Basis argumentasinya ialah pandemi terlalu lama memukul sendi-sendi serta otot-otot perekonomian. Korona juga membuat anggaran negara makin ngos-ngosan mengongkosi dampak pandemi. Tahun lalu, defisit APBN menganga hingga lebih dari Rp1.300 triliun (sekitar 6,1% dari produk domestik bruto). Itu defisit tertinggi dalam 20 tahun terakhir.
Di awal tahun ini, hingga Mei 2021, defisit juga sudah membengkak hingga Rp219,3 triliun. Sementara itu, posisi pembiayaan utang juga naik 8,9% menjadi Rp330,1 triliun atau 28% dari pagu Rp1.177,4 triliun. Betul-betul situasi yang sulit.
Namun, sesulit apa pun itu, hukum 'melindungi segenap tumpah darah Indonesia' tak bisa ditawar barang sekulit bawang pun. Maka, jangan pernah tergoda untuk menempuh jalan Inggris, apalagi India, yang tergesa-gesa mendeklarasikan terbebas dari korona, lalu menginjak gas sekencang-kencangnya.
Bereskan dulu seberes-beresnya urusan kesehatan. Kampanyekan segencar-gencarnya kepada publik bahwa kita masih jauh dari kondisi 'merdeka dari korona'. Penerima vaksin dosis lengkap baru sekitar 5% (masih jauh dari 70% syarat kekebalan kelompok). Kasus harian covid-19 masih di atas 13 ribu dalam tiga hari terakhir.
Baru, nanti, jika kasus sudah benar-benar sukses dikendalikan, kekebalan kelompok dicapai, silakan pekikkan kemerdekaan sekencang-kencangnya.