BENAR belaka bahwa media sosial itu bak pisau bermata dua. Media sosial bisa menghadirkan manfaat, tapi tidak jarang pula mendatangkan mudarat. Medsos ampuh melumerkan ketegangan, sekaligus sakti dalam memantik permusuhan.
Salah satu manfaat besar medsos ialah mekarnya kebebasan berbicara. Itu amat bagus buat demokrasi. Akan tetapi, mudarat dari membuncahnya kebebasan berbicara itu juga ada. Kualitas pembicaraan di medsos banyak dikeluhkan masih dangkal.
Ada pandangan menyebutkan bahwa di medsos yang muncul baru bebas bicara, bukan bebas berpendapat. Bebas bicara dimaknai asal bicara. Berbeda dengan berpendapat, yang berkorelasi dengan adanya argumentasi, bahkan dilengkapi dengan data dan fakta, juga perspektif.
Muara dari 'asal bicara' itu ialah merebaknya informasi palsu. Mereka yang amat skeptis menuding bahwa maraknya informasi palsu membuat medsos sebagai 'gudang kebohongan'. Lebih parah lagi, banyaknya informasi palsu di medsos memicu terjadinya banalisasi kebohongan.
Walhasil, bohong menjadi hal biasa. Tidak ada implikasi moral. Tidak ada tanggung jawab moral. Kata kawan yang skeptis dengan medsos, bohong itu hanya seolah-olah 'salah memilih kata'. Terjadi 'relativisasi' kebenaran. Kebenaran dikaburkan, dijadikan relatif.
Di medsos, masih menurut kawan saya yang amat skeptis, narasi bisa mengalahkan data. Cerita membungkus kebohongan. Jadi, cara menyampaikan menjadi lebih penting ketimbang pesan itu sendiri. Yang penting viral, beres. Kualitas informasi dan etika itu nomor sekian. Bahkan, kalau keliru membuat konten atau menulis informasi, tinggal minta maaf, habis perkara.
Namun, tidak adil kiranya bila saya hanya menonjolkan mata pisau negatif dari medsos. Padahal, ada juga mata pisau positif. Salah satunya, potensi bagi berkembangnya sikap kritis. Karena di medsos tidak dikenal strata, ruang publik kian mendapatkan tempat.
Ada sejumlah fakta yang tersembunyi, atau sengaja disembunyikan, bisa terbuka setelah viral di media sosial. Ada konsumen maskapai yang dirugikan, misalnya, mendapatkan ganti rugi setelah mengunggah kerugian yang dideritanya itu di medsos. Sejumlah kasus kekerasan seksual juga terungkap setelah korban mengunggah peristiwa di medsos.
Bahkan, kasus besar yang melibatkan perwira tinggi Polri, Ferdy Sambo, juga tidak lepas dari andil medsos. Belum lagi kisah haru korban bencana yang memicu solidaritas, tidak sedikit yang bermula dari medsos. Tekanan publik terhadap pemerintah atas kebijakan yang dinilai tidak adil pun banyak muncul dari medsos.
Di jagat politik Tanah Air, medsos kini menjadi andalan. Musababnya, berdasarkan survei, sekitar 70% pemilih muda mengandalkan informasi hal ihwal tentang politik dari medsos. Pemilih muda ini merupakan gabungan pemilih pemula dan yang sudah punya hak pilih pada pemilu sebelumnya, tapi masih berusia di bawah 37 tahun.
Jumlah pemilih muda ini sekitar 40% (sekitar 86 juta) dari 190 juta orang lebih yang punya hak pilih. Bila dua pertiga di antara mereka mengandalkan informasi politik dari medsos, itu berarti ada sekitar 60 juta pemilih muda terkoneksi dengan berbagai platform medsos tersebut. Jumlah yang sangat besar untuk mendulang suara, sekaligus menguji ide dan gagasan segar.
Takdir zaman sudah mengantarkan kita pada fase tidak bisa menolak medsos. Tinggal kita saja, mampukah memanfaatkan mata pisau positif dari media yang diakses puluhan juta rakyat Indonesia itu.
Berdasarkan laporan We Are Social pada awal 2021, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sudah mencapai 170 juta orang.
Yang penting jangan baperan, mudah tersinggung. Misalnya, bersungut-sungut setelah video pernyataan 'siap tempur'-nya di depan Presiden viral di media sosial. Unggah saja video versi lengkapnya kalau merasa potongan video itu mengganggu. Unggah saja klarifikasi soal makna di balik kata 'siap tempur' demi 'membentengi' Presiden itu.
Setelah itu, serahkan kepada publik untuk menilai, apakah penjelasan itu memadai atau cuma beti (beda tipis-tipis) dengan sebagian besar dugaan dan kecurigaan sebelumnya. Itu cara sehat dan demokratis dalam memanfaatkan medsos.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Abdul Kohar
Dewan Redaksi Media Group

