Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi/MI/Ebet
Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi/MI/Ebet (Gaudensius Suhardi)

Gaudensius Suhardi

Anggota Dewan Redaksi Media Group

Pilar

Gusur Paksa Langgar HAM

Gaudensius Suhardi • 11 September 2023 06:07
PENGGUSURAN paksa menebalkan pelanggaran berlapis atas hak asasi manusia warga terdampak. Sederet hak asasi manusia (HAM) dilanggar di antaranya hak atas perumahan, hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman, dan hak atas kepemilikan pribadi.
 
Boleh-boleh saja ada pejabat yang menyebut penggusuran paksa di Pulau Rempang, Batam, sebagai pengosongan lahan. Lebih tepatnya pengosongan pulau seluas 165 km2 untuk kepentingan investasi. Bedol pulau alias memindahkan sekitar 7.500 jiwa penghuni Pulau Rempang ke pulau lain di sekitarnya.
 
Pengosongan Pulau Rempang itu memenuhi kriteria penggusuran paksa yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penggusuran paksa (forced evictions) didefinisikan sebagai pemindahan permanen atau sementara di luar kehendak individu, keluarga, dan/atau komunitas dari rumah dan/atau tanah mereka, tanpa ketentuan atau akses ke bentuk perlindungan hukum yang sesuai.
 
Dampak aktivitas pengosongan lahan di Rempang ialah terjadi bentrokan antara aparat dan warga setempat pada 7 September 2023. Keributan itu, menurut Antara, dipicu karena warga masih belum setuju dengan adanya pengembangan kawasan tersebut yang merupakan kampung adat masyarakat Melayu. Terdapat 16 kampung tua di Pulau Rempang. Warga asli yang terdiri atas suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat diyakini telah bermukim di Pulau Rempang sejak 1834.
 
Pangkal soal keributan dalam setiap penggusuran paksa ialah tidak adanya sosialisasi yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari partisipasi yang bermakna. Kegiatan sosialisasi penggusuran sekadar formalitas tanpa mengakomodasi keinginan masyarakat terdampak. Keinginan masyarakat ialah menerima pembangunan, tapi menolak dipindahkan dari Pulau Rempang.
 
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengartikan partisipasi yang bermakna sebagai hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya; hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya; hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
 
Benar bahwa Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) sudah menemui warga untuk sosialisasi pengembangan Rempang Eco City. Pada pertemuan 6 September 2023, BP Batam berjanji memindahkan warga ke hunian baru berupa rumah tipe 45 senilai Rp120 juta dengan luas tanah maksimal 500 m2.
 
Pembangunan kawasan investasi terpadu di Rempang akan digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG). Proyek bernama Rempang Eco City itu ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp381 triliun pada 2080.
 
Harus tegas dikatakan janji yang disampaikan BP Batam belum mampu meraih kepercayaan masyarakat. Mengapa BP Batam tidak terlebih dahulu membangun rumah untuk warga baru melakukan penggusuran?
 
Hasil penelitian LBH Jakarta (2018) memberikan kriteria untuk mengukur apakah suatu penggusuran dapat dikategorikan sebagai penggusuran paksa atau tidak ialah dengan menakar kesesuaian pelaksanaannya dengan standar HAM.
 
Disebutkan bahwa penggusuran yang sesuai dengan standar HAM akan merelokasi warga terlebih dahulu ke tempat tinggal baru yang layak sebelum penggusuran dilaksanakan sehingga saat penggusuran dilakukan, warga terdampak sudah tidak lagi menduduki lahan tersebut.
 
Penggusuran yang dapat dikategorikan sebagai penggusuran paksa, menurut penelitian itu, ialah penggusuran yang dilaksanakan dengan bertentangan standar HAM, misalnya memindahkan warga terdampak tanpa musyawarah atau solusi yang memadai atau melakukan pengosongan lahan saat warga terdampak masih menduduki area tersebut.
 
Bila dilihat dari standar HAM, pengosongan lahan di Pulau Rempang masuk kategori penggusuran paksa yang berdasarkan Resolusi Komisi HAM PBB Nomor 2004/28 masuk kategori pelanggaran HAM berat.
 
Elok nian bila BP Batam terlebih dahulu membangun rumah untuk warga setelah itu baru melakukan kegiatan pengukuran di wilayah Rempang. Pengukuran mendahului pemindahan warga hanya menimbulkan bentrokan.
 
Desakan Komnas HAM pada 8 September 2023 patut dipertimbangkan. Komnas HAM mendesak penghentian pengerahan pasukan dan tindakan represif kepada masyarakat dan mengedepankan dialog.
 
Pengerahan pasukan dalam pembebasan lahan bersumber pada Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya. Undang-undang ini memberikan wewenang yang sangat besar bagi pemerintah untuk mengambil lahan dari rakyat tanpa partisipasi dari warga.
 
Undang-undang itu sudah diujikan di Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 96/PUU-XIV/2016, tapi ditolak. Terkait pengambilalihan lahan, menurut MK, tindakan pemerintah untuk melibatkan TNI meskipun dibenarkan, tetapi harus menjadi pilihan terakhir dan pelibatan tersebut semata-mata dalam rangka membantu pelaksanaan fungsi pemerintahan.
 
Penggusuran paksa telah menempuh jalan panjang di negeri ini. Karena itu, perlu dibuatkan regulasi penggusuran paksa sesuai standar HAM sehingga tidak ada lagi air mata korban penggusuran.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar penggusuran Pelanggaran HAM Podium

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif