Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi. MI/Ebet
Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi. MI/Ebet (Gaudensius Suhardi)

Gaudensius Suhardi

Anggota Dewan Redaksi Media Group

Kader Jenggot Pemilu Tertutup

Gaudensius Suhardi • 02 Januari 2023 06:22
Nasihat nenek, lisan adalah cerminan isi hati. Apakah lisan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari bahwa kemungkinan pemungutan suara di Pemilu 2024 dilakukan dengan sistem proporsional tertutup mencerminkan isi hatinya yang menghendaki kembali ke sistem proporsional tertutup?
 
Pejabat publik hendaknya tidak asal cuap. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/04/M.PAN/2007 bisa dijadikan rujukan. Peraturan itu tentang pedoman umum formulasi, implementasi, evaluasi kinerja, dan revisi kebijakan publik di lingkungan lembaga pemerintah pusat dan daerah. Disebutkan bahwa pernyataan pejabat publik di depan publik harus berisikan kebenaran, baik secara legal maupun materiel.
 
Tidak mudah memang menjadi pejabat publik seperti komisioner KPU. Salah satu syaratnya ialah mempunyai integritas, kepribadian yang kuat, jujur, dan adil.
 
Integritas dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu berpegang pada prinsip antara lain jujur, yang maknanya ialah dalam penyelenggaraan pemilu, penyelenggara pemilu didasari niat untuk semata-mata terselenggaranya pemilu sesuai dengan ketentuan yang berlaku tanpa adanya kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan. Komisioner KPU mesti mempunyai niat menyelenggarakan pemilu sesuai ketentuan yang berlaku, bukan berdasarkan keinginan pribadi. Ketentuan yang tersurat dalam Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 ialah Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
 
Pemilu proporsional terbuka itulah yang diperintahkan undang-undang untuk dijalankan, bukan proporsional tertutup. Dengan demikian, tidaklah bijak pernyataan Ketua KPU Hasyim Asy’ari, “Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup.” Sepanjang undang-undang menyatakan proporsional terbuka, sepanjang itu pula yang mesti dijalankan KPU.
 
Indonesia pernah menerapkan sistem proporsional tertutup, yaitu di Pemilu 1955, pemilu selama Orde Baru, dan Pemilu 1999. Sistem proporsional terbuka dimulai pada Pemilu 2004, 2009, 2014, dan 2019. Perbedaan mendasar dua sistem itu ialah pada proporsional terbuka, penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, sedangkan pada proporsional tertutup, penetapan calon terpilih berdasarkan nomor urut yang sepenuhnya ditentukan oleh partai.
 
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 memberikan landasan filosofis proporsional terbuka. Menurut MK, dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang ialah berdasarkan suara terbanyak.
 
Karena itu, menurut MK, penentuan calon terpilih harus pula didasarkan pada siapa pun calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan.
 
Proporsional terbuka itulah instrumen untuk memotong kader jenggot alis kader partai politik yang mengakar ke atas (elite), bukan kader yang tumbuh dan besar dari bawah (massa). Jika gagasan proporsional tertutup diterima, otomatis menyuburkan kembali oligarki politik, dan paling tragis ialah menghilangkan partisipasi politik berkualitas yang mulai tumbuh di masyarakat.
 
Saya bisa memahami kritik yang dialamatkan kepada Ketua KPU Hasyim Asy’ari. Meski demikian, pernyataan Hasyim Asy’ari bukan tanpa alasan. Sebab, saat ini MK sedang menyidangkan perkara yang menghendaki sistem proporsional tertutup pada 2024.
 
Dua kader partai politik dan empat perseorangan warga negara menjadi pemohon perkara nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut. Para pemohon mendalilkan berlakunya sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal populer serta menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik.
 
Elok nian bila MK konsisten dengan putusan sebelumnya. Tegas dikatakan bahwa sistem proporsional tertutup maupun proporsional terbuka sama-sama mengandung kelemahan. Karena itu, bukan soal baik buruknya sebuah sistem, tetapi menyangkut sistem yang tepat untuk digunakan di negeri ini. Bangsa ini sudah memilih proporsional terbuka sebagai sistem yang tepat untuk dilakukan.
 
Pemilu sistem proporsional terbuka sudah berlangsung 19 tahun sejak 2004. Pertimbangan hukum yang disampaikan MK dalam perkara 22-24/PUU-VI/2008 masih relevan. Dengan sistem proporsional terbuka, kata MK, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih, maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yakni calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak.
 
Basis argumentasi MK ialah kedaulatan rakyat sehingga dalam berbagai kegiatan pemilu, rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya. Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif maupun eksekutif. Sebaliknya, rendahnya perolehan suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan.
 
Mengembalikan pemilu sistem proporsional tertutup sama saja membuka ruang untuk kader jenggot. Pemilu proporsional tertutup hakikatnya membajak kedaulatan rakyat, sistem yang memaksa rakyat memilih kucing dalam karung karena rakyat dipaksa memilih partai dan partailah yang menentukan wakil rakyat.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Pemilu Pemilu 2024 KPU parpol DPR RI mahkamah konstitusi

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif