Ilustrasi. Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Ilustrasi. Foto: Antara/Hafidz Mubarak A (Rheza Ardiansyah)

Rheza Ardiansyah

Jurnalis TV Berita

Melihat Musik Bekerja

Rheza Ardiansyah • 18 Maret 2021 09:21
LANTUNAN lagu klasik menggema di salah satu auditorium dalam area kompleks Universitas Pelita Harapan (UPH), Tangerang, Banten. Musik ini barangkali familiar Anda dengar. Pasalnya, sejak tahun 1993 gubahan karya komposer kelahiran kota Salzburg di Austria itu, sempat jadi populer lagi.
 
Sekitar dua ratus tahun setelah dibuat, komposisi yang ditulis Wolfgang Amadeus Mozart itu diperbanyak berulang kali dalam beragam rupa—dari laser disc, kaset, hingga piringan hitam. Musababnya, sebuah penelitian di University of California, Irvine, Amerika Serikat.
 
Ketika itu, sejumlah responden diperdengarkan dengan “Sonata for Two Pianos in D, K. 448” milik Mozart selama 10 menit. Sementara, responden lain dipapari keheningan dan audio relaksasi. Hasil studi itu menunjukkan nilai kelompok responden pertama lebih tinggi dibandingkan dengan dua kelompok lain. Nilai kecerdasan spasial itu naik hingga 9 poin selama 10 menit hingga 15 menit. Lantas, inikah bukti bahwa “Efek Mozart” itu ada?
 
Musik dan kecerdasan “Hoaks itu,” kata neurolog Ryu Hasan. “Hanya kecerdasan spasial soal melipat kertas ya. Catat lagi ya, melipat dan menggunting kertas pada 17 orang mahasiswa yang mendengarkan musik Mozart.”
 
Dalam kanal YouTube InsideOurBrain, dokter spesialis bedah syaraf itu menambahkan bahwa Efek Mozart muncul dua tahun setelah penelitian tadi. Dan hingga kini, masih banyak orang yang memercayainya. Padahal, menurut Ryu “tidak ada satu musik pun yang kalau didengarkan kemudian membuat orang cerdas.”
 
Dosen Conservatory of Music dari UPH, Johannes S Nugroho memperjelas, “kalau sekadar mendengarkan, mungkin tidak terlalu banyak efeknya pada kecerdasan. Efek musik mencerdaskan besar kemungkinannya bagi si pemain music,” ujar lulusan Doctor of Music dari Indiana University Amerika Serikat tersebut.
 
Di hadapan grand piano yang ia pakai untuk memainkan sonata Mozart, Johannes kemudian memeragakan serangkaian nada. Tangan kiri dan kanannya bergantian menekan tuts hingga tersusun sebuah nada harmonis. “Mau tidak mau kan, (saat bermain instrumen musik) itu pikiran terasah,” paparnya.
 
Menurutnya, musik mempengaruhi jiwa, baik pendengar maupun pemain. Ia pun lebih suka menyebut musik sebagai alat. “Life is so rich, dan musik salah satu kekayaannya. Dengan kreativitas berupa musik itu, kita bisa maksimalkan hidup,” kata Johannes.
 
Terapi musik
 
Sebagai alat terapi, musik berjasa bagi Kafin Sulthan Reviera. Di usianya yang kini 16 tahun, Kafin sudah berkuliah di Universitas Indonesia. Secara profesional, ia juga seorang musisi. Tepatnya, penyanyi merangkap pianis. Padahal, dulu ia gagap.
 
Gagap berbicara dialami Kafin saat ia berusia empat tahun. “Otaknya lagi mikir A, beralih ke B. Mulutnya belum sempat berbicara atau bercerita soal A,” papar mahasiswa jurusan Arsitektur Interior ini.
 
Ibu Kafin lalu mendaftarkan anaknya untuk ikut les bernyanyi. Dari sanalah musikalitas Kafin berkembang bukan hanya sebagai obat gagap bicara, tapi juga pembuka gerbang karier musik. Kafin tergabung dalam album kompilasi “Di Atas Rata-Rata” yang diproduseri Erwin Gutawa dan Gita Gutawa pada tahun 2013.
 
Hingga kini, diakui Kafin, musik ada di kepalanya dalam berbagai situasi. “Kalau melihat suasana baru, tempat yang baru, ‘Kafin bisa gambarkan ini dengan lagu seperti apa ya?’” paparnya.
 
Hari itu, bukan hanya suasana Ciputra Artpreneur yang ia analisis dengan nada di dalam kepala. Kafin juga piawai menerjemahkan kata jadi rangkaian melodi. “Karena dengan satu kata itu dilontarkan, ada beribu-ribu interpretasi. Biasanya kalau Kafin bikin lagu itu, Kafin tulis dulu, ‘Kafin mau bikin lagu tentang apa’”.
 
Misalnya, ia pernah menggubah musikalisasi puisi buatan KH Mustofa Bisri berjudul “Aku Melihatmu”. Dalam acara Mata Najwa episode “Gus Mus dan Negeri Teka-Teki” tanggal 13 Juni 2018, Kafin berkolaborasi dengan kelompok musisi dari Maluku. Mereka menyanyikan puisi yang ditulis tahun 2017 oleh pimpinan pondok pesantren Raudlatuth Thalibin, Rembang, Jawa Tengah itu.
 
Sementara, pada tayangan 15 Minutes Metro TV pada 16 Maret 2021, Kafin menampilkan lagu “Pesan”. Liriknya berasal dari entry diary milik CEO Media Group, Mohammad Mirdal Akib.
Dua judul di atas menjadi menjadi penegas kecintaan Kafin, yang barangkali serupa dengan kegemaran kita terhadap musik. Katanya, “ketika Kafin puter musik tuh langsung bahagia aja.”
 
Penanda memori
 
Kebahagiaan serupa tampak pula di wajah Opa Robi, seorang lansia yang tinggal di Sasana Tresna Werdha, Jakarta Timur. Mukanya semringah sambil menunjuk judul lagu di kemasan piringan hitam bergambar Elvis Presley. Sebersit kenangan, pasti melintasi ingatannya.
 
Gambaran itu terlihat dalam dokumentasi video dari akun Instagram @badutromantis, milik Intan Anggita. Secara rutin, di tahun 2016 Intan dan Aria Anggadwipa—yang kini jadi suaminya—memperdengarkan koleksi piringan hitam mereka. Respon Opa Robi baru satu kisah yang mereka alami.
 
Di kesempatan lain, Opa Donir tiba-tiba datang bergabung sambil menangis ketika mendengar lagu “Takana Adiak” milik Anas Jusuf. Ketika itu, kolektif @dengerbareng yang Intan dan Aria inisiasi sedang memutar musik dari ranah Minang.
 
Kisah Opa Robi dan Opa Donir menegaskan fungsi musik sebagai penanda memori. Dan kisah di balik lagu-lagu lawas tadi, punya kehangatan tersendiri.
 
Aria berkisah tentang seorang penghuni panti yang sudah lupa ingatan. Kalau bicara, sepuluh menit kemudian ia bisa lupa obrolan tadi. Namun, musik ternyata bisa memicu ingatan yang jauh dari rentang sepuluh menit.
 
“Waktu gue muter gramofon, tadinya pandangan dia kosong. Tiba-tiba dia kayak terperangah gitu. Dia tangannya begini (jari telunjuk terangkat), terus dia nyanyi dari awal sampai habis.” Setelah momen itu Aria bertanya ke si kakek tentang apa yang dia ingat.
 
“Aku inget waktu aku umur 7 tahun, aku diajak Bapakku ke bioskop. Dan waktu itu aku sama Bapakku bernyanyi lagu ini.”
 
Kisah-kisah di atas jadi gambaran tentang musik sebagai pengasah inteligensi, alat terapi, dan penanda memori. Itu cara kerja musik dalam lingkup individu. Dalam tataran yang lebih luas, musik tentu juga bisa dimaknai dengan lebih lebar pula. Let the music plays. []
 
*Rheza Ardiansyah adalah Jurnalis Metro TV
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar bagaimana musik bekerja musik klasik kecerdasan anak

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif