Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group/MI/Ebet
Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group/MI/Ebet (Gaudensius Suhardi)

Gaudensius Suhardi

Anggota Dewan Redaksi Media Group

Sok Gaya Kaya

Gaudensius Suhardi • 18 Maret 2022 05:11
NASIHAT bijak ditulis Suhardi dalam buku The Life’s Gold. Pada halaman 188 disebutkan kalau ingin menjadi kaya, jadilah kaya benaran, bukan sok gaya yang hanya menjadikan Anda terlihat kaya dari luar.
 
Tidak sedikit orang yang sok gaya kaya. Mereka memamerkan kekayaan di hadapan publik pada masa pandemi covid-19 pula.
 
Pada saat banyak orang menanggung derita kesehatan dan perekonomian, orang-orang sok gaya kaya berseliweran di dunia maya. Tidak punya simpati apalagi empati.
 
Benarlah kata Thomas J Stanley dalam bukunya berjudul Stop Acting Rich yang dikutip Suhardi, hanya sedikit yang memang benar-benar kaya, kebanyakan hanya terlihat kaya. Orang yang terlihat kaya belum tentu kaya. Mereka yang kebanyakan hanya terlihat kaya itulah yang kini menyesaki atmosfer negeri ini. Tanpa malu-malu mereka menyebut diri sebagai crazy rich, ada pula yang menyebut diri sebagai sultan.
 
Di antara mereka sudah ada yang berurusan dengan hukum, menjadi tersangka karena tipu-tipu untuk terlihat kaya. Orang-orang yang sesungguhnya superkaya ternyata tidak tertarik memamerkan kekayaan mereka.
 
Sosiolog Rachel Sherman, misalnya, mewawancari 50 orangtua di New York dengan pendapatan minimal Rp4 miliar per tahun. Kesamaan di antara mereka ialah merobek label harga barang yang dibeli.
 
Tujuan dari membuang label ini sendiri agar label itu tidak diketahui orang lain, terutama para asisten rumah tangga yang ada di rumahnya. Bayangkan, asisten rumah tangga saja tidak boleh mengetahui harga barang yang dibelinya.
 
Sebaliknya di negeri ini, mereka yang mengaku diri sebagai superkaya itu memanfaatkan seluruh saluran media sosial untuk pansos alis panjat sosial.
 
Penelitian Fajar Bayu Aji dari Universitas Indonesia sangat menarik. Hasil penelitian Refleksi Kritis atas Degradasi Autentisitas Masyarakat Media dimuat di Jurnal Komunikasi, April 2020. Peneliti menemukan adanya keterhubungan antara kapitalisme, media sosial, dan degradasi autentisitas.
 
Disebutkan dalam hasil penelitian itu bahwa media sosial telah memfasilitasi sedemikian rupa masyarakat untuk pamer. Ini terjadi dalam dua bentuk, yakni melalui komoditas barang dan pengalaman.
 
Masyarakat pamer yang difasilitasi oleh media sosial ini kemudian mendegradasi sedemikian rupa autentisitas masyarakat karena dorongan untuk terus mengejar bayang-bayang atau ilusi.
 
Mengejar ilusi alias pamer itulah yang dilakukan Doni Salmanan, crazy rich asal Bandung yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Ia memberikan saweran Rp1 miliar kepada Youtuber Reza Arap yang sedang live streaming game Ragnarok X.
 
Ketika Reza bertanya alasan memberikan donasi, Doni Salmanan menjawab, “Dari dulu Doni suka dengan konten-konten Reza Arap. Saya donasi benar-benar ikhlas dari hati saya, gak ada niat apa-apa atau gimana, ya. Saya suka melihat ekspresi kamu, itu menghibur kita semua."
 
Lain lagi cara pamer Indra Kesuma, crazy rich asal Medan yang juga sudah menjadi tersangka. Gara-gara tidak bisa tidur pada subuh pukul 03.00 WIB, Indra membeli Tesla Model 3 di situs jual beli online Tokopedia.
 
"Efek gak bisa tidur, jadi beli Tesla deh pukul 03.00, belinya dari Tokped (ini beneran ya serius)," tulis dia di akun Instagram-nya.
 
Perilaku Doni dan Indra mengonfirmasi hasil penelitian dari Psychology Today bahwa generasi sekarang bisa menjadi generasi paling narsis sepanjang sejarah, pemicunya ialah media sosial.
 
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar media sosial Investasi Bodong Doni Salmanan Binary Option Indra Kenz

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif