Antrean penumpang di Stasiun Bogor, Senin, 13 April 2020. Foto: Antara/Arif Firmansyah
Antrean penumpang di Stasiun Bogor, Senin, 13 April 2020. Foto: Antara/Arif Firmansyah (Syah Sabur)

Syah Sabur

Jurnalis Senior Medcom.id

Jangan Salahkan Pekerja

Syah Sabur • 15 April 2020 15:48
DALAM satu-dua hari ini, para pejabat yang menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sepakat “memaksa” kereta komuter agar berhenti beroperasi selama PSBB berlaku. Hal itu sebagai reaksi atas penumpukan calon penumpang di sejumlah stasiun, seperti di Bogor. Sebab, penumpukan warga di mana pun bertentangan dengan prinsip #dirumahaja sekaligus bertentangan dengan kebijakan PSBB.
 
Ini reaksi yang aneh. Kereta itu berada di hilir untuk menjawab persoalan di hulu yang merupakan buah dari para pembuat kebijakan.
 
Ketika di hulu para pejabat memutuskan sejumlah kantor/instansi dan sejumlah sektor usaha boleh beroperasi, maka kereta memberikan solusi. Solusi itu bertujuan menyediakan angkutan murah dan efisien bagi anggota masyarakat yang terpaksa harus bekerja karena kantor mereka masih beroperasi. Mereka juga bekerja supaya dapur tetap ngebul karena sektor usaha tertentu diizinkan untuk beroperasi.
 
Dalam situasi kriris seperti sekarang ini, tentu para pekerja pun senang jika diminta tidak bekerja atau bekerja di rumah selama tetap menerima gaji. Sebab, mayoritas rakyat bekerja bukan karena hobi melainkan karena harus menafkahi diri dan keluarganya. Melihat kisruh yang muncul, tidak salah jika muncul kesan bahwa Pemda tidak benar-benar siap menjalankan PSBB. Padahal, Permenkes Nomor 9/2020 tentang PSBB bagian Kedua pasal 4 ayat 5 menyebutkan, kepala daerah harus menyampaikan informasi mengenai kesiapan daerah tentang aspek ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial, dan aspek keamanan.

Sebab, mayoritas rakyat bekerja bukan karena hobi melainkan karena harus menafkahi diri dan keluarganya

Bagian lain Permenkes juga tegas menyatakan, peliburan sekolah dan tempat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan bagi kantor atau instansi strategis yang memberikan pelayanan terkait pertahanan dan keamanan, dan ketertiban umum. Kekecualian itu juga berlaku untuk usaha yang berkaitan dengan kebutuhan pangan, bahan bakar minyak dan gas, pelayanan kesehatan, perekonomian, keuangan, komunikasi, industri, ekspor dan impor, distribusi, logistik, dan kebutuhan dasar lainnya.
 
Sudah bisa diprediksi
 
Karena itu, seharusnya para pejabat daerah sudah bisa memprediksi kemungkinan adanya penumpukan calon penumpang kereta. Sebab, menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, PSBB tak sepenuhnya membatasi seluruh kegiatan masyarakat. Sekjen Kemenkes RI Oscar Primadi menyatakan, pembatasan tersebut hanya berlaku untuk aktivitas tertentu di suatu wilayah yang terduga terinfeksi covid-19.
 
Nah, kembali ke soal kereta, transportasi ini bisa saja menghentikan operasinya selama tidak ada arus lalu lintas manusia. Tanpa diminta atau dipaksa pun, kereta akan berhenti sendiri jika tidak ada calon penumpang. Jadi, ini bukan soal kereta melainkan soal kebijakan pemerintah (daerah dan pusat) yang masih mengizinkan sebagian rakyat untuk bekerja.
 
Tapi Permenkes Nomor 9/2020tentang Pedoman PSBB dan Permenhub Nomor 18/2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19 memang tidak mengatur penghentian transportasi umum selama PSBB. Kedua peraturan itu hanya mengatur pembatasan jumlah transportasi, penumpang, jam operasional, dan jarak aman.
 
Anehnya, salah seorang pejabat di Kota Bogor punya ide nyeleneh. Dia minta agar kereta tidak beroperasi di jam sibuk. Pertanyannya, bukankah kereta itu disediakan untuk para pekerja? Kalau kereta beroperasi tidak pada jam kerja, kereta disediakan untuk siapa? Untuk pelancong yang sudah tidak ada atau untuk hantu?

Kalau kereta beroperasi tidak pada jam kerja, kereta disediakan untuk siapa? Untuk pelancong yang sudah tidak ada atau untuk hantu?

Para pengambil keputusan (decision maker) ini bersikap kontradiktif. Di satu sisi mereka ingin instansi dan sektor usaha tertentu tetap aktif untuk memenuhi kebutuhan orang banyak. Mereka juga sadar bahwa sebagian usaha dan bisnis perlu tetap berjalan agar negara tidak perlu menanggung kebutuhan dasar warganya yang tiba-tiba jadi penganggur. Tapi di sisi lain mereka tidak siap melihat dampaknya, seperti penumpukan warga di stasiun kereta.
 
Dalam kasus kereta ini, mereka juga cenderung berpikir parsial, tidak komprehensif. Mereka hanya mencari solusi agar tidak terjadi penumpukan calon penumpang di stasiun. Tapi mereka lupa bahwa antrean itu buah dari kebijakan mereka sendiri.
 
Harus berpikir komprehensif
 
Pejabat negara memang harus berpikir komprehensif. Karena itu, ketika banyak tuntutan agar Presiden Jokowi memilih lockdown, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengingatkan bahwa kebijakan tersebut memerlukan sejumlah prasyarat. Satu di antaranya adalah kepastian bahwa negara mampu menyediakan kebutuhan dasar warganya.
 
Karena itulah, Presiden Jokowi memerlukan waktu cukup lama hingga akhirnya menggelontorkan Rp 405 triliun guna menangani berbagai dampak covid-19. Jokowi juga perlu waktu yang tidak sedikit hingga akhirnya memilih kebijakan PSBB.
 
Jadi, jika pejabat daerah tidak ingin melihat adanya penumpukan calon penumpang di stasiun, silakan kurangi lagi instansi dan jenis usaha yang boleh beroperasi. Dengan begitu, makin banyak warga yang benar-benar bisa #dirumahaja. Pertanyaannya lagi-lagi, mampukah negara/Pemda menyediakan kehutuhan dasar rakyat (makan, minum, listrik, gas, air dll)? Pilihan lain, Pemda dan pengelola kereta harus mengerahkan banyak petugas untuk mengatur agar calon penumpang tetap bisa menjaga jarak.
 
Tentu saja semua itu tergantung Pemda dan negara. Namun, sekadar catatan, hingga kini sebagian besar rakyat belum menikmati berbagai bantuan yang sudah dijanjikan.
 
Apa pun masalahnya, jangan menyalahkan pekerja, sebagaimana juga tecermin dari pernyataan dan pertanyaan sebagian reporter TV. Sebagian reporter heran melihat masih banyaknya pekerja di stasiun. Padahal, Pemda sudah memberlakukan PSBB.
 
Karena itu, seorang reporter belia bertanya kepada warga, "Pak, mengapa masih kerja, kan sudah PSBB?"
 
"Saya sih mau aja gak kerja, tapi Mbak harus kasih makan anak-istri saya. Bisa?”[]
 
*Segala gagasan dan opini yang ada dalam kanal ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Medcom.ID. Redaksi menerima kiriman opini dari Anda melalui kolom@medcom.id.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Virus Korona PSBB

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif