yang nilai keaslian rumah di Parapat ini hanya tersisa di eksteriornya. Sementara bagian interiornya diisi dengan furniture baru sesuai peruntukannya sebagai penginapan. Hanya kursi rotan di lantai dua yang disebut masih asli.
Di rumah bergaya arsitektur Eropa ini juga sempat menjadi tempat pengasingan bagi Sjahrir dan Haji Agus Salim pada 1948. Tidak lama ketiganya diasingkan di sana, yaitu pertengahan Desember 1948 hingga akhir Januari 1949.
Sebelumnya selama 12 hari mereka ditempatkan di Berastagi, Karo. Setelah dari Parapat, Bung Karno bersama Sjahrir dan Haji Agus Salim dipindahkan ke Muntok di Pulau Bangka.
Dari balkon lantai dua tersaji pemandangan langsung ke arah Danau Toba. Ketika dibangun pada 1820 memang bangunan ini ditujukan sebagai tempat berlibur bagi keluarga mandor perkebunan teh, karet dan kopi yang Belanda kelola
Arsitektur bergaya klasik Eropa. Dinding dan atap dibangun menggunakan kayu jati. Halamannya yang seluas sekitar 2 hektar tertata rapi. Hutan pinus di sekitar rumah menambah asri suasana.
5. Rumah di Ende
Rumah sederhana di Jl Perwira, Ende, Flores, ini salah satu saksi bisa sejarah perjuangan kemerdekaan. Di sini Soekarno pernah menjalani hukuman pengasingan oleh Hindia Belanda.Antara 1934 hingga 1938 Bung Karno tinggal rumah milik Abdullah Ambuwawu itu. Dia pindahkan ke sana setelah menjalani hukuman penjara selama setahun di Penjara Sukamiskin dan Banceuy, Bandung.
Tidak jauh dari rumah tersebut terdapat sebuah taman, tempat Bung Karno biasanya merenung. Di bawah pohon sukun bercabang lima itulah, pemikiran tentang cikal bakal Pancasila dimatangkannya.
Di dalam prosesnya memikirkan dasar negara, Soekarno kerap mampir ke Perpustakaan Keuskupan Nusa Indah dan bertukar pikiran dengan warga, ulama, rohaniawan, seniman hingga seniman. Hasil dari itu semua adalah Pancasila yang Soekarno paparkan dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945.
Pada 1955 Presiden Soekarno bernapaktilas ke Ende dan taman dengan pohon sukun bercabang lima itu. Di dalam kunjungan nostalgia itu Soekarno meminta kepada Abdullah Ambuwawu bersedia rumahnya dijadikan museum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News