TIDAK ada korelasi antara keberadaan kepala daerah dan rakyat. Kepala daerah yang dipilih dengan biaya mahal itu ternyata tidak mampu menggali pendapatan asli daerah untuk menyejahterakan rakyat.
Ikhtiar awalnya, pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat.
Mewujudkan kesejahteraan rakyat harus didukung peningkatan kemampuan fiskal daerah. Oleh karena itu, kepala daerah diberi instrumen perluasan desentralisasi fiskal. Ia berhak memungut pajak dan retribusi daerah sebagai bagian dari pendapatan asli daerah (PAD).
Harus jujur diakui bahwa kepala daerah yang terpilih setiap kali pilkada bukanlah orang yang punya kecakapan bisnis. Kemampuan politik mereka jauh lebih dominan sehingga lalai meningkatkan pendapatan daerah. Itulah fakta yang sangat terang benderang selama 20 tahun lebih pelaksanaan otonomi daerah.
Fakta itulah yang disampaikan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Agung Firman Sampurna dalam Rapat Paripurna DPR-RI, Selasa, 22 Juni 2021. BPK menemukan sebanyak 88,07 persen pemerintah daerah belum mandiri. "Sebagian besar pemda atau 443 dari 503 pemda (88,07 persen) masuk kategori belum mandiri," kata Agung.
Standar internasional menyebutkan daerah bisa disebut mandiri fiskal manakala PAD minimal 20 persen dari total APBD. Dengan demikian, daerah-daerah itu masih disusui pusat. Mereka sangat bergantung kepada dana transfer dari pusat. Lebih menyedihkan lagi, dana transfer dari pusat itu lebih besar porsinya untuk belanja pegawai. Rakyat hanya menikmati sekitar 8 persen.
Pada tahun ini, menurut Menkeu Sri Mulyani, transfer daerah dan dana desa sampai Mei terkontraksi 2,8 persen, yaitu Rp298,02 triliun. Penyaluran transfer dana ke daerah sampai 31 Mei tercatat sebesar 37,5 persen terhadap total alokasi TKDD 2021.
BPK pernah melakukan review atas kemandirian fiskal daerah pada 2018 dan 2019 dengan menghitung indeks kemandirian fiskal (IKF) tiap pemda. Nilai IKF rata-rata provinsi pada 2019 ialah 0,36 dan IKF rata-rata kabupaten/kota ialah 0,11.
Hasil review BPK menunjukkan kesenjangan kemandirian fiskal antardaerah di Indonesia sangat tinggi. Pemprov DKI Jakarta dengan IKF tertinggi sebesar 0,7107 dan pemprov dengan IKF terendah, Papua Barat, sebesar 0,0427.
Kesenjangan kemandirian fiskal juga terjadi pada level pemkab/pemkot. Kabupaten Badung, Provinsi Bali, memiliki IKF tertinggi, yaitu 0,8347, yang artinya dapat membiayai 83,47 persen belanja daerah dari PAD. Sedangkan, Kabupaten Deiyai, Papua, memiliki IKF terendah, yaitu 0,0031, yang artinya hanya dapat membiayai 0,31 persen belanja daerah dari PAD.
Hasil review BPK juga menunjukkan sebagian besar pemerintah daerah belum mandiri. Pada 2018, sebanyak 10 pemprov belum mandiri dan turun menjadi 8 pemprov pada 2019. Sementara itu, 471 pemkab/pemkot belum mandiri pada 2018 dan turun menjadi 458 pemkab/pemkot pada 2019.
Harus tegas dikatakan review atas kemandirian fiskal daerah merupakan salah satu bentuk evaluasi atas transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan keuangan daerah.
Menurut Pasal 280 ayat (1) huruf a UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah berkewajiban melakukan pengelolaan keuangan daerah secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
Review BPK atas kemandirian fiskal daerah itu sejalan dengan temuan Kementerian Dalam Negeri terkait dengan Indeks Inovasi Daerah 2020. Terdapat lima provinsi yang memiliki nilai indeks inovasi terendah, yaitu Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Maluku, Kalimantan Timur, dan Gorontalo. Kelima provinsi tersebut masuk kategori kurang inovatif.
Kemendagri juga menemukan 55 kabupaten dan 3 kota yang tidak dapat dinilai inovasinya (disclaimer). Di antaranya Kabupaten Boalemo, Kabupaten Deiyai, Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat, dan Kabupaten Manggarai Timur. Kota dengan kategori disclaimer, yaitu Kota Sorong, Kota Gunungsitoli, dan Kota Subulussalam.
Sudah tiba saatnya, apalagi di tengah pandemi covid-19, kepala daerah mengurangi ketergantungan kepada pusat. Dibutuhkan kepala daerah yang kreatif dan inovatif mencari sumber penghasilan melalui upaya peningkatan PAD. Potensi unggulan di daerah saat ini begitu banyak, misalnya panas bumi, tapi belum dimanfaatkan secara maksimal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Gaudensius Suhardi
Anggota Dewan Redaksi Media Group

