Tanda-tanda biaya haji mahal sejatinya sudah muncul sejak tahun 2018 ketika Arab Saudi menyampaikan Visi Saudi 2030. Arab yang kian terbuka untuk investasi pun lambat laun dipercaya bakal 'mengomersialisasikan' ibadah haji.
Saat Arab Saudi diperintah oleh Raja Salman dan putra mahkotanya, Mohammed bin Salman, negara ini mereformasi berbagai sektor. Bioskop kembali diperbolehkan beroperasi, perempuan dibolehkan menonton pertandingan sepak bola di stadion dan diperbolehkan menyetir mobil sendirian.
Reformasi yang digalakkan, terutama oleh sang Putra Mahkota, dianggap oleh sebagian pihak untuk mengambil keuntungan dengan masuknya investasi asing. Pun demi menjaga agar investasi ke Arab Saudi tidak melulu dari minyak yang selama ini menjadi tiang ekonomi.
Baca:Usulan Kenaikan Biaya Haji, Wapres: Sedang Dibicarakan Jumlah Subsidi yang Tepat |
Dengan beban anggaran negara yang cukup berat karena selama ini biasa menggantungkan pada persediaan dan suplai minyak, Arab Saudi menjadi sadar bahwa mereka mesti mencari sumber pemasukan negara secepatnya sebelum negara ini terancam runtuh. Isu komersialisasi haji dan umrah pun semakin mencuat. Dalam urusan bisnis pelayanan haji, umrah, dan wisata di Arab Saudi, hukum dan pertimbangannya kian jelas, yakni fulus. Prospek keuntungan tersebut akan menjadi daya tarik untuk investasi.
Bisa dibayangkan pada 2030 akan ada gelombang haji, umrah, dan turis ke Arab Saudi dengan jumlah 100 juta per tahun atau 10 kali lipat daripada jumlah sekarang. Lipatan jumlah pengunjung ke Arab Saudi itu jelas lahan bisnis yang sangat menggiurkan. Ceruk itu dari jumlah pesawat yang keluar masuk Saudi, jumlah hotel yang dibangun, makanan yang harus dimasak, bus transportasi yang harus diproduksi, dan seterusnya.
Era biaya haji mahal pun menjadi solusinya. Maka, sejak tahun lalu, pemerintah Arab Saudi memaklumatkan bahwa biaya masyair (kegiatan Arafah-Muzdhalifah-Mina) naik, dari 1.531 SAR (setara Rp5,8 juta) menjadi 5.656 SAR (setara Rp21,5 juta) per jemaah.
Penaikan itu bak petir di siang bolong. Jika dihitung-hitung, total biaya haji regular tiba-tiba naik dari Rp70 juta menjadi hampir Rp100 juta per jemaah mulai tahun 2022. Protes dari negara pengirim haji di seluruh dunia dijawab pemerintah Arab: 'Tidak bisa berubah. Ini sudah final'.
Jelas ini pukulan telak bagi Indonesia yang saban tahun memberangkatkan minimal 221 ribu jemaah haji dan ratusan ribu jemaah umrah. Orang lalu membandingkan biaya ibadah haji Indonesia dengan Malaysia. Sama-sama terimbas penaikan biaya haji, kok jemaah regular Malaysia 'cuma' membayar sekitar Rp39 juta, sedangkan Indonesia diusulkan menjadi hampir Rp70 juta?
Pertanyaan publik tidak salah. Namun, pemerintah juga tidak sepenuhnya patut disalahkan. Murahnya biaya haji Malaysia terjadi karena Dana Tabung Haji mereka sanggup menyubsidi biaya hingga lebih dari separuh. Bahkan, untuk haji regular, calon haji cukup merogoh kocek pribadi 40% saja dari Rp102 juta ongkos haji di Malaysia. Sisanya, 60% biaya, ditanggung Dana Tabung Haji.
Di Indonesia, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) hanya sanggup menyubsidi biaya haji regular 30% dari total Rp99 juta biaya haji Indonesia. Sebagian besar ongkos haji berasal dari kocek jemaah. Itu terjadi karena Malaysia telah bertahun-tahun sukses menginvestasikan Dana Tabung Haji ke berbagai lini.
Lembaga Tabung Haji Malaysia menyalurkan dana yang dihimpunnya dari jemaah haji untuk membiayai investasi properti, usaha perkebunan, konsesi, dan pembangunan infrastruktur. Investasi luar negeri lembaga ini mencapai lebih dari Rp17,7 triliun atau 9% dari total aset yang dimiliki. Berdasarkan laporan tahunan LTHM 2015, aset bersih lembaga ini mencapai RM59,5 miliar atau sekitar Rp180 triliun.
Keuntungan investasi yang diraup sebesar Rp8 triliun lebih setiap tahun. Keuntungan tersebut digunakan untuk menyubsidi biaya haji tiap jemaah senilai Rp40 juta lebih. Di Indonesia, meski kebijakan investasi dana haji sudah dilakukan sejak 2009, mayoritas dana haji Indonesia masih disimpan dalam instrumen keuangan.
Menginvestasikan dana haji untuk sektor lain masih dianggap kontroversial di negeri ini. Maka, jumlah nilai manfaat dana haji di Indonesia pun lebih kecil ketimbang Malaysia. Total dana yang dikelola BPKH pada 2022 sebesar Rp166 triliun. Itu pun dipakai untuk melayani jumlah jemaah haji yang sangat besar, yakni tujuh kali lipat jemaah haji Malaysia.
Maka, sangat tidak mengherankan bila biaya haji kini sangat mahal. Apa boleh buat, ketika reformasi Arab Saudi terjadi di segala lini, ibadah pun masuk ranah komersialisasi. Ini yang berpuluh-puluh tahun lalu dikhawatirkan Martin Lings (Abu Bakr Siraj al Din), penulis buku Muhammad.
Saat berhaji untuk kali kedua padi akhir tahun '70-an, ia berujar: 'Mekah telah berubah. Gedung-gedung pencakar langit mengepung Kabah yang sakral'. Jika Martin Lings masih hidup kini, bisa jadi ia tak henti-hentinya beristigfar menyaksikan ongkos haji yang kian mencekik leher.